Berpaling Muka atawa Qalbu

181 dibaca

“Di, kamu pagi-pagi kok senam model begitu. Sambil mondar mandir lagi, seperti ayam thelonen…” kata Dulkamdi.

“Kamu ini nggak ngerti, kalau aku lagi berpikir keras…”

“Mana ada orang berpikir sambil teler begitu…”

“Ini sudah selesai, Dul. Jadi tinggal nggliyengnya…”

“Ayolah ngopi saja, biar kamu waras. Nanti kalau nggak waras, saya disalahin banyak orang, dikira kamu masuk aliran sesat.”

Pardi berjalan dengan agak gontai mengikuti ajakan Dulkamdi masuk ke kedai Cak San.

“Apa sih yang kamu lakukan?” Dulkamdi penasaran.

“Aku ini lagi mikir yang dimaksud jangan berpaling dari Allah itu bagaimana sih Dul…”

“Weleh-weleh… edan tenan kowe iki. Yang dimaksud berpaling itu, bukan bergerak-gerak seperti itu Di. Nanti dikira kamu kesurupan….”

“Terus gimana dong?”

“Berpaling itu ada dua. Berpaling mata (muka), dan berpaling qalbu.”

“Berpaling mata seperti apa?”

“Berpalingnya mata seperti firman Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, kekasih-Nya: “Janganlah engkau palingkan kedua matamu kepada pesona (kenikmatan) hidup yang telah Kami berikan di antara mereka (orang-orang kafir itu) sebagai bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka di dalamnya. Sedangkan rezeki Tuhanmu lebih bagus dan lebih abadi.” (Thaaha: 121)

Lalu, Allah Ta’ala memberikan anugerah kepada mereka, ketika Allah menjaganya, dengan mengatakan, “Kalaulah bukan Kami kokohkan kamu, maka benar-benar kamu hampir condong pada mereka, dengan sesuatu yang sangat sedikit (hina).”

“Oke.. oke… kamu sekarang sudah berlagak jadi ahli tafsir Dul. Tapi saya setuju banget…hehehe… Nah, kalau berpalingnya hati?”

“Itulah ketika Allah swt memuji Nabi saw, karena Nabi Muhammad saw sama sekali tidak berpaling kepada selain Allah swt, dalam firman-Nya: “Mata hatinya tak pernah berpaling dan tak pernah dusta.” Allah swt mewariskan ”meninggalkan total” di atas, dengan mengangkat tirai hijab, hingga beliau melihat apa yang dilihat, dalam firman-Nya: “Sesungguhnya (Muhammad) telah melihat Jibril dalam rupa hakiki pada waktu yang lain.”

“Maksudmu gimana, Dul?”

“Detailnya nanti tanya Kang Soleh saja…”

“Yah, sama aja dong, masak kamu sudah bisa menafsirkan, lalu nunggu Kang Soleh datang…”

“Daripada saya ngawur, tanya saja pada ahlinya hehehe…”

Lama sekali Kang Soleh tidak nongol, Pardi dan Dulkamdi kelihatan gelisah.

Dari kejauhan tampak dua sosok yang jalan pelan-pelan. Yang satu muda, yang satu sudah sangat tua. Rupanya semakin dekat, semakin jelas, Kang Soleh sedang menuntun nenek-nenek tua. Aneh sekali.

“Ini kawanku Pardi dan Dulkamdi, Nek…”

Nenek itu hanya tersenyum, dengan pancaran cahaya bak matahari pagi.

Pardi dan Dulkamdi clingukan, karena ketika menatap wajahnya, ia seperti ditelanjangi.

Hadis 22, Rasulullah saw, bersabda: “Janganlah kalian saling iri dengki, dan janganlah saling dendam, dan janganlah saling mencari-cari kesalahan. Jadilah kalian sebagai saudara, seperti yang telah diperintahkan Allah Ta’ala.” (Teks hadis demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirimidzi dan yang lain, riwayat dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah saw, bersabda): “Hindarilah kalian dari berburuk sangka. Karena buruk sangka itu sedusta-dusta ucapan. Jangan saling memata-matai, dan jangan saling mencari-cari kesalahan orang, dan jangan saling bermusuhan, dan jangan saling beriri dengki, dan jangan saling mengumbar dendam, dan jangan saling bermusuhan, dan jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara seperti perintah Allah swt. Muslim itu saudara sesama muslim, tidak saling menzalimi, tidak saling menghina, dan tidak saling merendahkan. Takwa itu di sini, takwa itu di sini takwa itu di sini – dan beliau menunjuk ke arah dadanya –. Maka dengan kriteria seseorang berbuat buruk adalah: Menghina sesama saudaranya yang muslim. Setiap muslim terhadap sesama muslim itu terhormat: Darahnya, harga dirinya, dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak memandang fisik kamu sekalian, dan juga tidak memandang rupa kamu. Namun Allah swt hanya memandang hatimu dan amalmu.”

Dalam hadis mulia ini ada rahasia kemakrifatan kepada Allah swt, yang penuh dengan keajaiban, bahwa Allah swt memerintahkan kita agar kita menepiskan diri dari sifat-sifat Iblisiyah, yaitu: Dengki.

Kemudian membuang sifat Nafsaniyah, yaitu: Dendam pada makhluk Allah swt.

Lalu naik dari sifat yang rendah yaitu: Mencari-cari kesalahan orang. Dan kemudian bila meraih derajat sempurna melalui pemurnian diri, Allah swt memerintahkan agar melihat sirnanya perbedaan antara satu sama lain dari sesama saudara beriman, dan hal ini merupakan perintah Allah swt.

Manakala perilaku tersebut sempurna, akan benar-benar meraih kepastian makrifat Billah. Dari rahasia inilah ucapan Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah berlaku, “Siapa yang mengenal dirinya, maka benar-benar mengenal Tuhannya.”

Anak-anak sekalian. Ketahuilah bahwa seorang hamba itu berada di antara Allah Ta’ala dan makhluk-Nya: Bila berpaling dari makhluk-Nya menuju Allah swt, Allah mendekatkan kepada-Nya dan menyambungkannya untuk lebih dekat. Karena apabila Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, Dia bergegas menurut kadar kedekatan hamba kepada-Nya, dan kadar kecintaannya pada Allah Ta’ala, dan si hamba tidak sama sekali berpaling kepada sesuatu selain Allah swt. Jika si hamba memandang sesuatu selain Allah swt, Allah swt menyiksa sang hamba dengan sesuatu yang membuat berpaling tadi, dan sesuatu itu dijadikan cobaan atas dirinya.

Ingatlah pada Ibhlis La’natullah ketika memandang dirinya, lantas berkata tentang Adam: “Aku lebih baik dibanding dia…” Maka Allah swt, langsung melaknat dan melemparnya.

Begitu pun para malaikat, ketika mereka memandang tasbihnya dan penyuciannya kepada Allah swt, dengan mengatakan, “Sedangkan kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu…” maka Allah Ta’ala memberikan ujian kepada mereka dengan bersujud kepada Adam.

Begitu pula setiap orang yang mengatakan, “Aku….” Pada saat yang sama Allah Ta’ala berfirman, “Tidak! Namun Aku!” lantas Allah melemparkan siapa pun yang berkata “Aku” tadi ke derajat paling rendah.

Sedangkan orang yang berkata, “Engkaulah Allah,” maka Allah justru mengangkat derajatnya setinggi-tingginya.

Berpaling itu ada dua: Berpaling mata (muka). Berpaling qalbu. Berpalingnya mata seperti firman Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, kekasih-Nya:

“Janganlah engkau palingkan kedua matamu kepada pesona (kenikmatan) hidup yang telah Kami berikan di antara mereka (orang-orang kafir itu) sebagai bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka di dalamnya. Sedangkan rezeki Tuhanmu lebih bagus dan lebih abadi.” (Thaaha: 121)

Lalu, Allah Ta’ala memberikan anugerah kepada mereka, ketika Allah menjaganya, dengan mengatakan, “Kalaulah bukan Kami kokohkan kamu, maka benar-benar kamu hampir condong pada mereka, dengan sesuatu yang sangat sedikit (hina).”

Lalu Allah swt memujinya karena Nabi Muhammad saw, sama sekali tidak berpaling kepada selain Allah swt, dalam firman-Nya: “Mata hatinya tak pernah berpaling dan tak pernah dusta.”

Allah swt mewariskan ”meninggalkan total” di atas, dengan mengangkat tirai hijab, hingga beliau melihat apa yang dilihat, dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya (Muhammad) telah melihat Jibril dalam rupa hakiki pada waktu yang lain.”

“Siapa beliau Kang?” bisik Pardi ke Kang Soleh.

“Beliau ini hamba Allah yang tak pernah memalingkan pandangannya ke selain Allah….”

“Maksudnya?”

“Mata hatinya tak pernah berkedip kayak kamu. Kalau kamu lebih banyak memejamkan mata hatimu, jadi sering kehilangan Allah….”

Pardi manggut-manggut, penuh dengan rasa haru dan ta’dzim pada nenek itu.

“Nek, doakan kami seisi kedai ini ya?” pinta Pardi.

Nenek itu hanya tersenyum. Lalu nenek itu menunjukkan jari telunjuknya ke arah langit berkali-kali. Lalu tersenyum lagi.

Pardi dan Dulkamdi hanya bengong tak habis pikir. Dari mana asalnya nenek ini, ada-ada saja Kang Soleh ini.

“Saya dari Allah, sekarang bersama Allah, dan mau menuju ke Allah… Karena semua hanya bagi Allah…”

Mendengar ucapan nenek tua itu dengkul Pardi gemetaran. Masya Allah, Subhanallah!

  1. Luqman Hakim MA

Jakarta Sufi Center