Desa Trenggulunan, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, ini merupakan desa tertua di wilayah Lamongan. Bagaimana dengan prasasti Biluluk dan Tanggulunan yang tersimpan di museum Nasional Jakarta. Prasasti yang tertulis tahun 1288-1317 Saka ini merupakan bukti dan fakta sejarah akan titah raja yang ditujukan kepada keluarga kerajaan yang memerintah di Biluluk dan Tanggulunan ( kini Bluluk dan Trenggulunan).
DARI bukti sejarah berupa prasasti ini, berarti desa ini amat tua dan strategis, sampai pemerintah kerajaan pusat menurunkan “titah” seperti itu, desa strategis dan vital keberadaannya. Warga dan pemegang kekuasaan diberi wewenang mengatur urusannya sendiri sebagai daerah swatantra, serta rakyatnya memperoleh restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan. Akan menderita kecelakaan seperti apabila ditegalan akan digigit ular berbisa, masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka dan mati.
Saat berkeling desa ini, kelihatan tandus, namun terlihat ditepi dan halaman rumah-rumah mentereng bertingkat, selalu ada tumpukan jagung berwarna oranye usai panen, juga masyarakat menjemur padi, ada kedamaian di desa ini disertai angin kencang dari utara, ada kesuwungan, ada kemisterian, menyimpan sesuatu sehingga tidak salah atau memang mereka selalu menjaga kemerdekaan yang diberikan pihak kerajaan.
Tanda-tanda desa ini merupakan desa tua, selain terlihat bangunan fisik, ada sumber air yang tidak pernah saat, ada di ketinggian sehingga akan terlihat kalau ada tamu baik atau buruk, serombongan begal, maling bisa terdeteksi dengan jelas dari ketinggian, juga ada akses transportasi air, yaitu dekat dengan alur sungai/ Bengawan Solo.
Saat penelusuran sejarah ini ditemani narasumber dan peminat budaya spiritual, Abah Sutikno Kendal, yang merasakan aura mistis yang amat tinggi. Abah Tik mengakui bahwa energi yang dimiliki dan terkandung di Tlatah Trenggulunan ini amat luar biasa.“Energi ini bisa menyesatkan apabila kita di sini berbuat hal yang merugikan tlatah dan warga disini, antara ada dan tiada, antara suwung kan gluwung, namun awujud,” kata Abah Sutikno meyakinkan.
Masjid Lingkar Perdamaian.
Bangunan baru putih mentereng bergenting coklat mengkilap, di atasnya tumbuh lebat pohon jati, disebelah kanannya ada hamparan tanaman perdu mengambang di atas air, kelembaban dan kesejukan terasakan sampai didalam bangunan putih ini walau tanpa di dukung oleh kipas angin apalagi AC, terasa khusuk melakukan ibadah disini, ditulis Masjid Baitul Muttaqin.
Usai salat Dzuhur, Abah Sutikno Kendal, ditemani Ustadz Murazzi mencoba bersantai dan duduk di teras masjid. “Maklum banyak santri yang mondok di sini pulkam maka aktifitas warga baru rame menjelang magrib, mulai ada kehidupan keagamaan sesungguhnya. Mulai ada suara pengajian bersautan, salat Maghrib berjamaah, dengan dilanjut salat taraweh dan kalo bapak berdua bisa menginap di desa kami, baru terasa kegugupan sesungguhnya, yang diajarkan oleh embah embah kulo dulu, para leluhur ngajari kami harus berani, harus selalu di depan, selalu gotong-royong. Nilai ekonomi di sini tinggi, juga di desa sekitarnya, maklumlah banyak warga sini yang di luar mendulang ringgit,” tutur Ustadz Murazzi.
Desa Trenggulunan, Kecamatan Solokuro 42 km dari Kota Lamongan. Untuk menuju ke desa ini sangat mudah dijangkau dengan beberapa jalan yang perlu perbaikan. Maklum banyaknya jalan paving stone yang rusak akibat penuh dan fullnya tonase yang melebihi batas. Ada wisata religi ke utara dengan mengunjungi Masjid Sendang Duwur dengan dan makam Sunan Achmad dengan gapura indahnya, juga dilanjut ke utara ke makam Sunan Drajad dan wisata laut WBL dan Goa Maharani. ARIFIN KATIQ