Kisah Kiai Kholil Usir Santri

159 dibaca

Moh Rowi Mancengan Modung Bangkalan merupakan salah satu santri Syaikhona Kholil al-Bangkalani atau Kiai Kholil (1820-1923 M) yang beruntung. Dari seorang ulama kharismatik dari Pulau Madura, Jawa Timur.
Moh Rowi mendapatkan Kitab Alfiyah yang dikarang sendiri oleh Sang Guru.
Moh. Rowi muda awalnya mondok di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Kesehariannya beliau sibukkan dengan mengaji berbagai macam kitab. Selain itu, beliau juga sering bertapa di waktu malam. Tempat pertapaannya agak aneh karena beliau selalu berendam di sungai yang ada di samping pondok, sambil berdzikir secara terus-menerus sampai Subuh menjelang.
Suatu ketika di malam yang gelap dan dingin, beliau turun ke sungai seperti biasanya, berendam sambil berdzikir tiada henti. Dalam kekhusyu’annya, tiba-tiba beliau tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu, beliau bertemu dengan seseorang berpakaian putih serta berwibawa, di atas sebuah bukit orang itu berkata, “Kalau kamu ingin alim ilmu Nahwu, datanglah ke pondok Demangan, belajarlah kepadaku!”.
Moh. Rowi terbangun dari tidurnya, sekujur tubuhnya yang dingin kemudian terasa hangat dan gemetar. Segeralah beliau naik ke darat dan kembali ke kamarnya di pondok, sampai menjelang Subuh, Moh. Rowi sama sekali tidak bisa memejamkan matanya karena mimpi yang baru dialaminya terus membuatnya berpikir apa yang harus dilakukannya.
Setelah berpikir lama, beliau akhirnya memutuskan untuk memenuhi perintah orang berwibawa itu yang dilihatnya dalam mimpi.
Keesokan harinya, Moh. Rowi segera sowan kepada KH. Ya’qub (Pegasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo saat itu) dan menceritakan mimpi yang dialaminya. Mendengar penuturan santri yang disayanginya itu, KH. Ya’qub langsung memerintahkan untuk segera melaksanakan petunjuk dalam mimpi itu.
Setelah mendapatkan izin dari gurunya, Moh. Rowi segera menuju ke Demangan Bangkalan, tanpa pulang dulu ke rumahnya di Mancengan Modung. Sebelum ke pondok Demangan, dia mampir dulu ke rumah familinya yang ada di Bangkalan untuk sekadar membersihkan tubuhnya dan melakukan persiapan untuk berangkat menuju Pondok Demangan.
Setelah sampai di pondok Demangan, Moh. Rowi segera sowan kepada Syaikhona Kholil. Namun belum sempat menyampaikan tujuannya untuk mondok, tiba-tiba Syaikhona Kholil langsung mengusirnya. Moh. Rowi langsung keluar karena ketakutan yang luar biasa.
Tetapi dia sadar, bahwa ini adalah cara Syaikhona Kholil untuk menguji kesungguhannya untuk mengaji dalam menuntut ilmu. Keesokan harinya dia kembali sowan lagi, namun Syaikhona Kholil kembali mengusirnya, begitu seterusnya sampai beberapa hari.
Moh. Rowi dengan sabar menerima ujian ini, sehingga dia tidak berani lagi untuk sowan. Moh. Rowi bingung dan hanya bisa menunggu dan menunggu di luar komplek pesantren Demangan.
Tibalah di hari keempat, Syaikhona Kholil memerintahkan salah satu santri untuk mencari Moh. Rowi dan membawanya ke rumah beliau. Bukan main gembiranya Moh. Rowi, segera saja dia langsung sowan kepada Syaikhona Kholil. Sesampainya di rumah, Syaikhona menanyakan maksud kedatangannya ke pondok Demangan dan dengan penuh ta’dzhim Moh. Rowi menyampaikan keinginannya untuk mengaji kepada beliau.
Syaikhona Kholil kemudian berkata, “Saya menulis Kitab Alfiyah dan akan saya jual sama kamu, ayo tawar harganya.”***