BERKALI-KALI dan sembari mengulang-ulang, Pardi membaca ayat-ayat Alquran pagi itu di teras kedai. Sesekali menyela dengan napas dalam-dalam, sesekali ia memandang cakrawala. Ia membaca berulangkali ayat ini:”Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.s. A1-Mu’min: 35).”Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong.” (Q.s. A1-Mu’min: 76). Lalu sabda Nabi SAW, “Bahwa Allah SWT. telah berfirman (dalam Hadis Qudsi):’Keagungan adalah sarung-Ku dan Kebesaran adalah selendang-Ku. Siapa yang mencopot-Ku dalam dua sifat itu, maka dia akan Kubinasakan’.” Sabdanya pula: “Tidak akan masuk surga orang yang hatinya terdapat rasa takabur walau hanya sebesar biji sawi.” Juga, “Sesungguhnya orang-orang yang sewenang-wenang dan takabur, kelak pada hari Kiamat akan dikumpulkan dalam bentuk semut kecil yang diinjak-injak manusia karena hinanya mereka di sisi Allah SWT.”
Rasul SAW berdoa, “Ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari tiupan takabur.” Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mau memandang kepada orang yang memanjangkan pakaiannya sebagai wujud kesombongan.”
Nabi SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang meninggikan dirinya dan sombong dalam berjalan, maka dia akan menemui Allah, sedang Dia murka kepadanya.”
Sabdanya, “Barangsiapa yang suka memaafkan, maka Allah akan selalu menambah kemuliaan kepadanya, dan barangsiapa bertawadhu, maka Allah akan meninggikannya.”
Rupanya Pardi sedang mengaji bab-bab takabur. Hakikat takabur adalah merasa diri lebih sempurna dari yang lain¬nya, demikian kata Imam Al-Ghazali. “Sifat takabur akan menimbulkan kehinaan dan bisa mengganggu akidah. Karenanya, Nabi SAW bersabda, ‘Aku berlindung dari hembusan takabur.” Karena itu pula, para sahabat pernah minta izin kepada Umar R.A. agar memberi nasihat umat setelah subuh. Umar R.A. menjawab, “Aku lebih takut ada hembusan yang melambungkan sampai ke bintang Tsuraya.”
Sebab, hembusan tersebut berpengaruh pada aktivitas lahiriah, seperti duduk di tempat yang tinggi, jalan di depan, melihat dengan pandangan sinis dan marah jika ada orang tidak mengucapkan salam, atau kepada orang yang tidak menghormatinya, lebih banyak menentang kalau dinasihati, menentang kebenaran bila diberi pandangan, dan memandang orang awam seperti memandang khimar.
Takabur tergolong dosa besar. Bahkan orang yang hatinya ada sebesar dzarah ketakaburan, tidak akan masuk surga.
Rupanya di kedai itu sudah berkumpul banyak orang tanpa disadari Pardi. Kang Soleh dan Dulkamdi juga ada di sana. Ia lalu melipat kertas yang ada di tangannya, sembari masuk ke kedai, dengan wajah agak pucat.
“Sakit, Di?” tanya Dulkamdi.
“Tidak…”
“Wajahmu?”
“Mungkin kurang tidur aja…”
“Jangan banyak begadang Di, sekarang musim orang masuk angin. Anginnya jelek…”
“Jangan njelekin angin. Wong angin itu juga bertasbih…Nanti kamu sombong pada angin,” jawab Pardi.
“Wih…..Kamu beda kali ini….”
“Saya lebih senang disebut beda yang baik, daripada beda jelek, tapi merasa baik. Nanti malah takabur Dul….”
“Jangan terlalu seriuslah, santai-santai saja….”
Suasana jadi agak cair. Pardi mulai bicara ngalor ngidul soal harga sepeda di pasar. Bahkan Pardi mulai bercita-catia jadi makelar mobil.
“Lama-lama kamu bisa jadi makelar pesawat Di…” kata Dulkamdi.
“Hehehe…semakin nyombong nanti ya…ha..ha..ha… Ngomong-ngomong mengapa sih Allah benci sekali pada orang sombong?”
“Semut saja benci!”
“Rahasianya apa ya?”
Semua terdiam. Pardi agak serius. Tapi Kang Soleh ingin memecahkan suasana.
“Sebab di dalam takabur ada tiga macam kotoran: Pertama, takabur itu bertentangan dengan sifat-sifat khusus Allah SWT, sifat tersebut (takabur) adalah pakaian Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT, Keagungan tidak layak, kecuali hanya bagi-Nya. Lalu dari sisi mana, keagungan layak bagi hamba yang hina, yang tidak memiliki dirinya, apalagi menguasai yang lainnya?
Kedua, takabur seringkali membuat orang menolak kebenaran dan cenderung meremehkan orang lain. Nabi SAW menjelaskan soal takabur dengan sabdanya, “Takabur, muncul dari masa bodoh terhadap kebenaran, menganggap rendah manusia, dan merasa lebih benar. Takabur menutup pintu kebahagiaan, begitu juga merendahkan makhluk.”
Sebagian sufi berkata, “Sesungguhnya Allah SWT menyembunyikan tiga perkara dalam tiga hal:
1) Menyembunyikan rida-Nya dalam ketaatan kepada-Nya. Maka, janganlah merendahkan sedikit pun terhadap taat, siapa tahu rida Allah ada di dalamnya.
2) Menyembunyikan dendamnya dalam maksiat kepada-Nya, maka janganlah meremehkan sekecil apa pun maksiat itu, barangkali di dalamnya tersembunyi dendam-Nya.
3) Menyembunyikan kewalian dalam diri hamba-hamba-Nya, maka janganlah merendahkan seseorang, siapa tahu orang itu wali Allah SWT.
Ketiga, takabur dapat menghalanginya dari perilaku mulia dan ter¬puji. Sebab, orang yang takabur tidak akan pernah merasa mencintai orang lain sebagaimana la mencintai dirinya sendiri.
Ia juga tidak bisa merendah, tidak bisa meninggalkan antagonisnya, dengki dan amarahnya. Ia tidak bisa menahan diri, lembut dalam bicara, dan tidak mampu meninggalkan riya’. Secara global setiap perilaku tercela, senantiasa dilalui oleh orang takabur, dan tidak ada perilaku terpuji, kecuali harus meninggalkan sifat takabur tersebut.”
“Nah, ini yang saya cari solusinya. Saya kalau tahu dampak terburuk dari takabur, diam-diam saya bisa jauh dan nggak kepingin menyentuh takabur.” kata Pardi.
“Wah, itu juga solusi hebat Di…”
M. Luqman Hakim MA
Jakarta Sufi Center