Sejarah Tembakau dan Rokok, Sarana Ritual Memuja Roh

425 dibaca

SEJARAH tembakau menjadi bahan dasar rokok sejatinya bukanlah tanaman khas Nusantara. Tapi bagaimana bisa tumbuhan ini masuk ke Indonesia? Mengapa tembakau menjadi candu bagi masyarkat Indonesia?

KEBIASAAN merokok berasal dari tradisi penduduk asli Amerika yang menggunakannya sebagai keperluan ritual, seperti memuja dewa atau roh.

Diperkirakan, tembakau sudah digunakan untuk dikunyah maupun dihisap menggunakan pipa oleh bangsa Maya, Aztek, dan peradaban asli Amerika sudah berlangsung sejak 1000 SM, atau lebih tua lagi.

Dikutip dari laman Nationalgeographic.co.id pada abad ke-15, ketika orang Eropa mulai berkoloni di kepulauan Karibia, kebiasaan merokok suku setempat diadopsi. Luis de Torres, salah satu awak Christopher Columbus membawa tembakau sebagai hadiah ke Spanyol.

Tembakau yang langka bagi orang Eropa membuatnya sebagai barang konsumsi untuk masyarakat kalangan atas orang kulit putih. Tanaman itu kemudian ditanam di negara-negara Eropa, seperti Perancis, Portugal, Spanyol, dan Inggris, hingga menjadi gaya hidup di Ottoman Turki.

Sejarawan Belanda Berbard Hubertus Maria Vlekk dalam Nusantara: History of Indonesia menerangkan tembakaudiperkenalkan di Asia berkat orang Spanyol yang singgah di Filipna abad ke-16.

Pelaut Spanyol diperkirakan memperkenalkan tembakau ke Filipina, setelah dibawa dari Mexico dan tiba di Nusantara pada 1575. Kemudian persebarannya kian masif seiring dengan penanamannya di Asia Tenggara.

Sementara Thomas Sunaryo, pengajar tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, merekam bagaimana sejarah tembakau masuk ke Indonesia, dan berkembang menjadi budaya tersendiri melalui bukunya, Kretek, Pusaka Nusantara.

Dia mengungkap bahwa masyarakat Nusantara sudah menghisap rokok, setelah mengadopsi kebiasaan para penjajah. Hal itu terekam dalam laporan utusan VOC tentang Sultan Agung yang menghisap rokok dengan pipa.

Kemudian dalam Babad Ing Sangkala juga mengisahkan para bangsawan Jawa sudah merokok tembakau pada masa pemerintahan Senopati di Kesultanan Mataram.

“Masyarakat bawah dan priyayi mengembangkan kebiasaan menhisap rokok dengan mencampurnya dengan beberapa unsur perasa dan aroma lokal yang ada dan sudah lebih tua sejarah penggunaannya seperti misalnya uwur, klembak, menyan hingga cengkeh,” tulisnya.

“Hal ini harus dimaknai sebagai awal lahirnya sebuah kebiasaan asli dan baru masyarakat nusantara. Hal ini tidak aneh dikarenakan masyarakat agraris yang sebelah kakinya telah melangkah ke dalam alam industri ini, seperti kita ketahui bersama, masih berada pada masa kesadaran mistis.”

Kebiasaan rokok, dupa, menyan, hingga opium saat itu menjadi hal yang ‘wajib’ bagi masyarakat Jawa. Tak heran, sampai sekarang rokok kretek dan minuman favorit seperti kopi dan teh juga digunakan sebagai sesajen untuk mendoakan leluhur atau melakukan ritual-ritual tertentu.

Meski demikian, Thomas mengutip Onghokham dan Budiman juga mengungkap, ternyata suku pegunungan Papua seperti Tapiro telah lama memiliki kebiasaan melinting dan menghisap tembakau asli Papua. Jenisnya pun dekat dengan spesies tembakau asli Australia Nicotiana Soavelens, yang perlu diteliti lebih lanjut.

Thomas S. Raffles juga merekam kebiasaan orang Jawa yang suka menghisap tembakau karena diperkenalkan orang Belanda pada 1601. Sunaryo memaparkan tahun yang disebutkan Raffles sesuai dengan naskah Babad Ing Sangkala. Penggunaannya juga sudah masif hingga ke wilayah Banten.

“Kecil kemungkinan tembakau yang dikonsumsi didatangkan dari daratan Amerika maupun daratan Eropa, mengingat tembakau sangatlah mahal untuk konsumsi orang Jawa saat itu. Kemungkinan besar tanaman tembakau sudah ditanam di pulau Jawa untuk kebutuhan sendiri,” terang Sunaryo.

Terbukti, VOC pada 1650 ternyata telah mengalihfungsikan beberapa kawasan di Nusantara sebagai perkebunan tembakau. Beberapa daerah itu seperti Kedu, Bagtelen, Malang, dan Priangan, yang akhirnya meresap dalam keseharian masyarakat Nusantara.

Ketika Raffles menjadi Gubernur Jenderal pada 1811-1816, kebijakan seluruh tanah jajahan adalah milik kerajaan Inggris berlaku. Isinya, bagi siapa pun yang mendiami tanah koloni harus membayar pajak bumi hasil.

Kebijakan itu kemudian terwariskan ketika Belanda kembali berkuasa dan berubah menjadi cultuurstelsel pada 1830.
Salah satu turunan peraturan yang menyengsarakan pertani adalah keharusan menanam di sepertiga luas tanahnya dengan tembakau yang bisa diekspor.

Perekebunan tembakau akhirnya merebak hingga luar Jawa seperti Ternate, Kepualaun Kei, Makian, Buru, Seram, Ambon, dan Bali, dalam kurun waktu 20 tahun setelah peraturan Cultuurstelsel berlaku.

Perkawinan dengan Rempah

Ketika membeli rokok asli luar negeri, cobalah rasakan, ada kandungan yang hampa saat dinikmati. Bila diamati, ternyata rokok Indonesia memiliki rempah sebagai kandungannya, salah satunya cengkeh (Syzygium aromaticum).

Cengkeh menjadi salah satu kisah awal lahirnya rokok kretek, yang diperkirakan sudah ada pada 1870. Dalam salah satu versi yang dikutip Sunaryo, Kudus memiliki industri rokok kretek lintingan di rumah tangga.

Konon, seorang warga Kudus bernama Haji Jamahri menggunakan minyak cengkeh di dada dan pinggangnya untuk meredakan sesak dadak. Kemudian sakitnya berukurang walau belum sembuh total. Saat itu industri rokok kretek mulai dimiliki kalangan pribumi.

Haji Jamahri kemudian mengunyah cengkeh dan hasilnya jauh lebih baik, dan terlintas untuk menggunakan rempah-rempah sebagai obat. Ia mencoba merajang halus cengkeh, lalu dioplos dengan tembakau, dan membuat asapnya saat dihisap bisa masuk ke paru-paru.

“Hasilnya menggembirakan, penyakit dada Haji Jamhari menjadi sembuh. Informasi terapi asap tembakau dicampur cengkeh tersebut segera menyebar di sekitaran Kudus. Para tetangga dan kerabat beramai-ramai ingion mencoba rokok mujarab yang menyembuhkan itu, sehingga perusahaan rokok kecil harus didirikan Haji Jamhari,” tulis Sunaryo.

Selanjutnya banyak pula kisah-kisah industri rokok yang berkembang. Beberapa menggunakan istilah buah-buahan dan rempah yang ternyata menjual di masyarakat awal abad ke-20, seperti Delima, Mrico, dan Jangkar Duren.

Rokok sebelum yang kita kenal ternyata menggunakan pembungkus dari kulit jagung kering (klobot). Kertas pembungkus baru muncul pada 1928 yang perlahan mulai menggeser klobot. Meski sudah marak rokok dengan bungkus kertas, ternyata klobot masih banyak diproduksi oleh industri kretek hingga saat ini.

Rokok kretek terus mencoba bertahan di Hindia Belanda hingga saat ini. Berbagai cara untuk tetap lestari, termasuk penerapan cukai yang sangat tinggi pernah diberlakukan dari industri rokok asal Inggris-Amerika British American Tobacco yang mulai mendirikan pabrik di Cirebon (1925) dan (1928).**(ary)