Menilik Jatidiri Piantun Jawa

209 dibaca

Setiap bangsa atau suku bangsa, tentu memiliki jati diri. Memiliki identitas yang jelas. Kepribadian yang khas. Secara kasat mata, identitas orang Jawa dapat dilihat dari agemannya (busananya). Bagi orang Jawa, ageman bukan hanya sekedar pakaian. Namun mengandung filosofi hidup yang adi luhung.

Dari sekujur tubuh, busana orang Jawa mengandung makna dan filosofi. Piantun Jawa (lelaki Jawa), bagian kepala memakai penutup yang disebut blangkon. Bajunya disebut sorjan. Bagian bawahan mengenakan jarit. Dan terompahnya memakai sandal slop. Tak ketingglan, di punggung terselip sebuah keris pusaka.

Namun tidak hanya itu. Identitas pria Jawa sejati, ia mempunyai turangga atau tunggangan. Yaitu kuda. Memiliki keris pusaka sebagai piandel. Juga punya kelangenan berupa piaraan burung. Bagi kalangan ksatria, juga memiliki ayam jago aduan.

Semua  item  tersebut merupakan simbul-simbul. Bahasa simbul bagi lelaki Jawa yang  mengandung makna dan filosofi. Filosofi apa saja yang tersembunyi pada setiap bagian penutup tubuh pria Jawa itu ?

 

Blangkon

Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari kain. Pada umumnya kain batik. Kini, blangkon digunakan oleh kaump pria sebagai bagian dari pakaian tradisiaonal atau ada Jawa. Dulu, blangkon senantiasa dipakai sehari-hari. Sebagaimana sebutannya, blangkon berasal dari kata blangko. Maknanya sesuatu yang siap pakai.

Dulunya blangkon tidak berbentuk bulat dan siap pakai, melainkan sama seperti ikat kepala atau udeng yang pemakaiannya melalui proses pengikatan yang cukup rumit. Seiring berjalannya waktu, maka tercipta inovasi untuk membuat ikat kepala siap pakai yang selanjutnya dijuluki sebagai blangkon.

Menurut wujudnya, blangkon dibagi menjadi 4: blangkon Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan blangkon Banyumasan. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda.. Tekstur dan motif blangkonnya juga berbeda. Blangkon gaya Yogyakarta, misalnya, berbeda dari blangkon Jawa Tengah, Solo, ataupun Jawa Barat. Filosofinya juga berbeda.

 

Blangkon Jogja

 

Blangkon Yogyakarta mempunyai mondolan. Yaitu bulatan seperti onde-onde dibagian belakang. Sejarahnya,  pada waktu itu, awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikat keatas (seperti Patih Gajah Mada). Ikatan rambut itu disebut gelungan. Kemudian dibungkus dan diikat. Lalu, dalam pembuatan blangkon dibuatlah gelungan kecil, yang dinamakan mondolan.

Kemudian, mondolan itu menjadikan salah satu filosofi masyarakat Jawa. Yang maknanya  pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau aib diri sendiri. Ia akan menutup serapat mungkin. Dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa.

Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri.

Blangkon Solo

 

Blangkon Solo berbeda dengan blangkon jogja. Pada blangkon solo tidak terdapat mandholan. Hanya saja blangkon gaya Solo mondholannya trepes atau gepeng . Karena waktu itu lebih dulu mengenal cukur rambut karena pengaruh Belanda. Karena pengaruh Belanda tersebut mereka mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan.

Tidak adanya tonjolan bagian belakang, hanya ada ikatkan  dua pucuk helai di kanan dan kirinya. Ikatan itu mengandung arti  bahwa untuk menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus, yaitu  dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang Jawa.

Jadi Blangkon adalah sebuah wujud pengendalian diri dengan menampakkan bagian depan blangkon yang diikat rapi (diwiru dengan halus) lalu menahan gejolak emosi, dalam hal ini rambut sebagai lambang gejolak emosi, dengan mengikatnya di belakang kepala hingga berbentuk benjolan tadi. Meski hati panas tapi kepala harus dingin. Maka bila emosi sudah tak tertahankan dan meledak maka lelaki Jawa harus mengurai mondolan di blangkonnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai.

Hal inilah yang sering disalahpahami sebagai halus di depan tapi dongkol dibelakang untuk menyembunyikan niat busuknya. Biarlah itu kata orang. Karena tidak sedikit orang yang sirik. Paparan tersebut merupakan penjelasan makana dan filosofi yang diberikan oleh para pakar budaya. ****

Cak Yon N.