Soko Tunggal, Hakikat Huruf Alif  

395 dibaca

Ada rasa damai saat memasuki desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jawa Tengah, Anda akan disambut gapura selamat datang dengan atap ijuk, ditemani rindangnya tanaman di kanan kiri pekarangan rumah warga. Hari Jumat itu waktu masih menunjukkan angka 11.00 WIB. posmonews.com pun memasuki bangunan kuno tur sederhana, di dalamnya sudah penuh jamaah yang berpakaian putih untuk menunaikan Salat Jumat.

YA di dalam seantero masjid itu ada ketenangan, kedamaian berkumpul di sini, ada pandangan luar biasa, ada keanehan? Ada kejanggalan? Bahkan ada kekhasan saat di dalam bangunan, ada sesuatu yang luar biasa yang tidak ditemukan di tempat lain.

Ya… bangunan ini yang disebut masjid istimewa bernama Soko Tunggal, masjid yang ditopang satu tiang tengah lain dari pada yang ada. Masjid Soko Tunggal Baitussalam ini berukuran 12 x 18 meter ditopang satu tiang di tengahnya, di tengah tiang ada empat sayap mirip sirip, tampak seperti sebuah Totem yang indah.

Masjid ini dibangun tahun 1288 Miladiyah sesuai yang tertera di ukiran Soko tunggal. Madjid ini diklaim sebagai yang tertua di pulau Jawa, jauh sebelum era kewalian dan sebelum kerajaan Majapahit berdiri. Menelisik tahun 1288, sebenarnya adalah kekuasaan Singosari, namun tiadanya informasi keterkaitan langsung atau tidak dengan kerajaan di Jawa timur ini.

Letak Desa Cikakak, Banyumas ini, jauh dari jalan raya dengan rimbunnya pepohonan dan hutan sekitarnya, masih ditemui bebasnya kera kera berkeliaran. Masjid ini dengan halaman luas mampu menampung beberapa kendaraan, di depan masjid tersedia tempat wudhu dan kamar mandi. Desa Cikakak sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya,  dibelakang masjid terdapat kompleks makam tua salah satunya pendiri masjid ini Mbah Mutsolik yang dikatakan hidup dimasa Mataram kuno gerbangnya masih bertuliskan aksara Jawa.

Tradisi Unik nan Menyentuh

Saat mengikuti Salat Jumat terasa ada keunikan dan kelebihan yang tidak dimiliki atau acara keagamaan yang tidak biasa dilakukan oleh masjid lain. Selama menunggu dan setelah Salat Jumat, jamaah masjid ini saat berdzikir dan bersholawat dengan nada seperti melantunkan kidung Jawa, dengan campuran bahasa Arab dan Jawa, tradisi ini amat menyentuh qolbu, ngleres ati, terlihat kepasrahan mendalam kepada Sang Khaliq yakni Gusti Allah, tradisi ini dinamai Ura-ura.

Memandang ke depan di bawah mimbar, sang imam masjid tidak menggunakan penutup kepala semisal kopyah hitam, ataupun surban yang biasa digunakan di Indonesia, tapi menggunakan udeng atau pengikat kepala dari kain batik, khutbahnya disampaikan dengan bahasa Arab seperti melantunkan sebuah kidung, langsung tanpa pengeras suara sehingga terdengar merdunya suara sang imam secara langsung, tiada suara dari para jamaah, hening dan terasa damai sekali berjamaah di masjid yang ratusan tahun usianya dan tetap dalam keasliannya.

Empat muazin sekaligus berpakaian sama dengan sang imam, baju putih lengan panjang, udengnya bermotif batik, suara koor ke empat muadzin mengumandangkan adzan secara bersamaan tanpa pengeras suara tetap terdengar merdu dan lantang.

Sebagai pengawal menggambarkan 4 sahabat reasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali selalu setia dengan Nabi Muhammad SAW.  yang lebih khusus lagi semua rangkaian Salat Jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari salat tahiyatul masjid, khotbah Jumat, Salat Jumat, ba’diah Jumat dilakukan secara bersama-sama.

Ada lagi kebersamaan warga Cikakak, setiap 26 Rajab ada ritual di halaman masjid sebagai wujud rasa syukur sekaligus haul Mbah Mutsolik, memperbarui pagar/jaro dinamai Penjarohan, berasal dari kata Jaroh yang berarti ziarah kepada leluhur yang telah meninggalkan kita, diikuti semua warga. Ada aturan dan pantangan yang harus diikuti dan ditaati, mereka dilarang berbicara dengan suara keras, tak boleh memakai alas kaki, yang terdengar hanya suara pagar bambu yang dipukul saja, terasa kedalaman makna filosofisnya.

Filosofi Huruf Alif

Kekhasan lain dari Masjid Soko Tunggal ini, mewarisi ajaran Mbah Mutsolik yang mengartikan Soko Tunggal dengan empat sirip/sayap melambangkan “Papat Kiblat Lima Pancer”, empat mata angin dengan satu pusat, berarti manusia sebagai pusat dikelilingi oleh 4 penjuru mata angin yang melambangkan api, air, angin dan tanah. Soko tunggal yang berarti manusia hidup seperti huruf Alif, harus lurus, tegak, tegas, tidak bengkok,  tidak berbohong, tidak sombong.

Sedangkan 4 penjuru angin melambangkan manusia itu dalam kehidupan sehari-hari harus seimbang, jangan terlalu banyak air nanti kebanjiran, jangan bermain api nanti kebakaran, jangan terlalu memuja tanah nanti jatuh dan dihimpit tanah.

Bisa juga Papat kiblat lima pancer diartikan empat nafsu manusia. Menurut terminologi Islam-Jawa, seperti yang di utarakan ustad Anton Syarkowi Jombang, dalam diri setiap manusia selalu ada pertarungan nafsu manusia dan selalu mempengaruhi watak manusia, yaitu aluamah, mutmainah, sopiah dan amarah. Maka kita sebagai manusia khususnya manusia Jawa harus menjaga dan memelihara keseimbangan, hidup harus harmoni, hidup harus ngayomi terutama alam sekitarnya.

Menjaga keseimbangan sesama manusia, dengan hayawani sayang binatang dan tidak mempunyai sifat kebinatangan, dengan hayati tumbuh tumbuhan tidak menebang sembarangan, dengan jasadi hewan hewan kecil jasad renik, juga perlu tidak mengusik keberadaan sang ruhi, makhluk astral dan malah bersahabat, minta tolong dan memujanya.

Keberadaan Masjid Soko Tunggal Baitussalam, ini tetap diugemi sampai kini. Dalam menentukan 1 Syawal Mereke punya perhitungan sendiri, mereka punya dasar sendiri, terkadang tidak sama dengan pengikut jamaah lain, juga kadang berbeda dengan keputusan pemerintah. Mereka menggunakan dasar “Waljiro”, syawal Siji Loro (Syawal Satu Dua), 1 Syawal jatuh pada hari pertama (siji) nama Hari Senin, dan pasaran Kedua (loro), nama pasaran jatuh pada paling. ARIFIN KATIQ