Sudah empat tahun PT Pengayom Petani Sejagad berdiri. Setiap tahun petani menerima ‘cashback’dari Pengayom. Bahkan setiap habis panen –kalau setahun bisa panen dua atau tiga kali.
Istilah ‘cashback’ itu hanya dipakai untuk memudahkan petani mencernanya. Padahal itu adalah pembagian laba biasa.
Mengapa pembagian laba itu tidak diwujudkan dalam deviden tahunan? Seperti lazimnya sebuah perusahaan perseroan terbatas?
”Agar petani langsung merasakan hasil panen mereka,” ujar Hanjar Lukitojati, direktur Pengayom Petani Sejagad.
Memang PT tani di desa Kebon Agung, Kecamatan Sidoharjo, di pedalaman Wonogiri ini bukan PT biasa.
Kenyataannya PT Pengayom itu seperti gabungan sifat-sifat koperasi, resi gudang, Bulog, dan perseroan terbatas.
Karena itu Hanjar pada dasarnya ingin bentuk lembaga usaha tani ini bukan PT. Tapi juga bukan koperasi dan bukan pula resi gudang.
”Kami awalnya pengin bentuk lembaga ini BUMP, Badan Usaha Milik Petani,” ujar Hanjar.
Tapi UU di negara ini tidak mengenal bentuk badan hukum selain perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan perkumpulan.
Tidak ada lembaga seperti BUMN, BUMD, apalagi BUMP. Semua itu hanya identitas –bukan lembaga badan hukum.
Karena pilihannya hanya empat itu maka tidak ada yang lebih memberi harapan selain perseroan terbatas.
Itulah hasil penelitian mendalam perkumpulan mahasiswa calon doktor Universitas 11 Maret Solo.
Itu pula tesis desertasi doktor Sugeng Edi Waluyo di Universitas 11 Maret.
Dr Edi lantas mendirikan perkumpulan mahasiswa calon doktor itu. Lalu mendirikan Seknas BUMP –semacam konsultan untuk kelembagaan bidang pertanian.
Seknas itulah yang menjadi pembina di PT Pengayom. Lewat kepemilikan sahamnya yang 5 persen.
”Koperasi sebenarnya baik,” ujar Dr. Edi Waluyo. ”Tapi koperasi sulit bekerja sama dengan partner swasta. Apalagi asing,” tambahnya.
Bukan, koperasinya yang tidak mau, tapi partnernya yang umumnya enggan.
Padahal, untuk bisa tumbuh besar kadang diperlukan partnership.
Belum lagi citra koperasi yang saat ini sudah terlalu terkait dengan instansi pemerintah. Yakni dinas koperasi di daerah. Koperasi juga sudah kurang mandiri. Terlalu tergantung pada bantuan dan fasilitas.
Itu yang tidak akan terjadi kalau bentuknya PT.
Misalnya PT Pengayom di desa Kebon Agung itu. Tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Toh bisa terus berkembang.
Bahkan sudah bisa ekspor beras organik ke Amerika, Singapura, dan Prancis.
Saya sampai membeli beberapa jenis beras produksi PT ini. Akan saya tulis di DI’s Way edisi berikutnya. Kapan-kapan.
Memang peralatan di pabrik beras PT Pengayom tidak sehebat yang ada di Bulog. Yang serba impor itu.
”Mesin ini buatan kami sendiri,” ujar Mahmudsyah, staf di PT itu. ”Habisnya tidak sampai Rp 1 miliar. Bisa untuk 6 ton sehari,” tambahnya.
Memang tidak terlihat ada merk asing di mesin penggilingan beras itu. Bahkan tidak ada merknya sama sekali.
Ups… Ada.
Mahmudsyah (kanan) dengan latar belakang mesin TAWON
Ada gambar tawon di bagian belakangnya. ”Kami beri gambar TAWON. Sekedar agar ada merknya,” ujar Mahmudsyah sambil tertawa.
Tapi diam-diam Mahmudsyah punya ‘dendam’ di balik kata TAWON itu. Ia pun membisiki saya: TAWON itu singkatan Teknologi Anak Wonogiri.
Ia memimpikan suatu saat nanti Pengayom punya divisi teknologi pertanian yang cocok untuk pedesaan.
Di dalam prakteknya, PT Pengayom membeli gabah milik petani pemegang saham. Yakni petani yang menjadi anggota Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan yang menjadi anggota Asosiasi Petani Organik.
Dua kelompok tani itulah pemegang saham PT Pengayom Petani Sejagad. Asosiasi Petani Organik memegang 50 persen saham, Gapoktan 35 persen, Hanjar 10 persen dan Seknas BUMP 5 persen.
Jauh-jauh hari petani sudah tahu: berapa harga jual gabah ke PT Pengayom saat panen tiba. PT Pengayom lantas mengeringkan gabahnya –masih dengan cara dijemur di lantai. Lalu menggilingnya di mesin Tawon.
Ketika beras itu dijual didapatlah selisih harga. Sebagian laba itu menjadi keuntungan PT Pengayom. Tapi sebagian besar dikembalikan ke petani dalam bentuk –hanya istilah– cashbacktadi.
Pernahkah rugi? Hasil jualan berasnya lebih rendah dari hasil pembelian gabah plus biaya pengolahan?
”Tidak pernah. Kami selalu untung. Kadang harus kami tunggu harga baik dulu,” ujar Hanjar yang lulusan Pondok Modern Gontor Ponorogo ini.
Masa tunggu itu paling lama dua bulan.
Itu berarti memang ada fungsi ”resi gudang” di dalam PT ini.

Hanjar juga mengusahakan pasar yang harganya bisa diikat dalam kontrak jauh-jauh hari. Misalnya supermarket.
Di sinilah PT Pengayom juga bisa memfungsikan diri sebagai Bulog untuk para anggotanya. Yakni untuk menjaga agar harga gabah tidak jatuh pada masa panen.
Bupati Wonogiri, Joko Sutopo pun, akhirnya juga percaya pada PT Pengayom. Bupati membuat keputusan berani: menunjuk PT Pengayom menjadi pelaksana penyaluran beras untuk orang miskin. Yakni program pemerintah yang dulu diserahkan ke Bulog.
Lewat PT Pengayom itu bupati Sutopo bisa memangkas proses yang panjang.
Petani menyerahkan gabah ke Pengayom. Pengayom menyerahkan beras ke orang miskin. Tidak ada peran tengkulak di proses ini.
Jalur aliran berasnya pun pendek. Orang miskin bisa mendapat beras yang lebih baik.
Terakhir ini PT Pengayom mendapat kepercayaan lebih tinggi lagi: diminta mengelola gudang besar di Wonogiri yang yang sudah bertahan-tahun nganggur.
Dengan ‘cashback’ tiap musim panen itu petani sudah merasa mendapat deviden.
Karena itu di setiap RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) tidak ada permintaan bagi deviden. Belum pernah ada pembagian laba dalam bentuk deviden murni.
”Deviden tidak dibagi untuk terus menjadi laba ditahan. Uangnya untuk pengembangan perusahaan,” ujar Hanjar.
Itulah sebabnya modal dasar PT Pengayom yang awalnya hanya Rp 250 juta kini sudah menjadi Rp 5 miliar. Dengan omzet yang sudah di atas Rp 100 miliar.
Memang Hanjar sangat mengeluhkan soal pajak. ”Ini kan usaha tani. Masih awal dan kecil. Tapi kami harus membayar pajak yang besar,” ujar Hanjar.
Saya jawab: Itulah konsekuensi lembaga berbentuk PT.
Apalagi kalau semua selisih harga tadi –yang jadi cashback tadi– dimasukkan sebagai laba. Laba perusahaan menjadi terlihat besar. Tagihan pajaknya pun besar.
Mungkin, demi pengembangan usaha tani ini, Hanjar harus bisa mencari cara bagaimana agar cashback itu tidak dibukukan sebagai laba. Yang penting jangan menggelapkan pajak.
Tapi biarlah Hanjar tidak usah dibantu. Tidak usah pula diberi nasehat. Biarlah ia kebentur-bentur seperti itu. Ia masih muda. Umurnya 33 tahun. Ia sangat cerdas. Bisa belajar sendiri dari keterjepitannya itu.
Bantuan hanya akan memanjakannya dan akhirnya melemahkannya. Biarlah kalau PT Pengayom itu nanti besar –dan melegenda– itu adalah prestasinya dan prestasi timnya.
Perjalanan Hanjar memang masih panjang. Mungkin masih akan banyak kelokan dan tanjakan di depan.
Ia pasti akan menghadapi persaingan kejam dari swasta. Termasuk dari sembilan naga. Biarlah ia menjadi naga kecil dulu di Wonogiri –siapa tahu kelak bisa jadi naga besar. (dahlan iskan)