Waktu Kecil Sering ‘Bertapa’ di Hutan

2,074 dibaca

Husein Ilyas salah seorang kiai sepuh yang sangat dihormati di Jawa Timur. Di pondoknya yang sederhana di Karangnongko, Mojokerto, hampir setiap hari banyak orang datang bersilaturrahim. Menurutnya, siapa saja boleh datang ke pondoknya. Biar itu orang biasa, pejabat, tokoh agama, dan lain sebagainya, ia akan menerimanya dengan tangan terbuka.

Bahkan saat acara Pilkada dan Pilpres kediaman Mbah Husein, selalu ramai didatangi orang minta restu. Petunjuk, atau sekedar silaturahim. Tetapi beliau selalu menolak jika dimintai dukungan. Beliau menyadari, beliau adalah panutan masyarakat terutama warga NU.

Mbah Husein adalah keturunan R. Ng. Ronggowarsito. Berikut silsilah beliau : RONGGOWARSITO — NUR FATAH, NUR IBRAHIM — SYEKH YASIN SURAKARTA — NUR NGALIMAN/ SENOPATI SUROYUDO – MUSYIAH — KH. ILYAS — KH. HUSEIN ILYAS (MOJOKERTO).

Mbah Husein bercerita bagaimana sengsaranya dulu ketika zaman Jepang. Ketika itu, tentara Jepang memberlakukan jam malam. Mereka melarang rakyat Indonesia keluar rumah menjelang sore hari. Hukumannya dibunuh di depan umum bila kedapatan keluar rumah di sore dan malam hari. Pernah suatu ketika ada yang mencari tahu, apa sebenarnya yang dilakukan tentara Jepang di sore dan malam hari itu? Ternyata tentara Jepang waktu sore itu mengangkuti hasil tanam rakyat untuk dibawa ke negaranya.

Memang, di waktu itu diberlakukan peraturan semacam tanam paksa untuk kebutuhan logistik Perang Asia Timur Raya. Hasil panen yang dihasilkan oleh rakyat, sebagian besar diangkut ke Jepang. Proses memanen juga harus dalam pengawasan tentara Jepang. Pada suatu waktu, ada seorang petani yang nekat memanen hasil tanam sendiri tanpa pengawasan tentara Jepang. Sayang usaha nekat petani tersebut ketahuan oleh tentara Jepang, sehingga petani itu ditembak. Anak petani itu melapor kejadian tersebut pada Mbah Husein yang waktu itu masih muda.

Mendapat laporan seperti itu, Mbah Husein pun mengajak teman-temannya ke sawah untuk memanen padi menjelang mahgrib. Ketika sedang memanen, Mbah Husein didatangi tentara Jepang. Melihat Mbah Husein, anjing tentara Jepang malah mundur, lari menjauhi Mbah Husein. Sehingga sebagian tentara Jepang itu malah kerepotan mengejar anjingnya yang berlari. Tentara Jepang menodongkan senjata pada Mbah Husein. Tiba-tiba senjata itu meleleh seperti dipanaskan. Tentara itu pun kaget dan lari terbirit-birit.

 

Kiai Berkaromah

Mbah Husein selalu berprinsip. “Dadi wong iku gak usah wedi karo sopo-sopo, kholifahe pengeran ndek ndunyo iki seng diwedeni mung pengeran tok,” ungkapnya.

Mbah Husein kalau beliau sedang puasa selalu menyendiri di hutan atau jauh dari keramaian. Suatu ketika beliau dalam uzlahnya itu tertidur di suatu hutan, lalu tiba-tiba dibangunkan Gus Zuli (Romo KH. Djazuli Utsman). Sontak saja, Mbah Husein terkejut ketika terbangun banyak teman-temannya dan Gus Zuli di sekelilingnya.

Lalu Mbah Husein bercerita pada Gus Zuli tentang mimpi ketika tertidur tadi. Dalam mimpi Mbah Husein bahwa suatu saat ada kiai besar yang akan lahir di tempat ini. Gus Zuli hanya menjawab, benar. Tempat tersebut sekarang adalah makam dari KH. Hamim Jazuli atau Gus Miek.

 

Tanpa Belajar                                                                      

Begitu banyak kisah Mbah Husein, sala satunya saat beliau nyantri di salah satu pondok pesantren Kediri, Salafiah Al-Misbar. Entah diceritakan oleh beliau, selama nyantri, dirinya tidak pernah sekalipun diajar ngaji oleh gurunya. Beliau sempat heran dan akhirnya bertanya perihal apa yang dialaminya di pondok pesantren.

Mbah Husein malah disuruh pergi ke pasar. Apa yang dikatakan kiai akan langsung dia kerjakan. Jangankan melihat, mendengarkan suara anak mengaji pun dirinya tidak pernah. Dari itulah beliau akhirnya protes. Namun di luar dugaan, “Awakmu iku anakku, nok kene gak sekolah, mengko nek kowe wes wayah moleh ilmuku gowonen,” tutur gurunya.

Ajaibnya. Setelah selesai mondok, beliau tiba-tiba saja merasa bisa membaca kitab yang selama ini sama sekali belum pernah dijamahnya. Bahkan sekarang beliau memiliki ribuan santri, hanya saja mereka datang dikala waktu-waktu tertentu. “Kalau mau hadir monggo, tak wei carane ben gak dicegat, cukup ngomong keluargane pak yai,” jelasnya beliau sambil terkekeh.***