Uniknya Tradisi Cinjo Maleman Ramadan

1,235 dibaca

LAMONGAN-POSMONEWS.COM,-
Puasa di sepuluh hari terakhir Ramadhan diibaratkan sebagai fase penentuan atau babak final dalam sebuah pertandingan olahraga. Hakikatnya di sepuluh hari terakhir ini sebagai titik puncak karena diyakini turunnya Lailatul Qodar atau pun malam (Kemuliaan) 1000 bulan, yang bisa membebaskan setiap insan dari api neraka jahanam.

Nah, karena dinilai sangat sakral dan penuh keberkahan akhirnya ada banyak tradisi yang dilakukan di penghujung Ramadan ini. Salah satunya adalah selamatan orang Jawa di kampung-kampung yang disebut Tradisi Cinjo.

Bagi orang Jawa, mereka akan selalu rutin melakukan tradisi Cinjo ini. Acara selamatannya sendiri macam-macam, tapi seringnya adalah mengantarkan makanan-makanan atau kalau dalam bahasa setempat disebut Berkat ke keluarga atau famili dekat.

Di Lamongan misalnya, tradisi Cinjo ini dilakukan oleh keluarga yang dalam urutannya termuda pada orang yang lebih tua. Misalnya yang dilakukan oleh Ny. Hernik (40), warga Baturono, Kecamaran Sukodadi, Lamongan ini bertutur harus melakukan Tradisi Cinjo, atau memberi hantaran berupa sembako pada keluarga yang lebih tua.

Ia, memberi hantaran itu pada kakak-kakanya, mertu, paman atau bibinya dan juga famili yang dianggap punya urutan lebih tua.

“Iya benar mas, kalo saya dan suami yang disebut urutan keluarga lebih muda ini harus mengirim hantaran berupa Cinjoan pada yang lebih tua dan pinisepuh.
Hantaran itu bisa berupa beras, gula, kopi, minyak, ikan, dan buah-buahan,” tuturnya.

Hantaran berupa sembako ini sebenarnya sebagai pengganti makanan Cinjoan, karena di jaman dahulu sudah berupa makanan nasi, lauk bumbu bali dengan ikan bandeng atau kutuk (ikan khas Lamongan, red) dan buah pisang. Namun di era modern akhirnya tradisi hantaran makanan yang sudah matang ini diganti dengan bahan-bahan makanan pokok atau sembako agar bisa lebih tahan lama.

Hal yang sama juga dilakukan Ny. Kusnawati (30), warga Kemlagi, Turi ini mengaku Cinjo ke keluarga dan sanak familinya bisa sampai menghabiskan uang sebesar 1,5 juta. Ini karena dalam urutan keluarga, ia tergolong yang paling muda, sedangkan di silsilah keluarganya termasuk keluarga besar.

Sedangkan pengamat budaya Lamongan, Drs.H. Achmad Chambali mengatakan, itu sebagai tradisi khas dan unik. Menurutnya tradisi Cinjoan juga sama sekali bukan klenik, magis, dan sebagainya, tapi justru cara orang-orang Jawa menghormat bulan Ramadan.

Khususnya mulai hari ke 21 Ramadhan biasanya ditandai dengan hilangnya witir dalam rangkaian sholat tarawih. Umumnya witir akan dilaksanakan khusus pada malam hari atau yang disebut Maleman. Nah, biasanya keesokan harinya sudah mulai banyak orang yang akan mengirimkan hantaran-hantaran.

Mulai hari ke 21 adalah awal dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan menurut orang-orang, ini adalah hari dimana seseorang bisa mendapatkan pahala dibebaskan dari api neraka (inkum minannar kalau dalam bahasa Arab). Makanya dilakukan hantaran-hantaran agar semakin berkah dan diampuni.

“Tujuan lain dari selamatan ini adalah sebagai jembatan untuk meraih yang namanya Lailatul Qadar. Nah, untuk membantu mendapatkan hal tersebut maka kemudian dilakukanlah tradisi selamatan ini. Sebenarnya tujuannya tak secara pasti ditujukan untuk memudahkan mendapatkan Lailatul Qodar, tapi banyak orang yang berharap dengan adanya selamatan ini ia dipermudahkan untuk itu,” kata H.Chambali.
**(DANAR SP)