Evaluasi PPKM Darurat: Kritis di Hulu hingga Hilir

119 dibaca

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali kini memasuki dua pekan. Kebijakan ini dianggap belum membawa perubahan dalam menekan laju penyebaran virus corona.

Pertambahan kasus positif Covid-19 dan kematian harian terus meningkat. Fasilitas kesehatan dan rumah sakit rujukan nyaris penuh. Tenaga kesehatan pun banyak yang berguguran.

Epidemiolog dari Universitas Airlangga mengatakan, setelah sepekan penerapan PPKM Darurat, pemerintah harus berani mengevaluasi kebijakan tersebut. Pemerintah, kata Windhu, harus berbenah mulai dari hulu sampai ke hilir.

Menurutnya, kebijakan ini masih bolong di mana-mana. Ia mengatakan untuk mengukur efektivitas PPKM Darurat bisa dilihat dari angka positivity rate dan jumlah keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR). Positivity rate alias rasio kasus adalah persentase dari jumlah orang yang dinyatakan positif dibagi jumlah orang yang diperiksa kemudian dikali 100 persen.

“Kalau memang ada yang belum, masih bocor, belum ketat, ditunjukkan dengan bukti positivity rate makin naik, BOR makin naik, makin kritis. Jadi kalau positivity rate menunjukkan hulu, BOR menunjukkan hilir,” katanya.

Data Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, positivity rate Indonesia sejak sebelum diterapkan PPKM Darurat sampai saat ini masih menunjukan persentase yang tinggi. Pada 2 April, positivity rate Indonesia mencapai 43,79 persen. Lalu pada hari pertama PPKM darurat 3 Juli, positivity rate mengalami penurunan menjadi 36,69 persen.

Namun, satu hari berikutnya, positivity rate Indonesia kembali melambung menjadi 44,61 persen. Sejak saat itu positivity rate Indonesia konsisten di atas 30 persen. Sedangkan pada 8 Juli, positivity rate mencapai 40,02 persen. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas positivity rate 5 persen.

Windhu mengatakan, angka positivity rate itu bisa berkali-kali lipat jika jumlah tes Covid-19 diperbanyak. Pemerintah, kata Windu menargetkan 10 kali lebih banyak melakukan testing selama PPKM Darurat.

Ia mengapresiasi niat baik pemerintah. Namun, ia juga mengatakan niat baik itu harus diimbangi dengan implementasi di lapangan. Kenyataannya sampai saat ini, jumlah tes masih jauh dari target yang telah ditetapkan.

“Janjinya Menkes akan meningkatkan testing itu sampai 10 kali lipat, jadi 400 ribu per hari. Kalau minimal 400 ribu itu berarti 10 kali lipat dari minimum. Karena minimum WHO per hari 40 ribu. Dia mau ngetes sampe 400 ribu, cuma sampai sekarang belum. PCR kita sudah dua kali lipat, tapi masih 80 ribu,” ucap dia.

Sementara itu, BOR di sejumlah daerah di Indonesia rerata di atas 60 persen. Kalimantan Barat misalnya, BOR isolasi mencapai 68,09 persen. Lalu BOR ICU 82,48 persen. Di Lampung, BOR isolasi mencapai 77,91 persen dan ICU 73,43 persen.

Windhu mengatakan, pemerintah harus memperbaiki kebocoran PPKM Darurat. Perbaikan itu, kata Windhu, bukan dengan menambah kapasitas tempat tidur di RS atau menambah tempat isolasi dengan alih fungsi bangunan. Sebab, solusi itu tidak menyentuh akar permasalahan, malah menambah masalah baru.

“Sekarang sudah mulai kolaps, kan? Banyak mengatakan belum kolaps, tapi kan nyaris kolaps semua hilir ini. Kalau banjirnya terus mengalir, ya terang kolaps, kan? Mau kita tambah bed seberapa pun ya enggak akan bisa. Karena apa? Terus mengalir dan itu ada batasnya,” kata dia.

“Lagi pula menambah bed itu kan ndak cukup. SDM-nya gimana? Nambah SDM kan ndak mudah,” imbuh dia.

Windhu berpandangan puncak kebocoran di hilir bermula dari kebocoron di hulu. Maka, kata dia, hulu PPKM Darurat juga harus diperbaiki. Ia menilai pemerintah absen dalam beberapa butir peraturan yang dikeluarkan.

Dalam PPKM Darurat pemerintah membuat batasan bekerja di kantor (WFO), membuat penyekatan jalan di berbagai daerah, meminta kafe-kafe atau tempat makan mengurangi kapasitas dan jam operasional. Windhu mengatakan, itu saja tidak cukup.

Terkait itu, ia menyarankan pemerintah untuk merevisi kebijakan PPKM Darurat. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan pelarangan mobilitas sejak dari lingkup terkecil, yaitu rumah. Meski pemerintah alergi dengan lockdown, kata dia, setidaknya batas minimum mobilitas dalam setiap keluarga adalah 30 persen.

“Harus berani merevisi, artinya mengeluarkan addendum aturan. Jadi addendum aturan yang menambahkan, melarang, disetop mobilisasi,” ucap dia.

“Jadi kalau serumah isinya lima orang, yang boleh keluar hanya satu orang dalam satu waktu, enggak boleh ada dua orang. Kalau dua orang 40 persen. Itu contohnya,” lanjut Windhu.

Dualitas Kebijakan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menilai permasalahan di hulu juga ada pada dualitas kebijakan. Di Jawa-Bali, pemerintah menerapkan PPKM Darurat dan di luar wilayah tersebut diberlakukan PPKM mikro.

Hermawan mengatakan, penerapan kebijakan secara spasial ini menyebabkan penyelesaian yang parsial atau tidak menyeluruh. Adanya dualitas kebijakan bisa menimbulkan multitafsir dan ketidakmerataan efektivitas implementasi kebijakan. Oleh sebab itu, ia menilai pemerintah harus meninjau kembali permasalahan beda kebijakan.

“Sangat mungkin terjadi multitafsir di lapangan bagaimana kita melihat bahkan aparatur menegakkan ada yang mengizinkan tentara, ada yang enggak mengizinkan masuk. Karena perbedaan ini, masyarakat juga melihatnya semacam ada ketidakadilan dalam satu kawasan,” ucap dia.

Selain itu, Hermawan juga mengatakan pemerintah harus meningkatkan jumlah pemeriksaan spesimen. Pemeriksaan spesimen adalah pemeriksaan yang dilakukan pada sampel yang diambil menggunakan metode tertentu untuk diteliti lebih lanjut.

WHO memberlakukan angka pemeriksaan spesimen yang ideal adalah 1 per 1.000 penduduk per pekan. Dengan total penduduk lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia seharusnya melakukan pemeriksaan terhadap 267.700 orang setiap pekan.

Namun, per 8 Juli, jumlah spesimen jumlah spesimen Indonesia yang diperiksa 200.381 dalam kurun waktu 24 jam. Pemeriksaan spesimen ini, kata dia, berkaitan juga dengan kewajiban pemerintah terkait penerapan 3T yaitu testing, tracing, dan treatment.

Hermawan mengatakan, pemerintah tidak bisa hanya mendorong masyarakat untuk tertib protokol kesehatan saja melainkan juga menegakan kewajibannya.

“Protokol kesehatan yang menjadi 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas) menjadi sebuah kewajiban. Tapi tetap pemerintah punya kewajiban memastikan kecukupan 3T tadi,” kata Hermawan.

Penerapan PPKM Darurat tanpa memperhatikan 3T menurut Hermawan hanya akan melandaikan sementara lonjakan kasus tapi tapi tidak memutus mata rantai covid. Jika terus dibiarkan, dia menilai Indonesia akan semakin terperosok pada kubangan pandemi.

“Kalau tidak ya kita lihat nanti hasilnya pada 2-3 minggu ke depan, seperti apa hasilnya,” ucap dia.

Hermawan mengingatkan saat ini bukan saatnya untuk pemerintah mengibarkan bendera putih. Pemerintah, kata dia, punya kewajiban sebagai salah satu kunci dalam penanggulangan pandemi.

“Kalau pemerintah mengibarkan bendera merah putih, terus what’s next gitu? Negara itu tidak boleh menyerah. Bahwa pemerintah sebagai instrumen negara punya kejenuhan, kapasitas, punya kelelahan bisa jadi, tapi yang pasti atas nama negara tidak boleh menyerah,” pungkasnya.
**(cnn/ram)