Siang itu kabut menyelimuti dusun, hawa dingin pun menusuk kulit, seolah-olah tiga lapis kain tak cukup untuk melindungi badan. Di ketinggian lereng gunung, yang berjarak sekitar 8 km dari gunung Bromo ini, PosmoNews.com menghabiskan waktu seharian menikmati perkampungan mualaf. Konon, meskipun sebagian mastarakat Tengger yang terletak di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur berbeda keyakinan, tapi mereka sampai sekarang hidup rukun dan saling berdampiungan. Benarkah? Berikut liputannya.
TENGGER berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger. Menurut legenda, suku ini berasal dari kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Raja Brawijaya. Konon cerita, saat masuknya Islam di Jawa, sebagian masyarakat yang setia kepada agama hindu pergi ke arah Timur. melewati Gunung Bromo, Banyuwangi dan pulau Bali dan sebagian mengasingkan diri dari dunia keramaian.
Dipimpin Roro Anteng dan Joko Seger, masyarakat majapahit yang setia kepada agamanya bermukim di dataran tinggi kaki Gunung Bromo. Nah, dari kedua nama inilah nama Tengger berasal. Seiring berjalannya waktu dan struktur pemerintahan, suku Tengger terbagi diempat Kabupaten Di Jawa Timur, antara lain suku Tengger Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang, dimana mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Memang dari pantauan posmoneews.com sampai saat ini agama hindu masih mayoritas sebagai kepercayaan masyarakat Tengger. Akan tetapi, bukan berarti agama lain seperti halnya agama Islam tidak bisa masuk ke daerah tersebut. Seperti halnya di Tengger di Desa Argosari, Kec. Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Agama Islam sudah mulai berkembang.
Restu Kiai, Dakwakan Islam
Desa yang terletak di lereng Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang ini. Jaraknya kurang lebih 52 km dari pusat kota Lumajang. Sehingga untuk menuju kesana kurang lebih menempun satu jam perjalanan. Dengan medan jalan yang dapat membuat jantung derdetak lebih cepat dari detak normal.
Saat memasuki gerbang yang bertuliskan” SELAMAT DATANG KAWASAN WISATA B-29 DESA ARGOSARI, KEC. SENDURO, KABUPATEN LUMAJANG”. Sekitar 10 meter dari pintu gerbang, PosmoNews.com melihat berdiri bangunan musholah yang biasanya sehari-harinya digunakan warga sekitar untuk melakukan ibadah. Mulai dari sholat, mengaji dan belajar kitab agama Islam lainnya.
Saat itu, memutuskan untuk singgah di mushola, tim pun langsung disambut Mochamad Rofikin. Rofik menggaku kalau dirinya tidak asli dari suku Tengger. Akan tetapi keberadaanya di sana tidak lain adalah untuk melakukan dakwa mengenalkan dan mengejarkan Islam.
Rofik menceritakan bahwa, keberadaanya di dukuh Ghedok ini, diawali saat kiainya yang bernama KH. Agus Khoiron Nashy berjalan-jalan ke suku Tengger, tepatnya di Desa Argosari sekitar tahun 2001-2002.
“Saat jalan-jalan kiai melihat ada bangunan masjid, tapi kondisinya tidak terawat. kiai langsung menemui saya, dia bilang, Fik kamu mau merawat masjid yang ada di desa Argosari,” saya langsung mengiyakan saja. Dan tahun 2002 saya diantar kiai menuju desa tersebut,” tuturnya.
Mualafkan Dusun Ghedok
Jauh sebelumRofik, ternyata Islam sudah ada Di Dusun Ghedok. Hal ini terbukti dengan berdirinya bangunan Masjid Nuril Huda. Meskipun bangunannya jauh dari kemegahan, seperti halnya masjid di kota. Tetapi bagi warga Tengger Argosari masjid tersebut digunakan untuk beribadah, seperti halnya saolat Jumat.
Menyoal banyaknya warga Ghedok yang mualaf, Rofik mengakui bahwa dia hanya meneruskan perjuangan bapak Soetomo/Tomo yang sebelumnya mengenalkan islam di masyarakat Tengger Argosari. Sehingga saat, dia melakukan siar, tidak ada halangan atau pun rintangan yang membahayakan.
“Saat Tiba di Dusun, saya tidak langsung silaturohmi dengan penduduk asli. Setelah saling menggenal, barulah saya sisipkan dakwa. Saya ajarkan dasar-dasar islam, dan lama-kelamaan anak-anak mereka belajar agama. Mulanya hanya satu dua orang. Tapi lama-kelamaan anak-anak tetangga juga pada ikut-ikutan belajar agama. Sedangkan jumlah mualaf yang belajar agama tidak kehitung. Sebab setiap hari ada saja orang yang belajar,” jelasnya.
Rofik mengenalkan agama islam kepada warga Ghedok dimulai dari akhlak, kemudian mengajarkan Alquran, tajuwid, dan hadis. Sampai sekarang. Dia mengajarkan dasar-dasarnya saja dulu, yang penting mereka mau belajar agama islam saja sudah untung. Di depan rumahnya di bangunkan musalah Al Hidayah dan tempat untuk TPA. HARIS