Gunung Budheg terletak di Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Selain memiliki keindahan alam, Gunung ini memiliki sejarah yang berhubungan dengan cikal bakal berdirinya Tulungagung. Tak heran setiap hari libur banyak wisatawan domestik menikmati indahnya alam pegunungan. Tak hanya itu, para pelaku ritual juga ditemukan di beberapa sudut gunung berharap wangsit dari penguasa gunung. Beruikut liputannya.
Untuk menuju Gunung Budeg, dari pusat kota Tulungagung, pengunjung bisa ambil arah menuju pasar Boyolangu. Dari perempatan tersebut, masih lanjutkan lurus ke selatan, sampai kira-kira sekitar 500 meter. Di sebelah kiri jalan, akan ditemukan tempat parkir menuju Gunung Budeg. Ditempat parkir ini pengunjung akan diminta mencatat nama dan meninggalkan KTPnya. Hal tersebut untuk keselamatan pengunjung.
Dari tempat parkir maka perjalanan akan dilanjutkan dengan jalan kaki selama 1 jam dengan medan yang lumayan terjal. Jalur pendakian di gunung ini tanpa ada tempat istirahat. Jadi dari awal terus mendaki, mendaki, dan mendaki. Dengan sudut kemiringan yang tajam lewat jalan setapak berbatuan. Bila beruntung, pendaki bisa bertemu burung elang jawa, monyet ekor panjang, ayam alas, dan aneka burung. Bahkan berjumpa anak-anak desa sekitar gunung yang biasa melakukan pendakian. Mereka akan senantiasa menunjukkan jalan aman jalur pendakian. Mereka juga siap membawakan peralatan dan bekal. Kalau sudah sampai di puncak, sekedar uang lelah, mereka sangat senang menerimanya.
Mengapa gunung ini diberi nama Gunung Budeg atau disebut pula Gunung Cikrak. Lalu mengapa di gunung ini hanya ada satu pohon saja yang bisa tumbuh, Banyak keanehan sebenarnya di gunung ini. Yaitu sebuah batu yang menyerupai bentuk manusia.Menurut cerita yang berkembang ditengah masyarakat, kisahnya diambil dari babad Tulungagung di Bethak Bedalem, yaitu Adipati Bedalem yang memiliki puteri cantik jelita bernama Rara Ringgit atau Roro Kembang Sore.
Ketika itu utusan Kerajaan Majapahit, Pangeran Lembu Peteng yang pro Adipati Bedalem perang dengan Kyai Besari, memperebutkan Roro Kembang Sore. Roro Kembang Sore yang ketakutan lari ke desa Dadapan menumpang pada seorang janda bernama MBok Rondo Dadapan. MBok Rondo mempunyai anak laki-laki bernama Joko Bodo. Lama kelamaan Joko Bodo terpikat oleh kemolekan Roro Kembang Sore dan ingin memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus.
Karena Joko Bodo terus mendesak, pada suatu ketika MBok Rondo sedang bepergian. Roro mengajukan permintaan. Ia mau diperisteri dengan syarat Joko Bodo bertapa membisu di bukit menghadap laut kidul selama 40 hari 40 malam beralaskan batu dan memakai cikrak di kepala. Joko Bodo menerima permintaan tadi. Ikatan janji itu tidak diketahui oleh MBok Rondo Dadapan. Roro Kembang Sore juga pergi menuju Gunung Cilik. Maka ketika MBok Rondo pulang merasa terkejut karena di rumah tidak ada orang.
Ia pergi mencari sampai akhirnya menemukan Joko Bodo sedang duduk bersila. Dipanggil berulang kali, Joko Bodo tidak menjawab. Karena jengkel, MBok Rondo marah sambil berkata “Bocah diceluk kok meneng bae kaya watu”. Artinya, anak dipanggil-panggil kok diam saja tidak menjawab seperti batu. Seketika itu juga Joko Bodo berubah menjadi batu.MBok Rondo yang menyadari kekhilafannya lalu berharap; “Besuk kalau ada ramainya zaman, gunung ini saja beri nama Gunung Budeg.
Hingga kini gunung yang satu ini diberi nama Gunung Budhek. Karena kisahnya yang begitu melegenda, Gunung Budhek ramai dikunjungi orang, terutama pada Sabtu dan Minggu dan hari libur nasional. Mereka yang datang ke tempat ini dari berbagai daerah, khusunya Jawa timur. Tak jarang pula dari Jawa tengah, Bali dan bahkan dari Jakarta. ‘’Cukup menarik dan indah. Tempat ini selain sejuk, alamnya benar benar asri,’’ kata Suparman asal Ngawi Jawa Timur.
Selain pada Sabtu, Minggu dan hari libur nasional ramai pengunjung, pada 1 Suro para pelaku ritual lebih ramai lagi. Namun pada Bulan Suro ini sebagian besar pengunjung tidak hanya menikmati alam, tapi ritual berharap berbagai macam keperluan yang berhubungan dengan kerezekian, kepangkatan, dan kedigdayaan. ‘’Saya sudah terbiasa berkunjung ke sini mas. Selain indah memesona, tempat ini sangat cocok untuk olah batin penenang jiwa,’’ jelas Mukidi asal Madiun. Mus Purmadani