Tempat Gemblengan Prajurit Surakarta

955 dibaca

Alam memang menawarkan berjuta kekaguman. Selain udaranya yang masih alami, sejauh mata memandang pun, akan  menawarkan pemandangan ciptaan Ilahi yang tiada banding. Namun di balik keindahan, gunung mempunyai sisi-sisi mistik yang harus ditaati. Kalau tidak, seperti yang terjadi belum lama ini, Ponorogo longsor mengakibatkan korban jiwa. Berikut laporan Haris dn Cahya posmonews.com

SAMA halnya dengan keberadaan Gunung Bromo. Begitu pula Gunung Wilis yang terletak di Desa Ngliman, Kec. Sawahan atau 33 km arah selatan Nganjuk., Jawa Timur. Gunung Wilis melintasi empat kabupaten. Mulai dari Nganjuk, Kediri, Trenggalek dan Ponorogo. Konon, sejak jaman Belanda, gunung ini sudah digunakan sebagai perbatasan di empat kabupaten tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya bangunan pembatas di tengah-tengah gunung. Oleh sebab itu, gunung wilis mempunya empat nama, antara lain Gunung Wilis, Gunung Trogati, Gunung Ndorowati, dan Gunung Tanggulegih.

Puncak tertingginya adalah Gunung  wilis, dengan ketinggian 2.552 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan berdekatan dengan Kab. Ponorogo.  Sedangkan Gunung Trogati berdekatan dengan Kab. Nganjuk. Mengapa dinamakan Trogati? Karena di puncak gunung tersebut terdapat pertapaan Senopati Trogati yang mengasingkan diri, saat islam masuk Kerajaan Majapahit. Jadi jangan heran apabila saat melakukan pendakian ke Gunung Wilis dan sekitarnya, menemukan situs patung atau candi peninggalan Hindu. Seperti halnya, Candi Condrogeni, Candi Penampihan. Konon ceritanya, candi-candi ini difungsikan sebagai pemujaan para resi, juga dipakai untuk upacara penyucian diri agar bisa segera mencapai kalepasan atau moksa.

Surahman- akrab di panggil- mbah Man (67) sesepuh Gunung Trogati menceritakan bahwa, Panji Asmoro Bangun saat melamar Dewi Sekartaji, juga melewati Gunung Wilis. Oleh sebab itu, meskipun masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Lantaran kepercayaan ini dibawa Ki Ageng Ngaliman dari Surakarta. Akan tetapi warga lereng gunung tidak dapat dilepaskan dari  budaya yang ditinggalkan oleh leluhur kerajaan Majapahit dan Keraton Surakarta. Seperti ritual suroan yang merupakan budaya Hindu dijaman kerajaan Majapahit.

Ritual Suro

Di Gunung Trogati, pegunungan ini dikelilingi beberapa panorama air terjun, di antaranya Sedudo, Segenteng, Jagak, Miber, Singokromo dan Air Terjun Slawe. Namun hingga kini, masyarakat di luar Gunung Trogati, hanya mengenal air terjun Sedudo dan Singokromo. Kenapa hanya dua? Karena selain lokasinya berdekatan dengan rumah penduduk, untuk menuju ke lokasi objek wisata ini, sangat mudah dijangkau. Karena jalan ke kawasan wisata ini, sudah beraspal mulus.

Sedangkan untuk menuju ke air terjun Singokromo, jalannya sedikir licin dan berbahaya. Karena 3 kilo meter jalan menuju lokasi masih berupa tanah liat. Oleh sebab itu, untuk menuju ke dua lokasi air terjun ini, harusnlah berhati-hati, karena jalannya cenderung menanjak, naik-turun, dan berkelok-kelok. Maklum, lokasinya berada di gunung. Dari data yang dimiliki dinas pariwisata kota Nganjuk, ketinggian air terjun Sedudo ini mencapai sekitar 200 meter. Sedangkan air terjun Singokromo setinggi 150 meter.

Bisa dibayangkan, dengan ketinggian seperti ini, maka jika dilihat dari bawah, air terjun ini terlihat seperti embun  putih yang meluncur ke bawah. Setiap bulan Suro, semua warga berkumpul di air terjun Sedudo dan air terjun Singokromo, untuk mengikuti ritual mandi. Konon kepercayaan masyarakat sekitar meyakini, siapapun yang mandi di kolam air terjun Sedudo, akan awet muda, murah rezekinya, atau berkah makin berwibawa. Kepercayaan ini muncul dari cerita, adanya seorang yang bernama Mbah Samak alias Mbah Samin yang melakukan tapa mutih.

Mbah Man menceritakan, mbah Samak melakukan tapa Mutih ini dilakukannya bertahun-tahun dengan harapan mempunyai kedigdayaan, agar bisa membalas dendan kepada seorang lurah yang selalu menyiksanya. Lantaran, dia mempunyai cacat fisik. Perawakan Mbah Samak ini, kepalanya kecil, badannya besar, dan kakinya kecil seperti orang kena polio. Dia bertapa di air terjun Sedudo sampai akhirnya keinginannya mempunyai kelinuwihan terwujud, Mbah Samak berubah wujud menjadi seekor ular besar.

Oleh sebab itu warga percaya kalau nama Sedudo berasal dari kata ‘sep’ atau ‘ isep’ dalam bahasa indonesia berarti dihisap atau diminum. Kata ini merupakan sabdo dari Mbah Samak ”siapa pun yang mandi atau pun meminum air terjun Sedudo, akan awet muda dan akan kabul hajatnya”. Oleh sebab itu, air terjun Sedudo di zaman Kerajaan Majapahit dimanfaatkan untuk mencuci senjata pusaka milik raja dan patih dalam Prana Pratista. Sementara, Sedudo digunakan Ki Ageng Ngaliman untuk bertapa.

Mbah Kabul Misuwur

Terkait dengan puncak Trogati, terdapat makam dan pertapaan yang dikenal dengan Pertapaan Trogati berupa rangkaian batu melingkar dengan diameter 60 cm. Tidak jauh dari pertapan tersebut juga terdapat sebuah bangunan kecil dengan ukuran ½ x ½ x 1½  yang ditengarai sebagai tempat laku atau ritual. Di puncak inilah, banyak pelaku ritual yang melakukan ngalap berkah. Di antaranya untuk kepangkatan.

Mbah Kabul Misuwur merupakan seorang Senopati dari Majapahit yang melarikan diri setelah diserang oleh Raden Patah dengan melakukan ‘Tapa Mluwang’. Yakni bertapa dengan membuat lubang sebagai tempat makamnya sendiri sebelum ajalnya menjemputnya. Nah, terkait dengan kekeramatannya, barang siapa yang singgah dan meminta kepada Allah di puncak Gunung Wilis ini. Maka, doanya akan dikabulkan. Tentunya dengan niatan tulus dan hanya berdoa kepada Allah.

Mbah Man mengatakan bahwa banyak orang yang datang untuk ngalap berkah di puncak tersebut dan banyak pula yang mendapatkan kesuksesan. Tak ayal tempat tersebut menjadi jujugan para pelaku ritual untuk ngalab berkah di puncak Trogati.

Gemblengan Prajurit Surakarta

Air terjun Singkromo, lokasinya 500 meter dengan Pertapaan Sedepok. Jalan antara pertapaan Sadepok, ke air terjun Singokromo, harus melalui jalan yang licin, setapak, terjal dan bertingkat. Cukup dilewati oleh satu orang. Menurut Mbah Man, area pertapaan Sadepok ini setiap bulan Suro, juga banyak dikunjungi masyarakat Trogati maupun luar Trogati. Konon menurut cerita masyarakat desa, pertapaan ini dulunya digunakan sebagai tempat pengemlengan atau pelatihan fisik dan mental prajurit Ki Ageng Ngaliman, untuk melawan Belanda.

Menurut Mbah Man, ki Ageng Ngaliman adalah seorang Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo dan juga dikenal sebagai seorang ulama. Keberadanya di Nganjuk tidak lain karena saat itu Surakarta digempur oleh Belanda, sekitar tahun 1720 M. Misinya adalah menyamarkan diri dan melatih kanoragan prajurit Kraton Surakarta yang ikut dengannya. Karena saat itu, pemerintah Belanda, ikut campur dalam mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.

Jadi waktu itu, warga meyakini bahwa siapa saja yang membocorkan keberadaan Ki Ageng Ngaliman, dia akan mati dimakan binatang buas. Oleh sebab itu nama Ki Ageng Ngaliman memang dirahasiakan Kasultanan. Sehingga Belanda tidak tahu keberadaanya. Kompeni memburunya bukan tanpa sebab, lantaran semasa hidupnya, Ki Ageng Ngaliman ini dikenal mempunyai ilmu kanoragan yang sangat tinggi. Dan mempunyai banyak pasukan. Dia bisa mengaburkan pandangan mata Belanda untuk tidak menyerang atau masuk di wilayahnya. Saat ini, pusara Ki Angeng Ngaliman, terletak di Desa Ngaliman, Nganjuk, Jawa timur. dan sebelum melakukan pendakian ke Gunung Trogati, dari arah polsek Sawahan, Nganjuk, berada disebelah kanan jalan. ***