Setelah berhasil mengislamkan wilayah Pantai Utara Jawa Tengah, maka Sunan Bonang melanjutkan siar Islam ke Kediri. Karena daerah tersebut masih banyak yang belum memeluk agama Islam. Bagaimanakah kedatangannya di Kediri. Berikut tulisan Husnu Mufid posmonews.com.
Kepergian Sunan Bonang Bonang dikawal santrinya bernama Ki Badar. Saat melewati daerah Kertosono menyebrangi sungai. Karena waktu itu masih belum ada jembatan. Setelah menyebrang sungai sebelah Timur ingin mengetahui agama masyarakat setempat.
Ia mengetahui masyarakat daerah tersebut beragama Kalang dan memuliakan Bandung Bondowoso. Sebab dianggap sebagai nabi. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.
Kemudian Sunan Bonang menyebut bahwa masyarakat tersebut beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Bahkan memberi nama dengan sebutan Kota Gedhah. Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Ketika tiba waksu shalat dhuhur, Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Sayang sekali air sungai berwarna coklat akibat banjir, maka Sunan Bonang menyuruh Ki Badar meminta kepada penduduk setempat.
Di Desa Patukmelihat seorang gadis lagi menenun. Ki Badar berkata dengan nada agak keras saat meminta air. ” Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih,” kata sahabat itu.
Gadis itu terkejut. Karena dilihatnya seorang laki-lak dan menyangka Ki Badar mau menggoda. Gadis itu kemudian menjawab dengan nada kasar juga:
” Kamui baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya.”
Mendengar kata-kata kasar itu, Ki Badar itu langsung pergi tampa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Gadis desa itu dan Ki Badar rupanya saling salah paham. Setibanya di hadapan Sunan Bonang, ucapan gadis itu disampaikan. Mendengar penuturan itu, maka Sunan Bonang mengeluarkan kata-kata keras.
“Tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kawin sebelum menjadi jejaka tua,”ujar Sunan Bonang.
Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Kemudian aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Akibat arus sungai Brantas yang menyimpang. Sungai-sungai di tempat tinggal gadis tersebut mengering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air.
Begitupula dengan perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.
Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Buto Lokacaya
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Kemudian Nyai Plencing melapor ke rajanya yaitu Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murga. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri. Sunan Bonang pun tidak takut menghadapi Buto Locaya dan anak buahnya.
Raja Jin tersebut menyerag dengan membabi buta. Tapi begitu mendekati Sunan Bonang tubuhnya terasa panas. Hingga akhirnya menyerah dan meninggalkan lokasi peperangan dengan merubah wujudnya kembali menjadi raja jin yang bersemayam di Gunung Wilis.
Hal inilah yang menjadikan Sunan Bonang memasuki wilayah Kediri. Karena tidak ada gangguan lagi. Patung-patung yang ada dipenggal kepalanya semua. Hal tersebut untuk memudahkan tentara Kesultanan Demak menyerang kerajaan Majapahit yang beribukota di Kediri dengan rajanya bernama Girindra Wardhana.
Masyarakat akhirnya banyak yang masuk Islam. Sudah tidak menyembah patung lagi dan tidak menganut agama kalang yang memuja Bandung Bpndowoso. Banyaknya warga Kediri yang beragama Islam menjadikan agama di Kediri semakin berwarna, selain ada agama Hindu, Budha, kalang. Juga agama Islam. Kemudian Sunan Bonang mendirikan sebuah langgar Tiban. Lokasinya berada di Dhoho sebagai tempat shalat masyarakat yang beraga islam. ***