Sunan Kalijaga merupakan salah satu walisongo yang tidak memiliki pesantren. Namun, santri-santrinya berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dia mendatangi santrinya. Salah satu yang didatangi adalah Sutawijaya saat bertapa di atas batu Pantai Parangtritis, Yogyakarta untuk berdoa agar keinginannya menjadi raja akan terkabul. Berikut tulisan Husnu Mufid posmonews.com.
Meskipun usia Sunan Kalijaga sudah lanjut, yakni mencapai 100 tahun, tetapi masih melakukan perjalanan ke pelosok desa hingga pinggir Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Karena di pantai tersebut merupakan wilayah penyebaran agama Islah oleh Syekh Maulana Magribi dan Syekh Belabelu. Di Pantai Parangtritis Sunan Kalijaga melihat ada seorang anak muda bersila di atas batu pinggir pantai. Setelah didekati ternyata Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan.
Selama bersama Sutawijaya memohon kepada Gusti Allah agar diizinkan menjadi raja tanah Jawa. Setelah membuka mata, alangkah terkejutnya melihat Sunan Kalijaga berdiri di sana. Dia lalu bersujud dan memohon ampun karena telah berani menyombongkan diri dengan ilmunya itu.
Sunan Kalijaga lalu berkata, “Bangunlah hai putra Ki Gede Pamanahan. Janganlah menuruti kelemahan hati yang menyuarakan keserakahan. Enyahkanlah bisikan setan itu, bangkitlah hai murid Jaka Tingkir!” Senapati lalu bangkit, Sunan Kalijaga kemudian bertanya kepadanya, “Apakah benar kau sangat ingin menjadi raja yang menguasai tanah Jawa ini?” Senapati mengangguk perlahan, Sunan Kalijaga bertanya lagi, “Meskipun itu berarti kau harus berhadapan dengan guru sekaligus ayah angkatmu Sultan Hadiwijaya dan berperang dengan seluruh negeri Pajang yang selama ini menjadi negeri tumpah darahmu dan tempat almarhum ayahmu mengabdi?”
Senapati lalu menundukkan kepalanya, tubuhnya berguncang, air matanya meleleh lalu pelan berkata, “Hamba selalu memohon petunjuk kepada Gusti Allah, tetapi belum mendapatkan petunjuknya. Mungkin Gusti Allah memberikan petunjuknya lewat Kanjeng Sunan.”
Sunan Kalijaga tersenyum lalu kembali membuka mulutnya, “Baiklah Senapati, akan kuberikan pelajaran yang amat tinggi dari Kanjeng Rasul untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.” Sunan Kalijaga menghela nafas sebelum memberikan wejangannya, lalu sambil duduk di atas sebuah batu karang dia memulai wejangannya kepada Senapati. “Perang itu sesungguhnya hanyalah suatu alat penghancur untuk menghilangkan kerusakan yang disebabkan oleh kebatilan, diganti dengan yang baru. Timbulnya suatu peradaban itu adalah karena perombakan dari masa silam yang manusia rusak sendiri,” beber Sunan Kalijaga.
Sambil memandang ke arah laut Sunan Kalijaga menyedekapkan tangannya lalu melanjutkan ucapannya. “Tanpa persengketaan manusia tidak akan bergairah untuk hidup lebih maju. Tanpa perang pun semua makhluk akan menemui ajal yang telah digariskan. Setelah itu diganti dengan manusia yang baru untuk meneruskan sisa pekerjaan yang telah mati.
Demikianlah seterusnya seperti alam raya yang terus bergerak berputar tak pernah diam, demikian pula pikiran manusia setiap detik bergerak terus tak pernah berhenti. Walaupun tidak perang, alam akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia menjadi sadar bahwa dia tak berkuasa apa-apa di dunia ini. Pandanglah kehidupan di sekitar kesultanan Pajang anakku, mereka itu adalah manusia-manusia yang tak menyadari asalnya dan diperbudak oleh hayalan.
Perjalanan hidup manusia tidak bisa tetap, bagaikan alam, ada terang dan gelap, ada panas dan dingin, berubah-ubah sesuai kehendak Hyang Maha Kuasa. Usia hidup di alam kasar ini tak ubahnya seperti kedipan mata cepatnya bila dibandingkan dengan usia alam yang berjuta-juta tahun. Oleh sebab itu, terimalah segala derita ataupun semua cobaan dengan ikhlas menerima pada yang telah digariskan Gusti Allah.
Bukan Ilmu ataupun kesaktian fisik yang bisa menuntun ke jalan yang manunggal di jalan ilahi karena ilmu tanpa disertai budi, dan kesaktian lahir adalah kesombongan dan kemurkaan. Dia yang beriman, bertakwa, dan bertwakal kepadanya dan berikhtiar mempersatukan dia dengan ilahi sambil menjalankan kebajikan, dan menyebarkan ajaran ilahi dia akan mencapai sifat yang diridai Gusti Allah untuk menjadi khalifah umatnya.
Bangkitlah engkau Senapati anakku! Kalahkanlah semua musuh-musuhmu! Karena engkau adalah alat untuk melenyapkan angkara murka dan membentuk kehidupan yang baru di tanah Jawa ini!”
Aliran Kepercayaan
Sesungguhnya tanpa peranmu pun orang-orang Pajang yang berlindung di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya sudah mati. Karena diliputi oleh benci dan dendam. Mereka orang-orang yang berlindung di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya untuk melampiaskan hasrat serakahnya seperti serigala-serigala yang terkurung api, sebentar lagi hangus terbakar.
Janganlah bersedih hati menghadapi ujian ini Senapati, semua yang kukatakan ini adalah Ilapat dari Gusti Allah demi memberimu petunjuk atas permohonanmu kepada Gusti Allah siang dan malam. Wahyu keprabon untuk memimpin umat di tanah Jawa ini telah berpindah dari Sultan Hadiwijaya kepadamu karena Pajang telah rusak oleh orang-orang yang serakah.
Namun ketahuilah, Mataram akan berumur pendek dari mulai engkau, anak, dan cucumu. Cucumu akan menjadi raja yang sangat kaya, Mataram akan mencapai puncak kejayaannya. Namun Mataram akan rusak oleh cicitmu karena bersekutu dengan orang-orang asing bertubuh tinggi-besar, berkulit putih, berambut seperti rambut jagung yang akan menyengsarakan seluruh umat di tanah Jawa ini. Kerusakan Mataram akan ditandai dengan muculnya bintang kemukus setiap malam, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, Gunung Merapi sering bergolak dahsyat.”
Senapati mengangkat kepalanya, “Yang Kanjeng Sunan wejangkan benar-benar meresap dalam sanubariku. Hamba bersyukur ternyata Gusti Allah mengabulkan permohonan hamba dan almarhum ayahanda. Namun yang belum saya mengerti mengapa di jagat ini begitu banyak aliran kepercayaan?”
Sunan Kalijaga menjawab, “Sumbernya hanya satu seperti sumber air gunung yang sangat bersih tanpa ada kotoran mengalir ke bawah. Lalu beranak sungai di hulu, dialirkan ke setiap arah untuk dipergunakan macam-macam keperluan seperti minum, mencuci, mengairi sawah, dan lain-lain sehingga kotor sulit dibersihkan kembali.
Senapati lalu bangun, Sunan Kalijaga lalu mengajaknya pulang ke Kota Gede, “Mari anakku aku ingin melihat rumahmu dan kota yang telah engkau bangun.” Senapati menjawab, “Mari Kanjeng Sunan.” Setelah sampai Sunan Kalijaga memerintahkan Senapati untuk memagari rumahnya dan membangun tembok dari batu bata di sekitar Kota Gede dengan memberi petunjuk lewat air doanya. “Senapati anakku, bila kelak engkau hendak membangun tembok benteng Kota Gede ikutilah tempat di mana aku mengikuti air tadi. Nah, selamat tinggal anakku, aku hedak pulang ke Kadilangu.” Senapati lalu membangun tembok kota mengikuti saran Sunan Kalijaga. Wejangan itu pun diresapinya hingga kelak tiba saatnya ia menjadi raja sekaligus penyebar agama Islam di tanah Jawa. ***