WAJAH Dulkamdi tampak suram seperti mendung. Gerahamnya terkatup erat menahan amarah. Sementara Kang Soleh senyum-senyum sendiri di sudut kedai Cak San itu. “Isi dunia ini kok nggak selesai…selesai…,” kata Pardi yang tiba-tiba masuk mengejutkan Kang Soleh dan Dulkamdi. “Sudah tahu, kok masih bertanya!” sergah Kang Soleh.
“Kamu ini bisanya cuma ngritik saja Di,” tambah Dulkamdi, merasa tersindir oleh ungkapan Pardi.
“Memangnya ucapan saya itu menyinggung perasaanmu, Dul?”
“Bukan menyinggung, tapi juga menikam…”
“Ladalaa, Alhamdulillah kalau begitu Dul. Berarti apa yang saya ucapkan, kan benar.”
“Benar, memang, tapi salah!”
“Salah bagaimana?”
“Yo ngono, ning ora ngono..”
Ketiga orang itu lantas meledak tawanya.
“Apa sih yang saya pikirkan? Coba tebak!”
“Paling kamu memikirkan hutang-hutangmu, ya!”
“Utang ndasmu atos iku. Saya sedang berpikir keras soal-soal besar Di. Walau pun saya hanya anak kampung, kalau pikiran saya menjangkau seluruh isi dunia, kamu mau apa?”
“Itu namanya cecak nguntal kendhang Dul. Mbok rumongso, kamu itu…”
“Walah, bicara sama makelar itu ya begitu-begitu saja.”
“Apa sih yang kamu pikirkan?”
“Saya sedang mikir, mengapa orang-orang kota, yang menamakan dirinya gerakan Islam itu lho, Di. Kenapa hanya senang dengan gambar-gambar, simbol-simbol, atau kulit-kulit saja. Perasaan mereka sudah paling Islam dan paling benar.”
“Whoooo, kalau soal itu biarlah Dul. Memang Allah masih menakdirkan mereka berpikir begitu, kok.”
Dulkamdi menghela nafas panjang mendengar jawaban Pardi seperti itu. Sedangkan Kang Soleh membenarkan ucapan Pardi tadi. Sembari Kang Soleh mengutip sejumlah kalimat para Sufi tentang tingkat-tingkat Makrifat kepada Allah. “Orang makrifat itu, ya, pada tahap mula hanya tahap Makrifat Asma’, di mana seorang hamba Allah baru mengenal Allah memalui Asma’-Nya, kemudian ia fana’ dalam Asma’ tersebut.
Tahap berikutnya manusia itu mengalami Makrifat Sifat, yaitu peleburan sang hamba atas sifat-sifat Ilahi, sehingga secara terus menerus ia memandang sifat-sifat Ilahi itu bermanifestasi dalam gerak-gerik jagad makhluk ini, baik lahir maupun batin. Berikutnya Makrifat Af’al, di mana sang hamba melihat perbuatan-perbuatan Allah yang menggerakkan seluruh gerakan makhluk ini, dan si hamba tadi melihat Allah di setiap gerakan jagad ini. Terakhir ada Makrifat Zat, ketika zat Allah dilihatnya melalui mata hatinya….”
Mendengar aforisma Kang Soleh itu, Dulkamdi sedikit terjengak. Ia mencoba bersinergi dengan fakta-fakta pemahaman keislaman orang-orang di Indonesia. Bisa saja kemudian, tahap pemahaman keislaman manusia Indonesia juga seperti itu. Ada yang memahami Islam pada tingkat Asma’.
Ada pula yang sudah sampai pada tingkat sifat, ada lagi yang sampai pada tingkat Af’al. Begitu pula, bahkan, ada yang pada tahap zat.
“Wah, ini tesis baru, Kang. Kalau saya kuliah besok, pasti saya kan buat penelitian melalui pendekatan Sufistik ini. Siapa tahu, segalanya bisa kembali pada pencerahannya.” “Iya, Dul. Mumpung kamu belum nikah. Kamu punya peluang besar untuk itu,” timpal Kang Soleh.
“Kalau saya Dul,” tambah Pardi, “Akan saya aktualisasikan dalam dunia makelar. Siapa tahu Dul, saya akan bisa jadi pialang Sufi, broker Sufi, dan saya akan mulai dari makelaran sepeda pancal di pasar krempyeng.”
“Wah kita-kita bisa gila ya Di.”
“Memang kita-kita sudah gila, kok!”
“Jadi kamu serius akan membangun dunia makelar secara sufistik!”
“Serius Dul. Coba, kata Kang Soleh tadi ada sejumlah jenis Ma’rifat. Saya kira nanti, dunia managemen juga ada seperti itu. Ada manajemen Asma’, ada manajemen Sifat, ada manajemen Af’al dan ada manajemen Dzat.”
“Wah, kamu lebih gila Di. Asal jangan gludug-nya saja, nggak ada hujannya.”
“Ya, saya sudah waleh dengan omong kosong, gludug berbunyi, hujannya tak ada.” “Tapi itu kan nyata! Kata penyanyi, mendung belum tentu ada hujan….ha…ha…ha…”
Mohammad Luqman Hakiem
Jakarta Sufi Center