Tahun 2020 dan Semua Hal yang Harus Kita Syukuri

150 dibaca

Oleh: Tofan Mahdi

Pekan depan, tahun 2020 akan berlalu. Perjalanan sepanjang tahun ini berbeda, berat, banyak tantangan dan ujian, banyak bisnis yang bangkrut, banyak orang di-PHK, bahkan banyak saudara dan sahabat serta teman yang kita kenal mendahului kita. Pandemik covid-19 membuat segala sesuatunya berbeda. Namun, atas rahmat dari Allah SWT, hingga hari ini kita sendiri masih baik-baik saja. Masih hidup, bisa bangun tidur, sarapan, minum kopi, ikut zoom meeting atau webinar, dan tetap di rumah bersama keluarga tercinta. Atas semua barokah ini, tak ada kata lain yang pantas kita ucapkan kecuali: Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Hidup adalah Perjalanan

Karena pandemik covid kita belajar memahami makna hidup lebih dalam. Salah satunya makna bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Bukan sekadar perjalanan fisik, bukan sekadar perjalanan yang profan, tetapi juga perjalanan batin yang sakral. Dari mana kita datang dan hendak ke mana kita pergi.

Banyak di antara teman-teman adalah seorang traveler, baik untuk liburan maupun perjalanan karena tugas pekerjaan. Sebelum pandemik, kita diberikan kesempatan menjelajahi hamparan bumi, tidak saja di bumi Indonesia, tetapi juga ke negara- negara lain. Perjalanan selalu mengasyikkan karena kita bisa ber-tafakkur dan ber-tadabbur, menikmati keindahan ciptaan Allah SWT. Membaca ayat-ayat Allah, tanda-tanda semesta, pun menjadi momen refleksi betapa kecilnya kita di dunia ini. Renungan itu kadang kita lakukan di tengah perjalanan, baik di darat, laut, maupun udara. Saya sendiri biasanya banyak merenung saat berada dalam pesawat pada ketinggian 35-40 ribu kaki, hingga benar-benar merasa kecil, kecil sekali kita di jagad raya ini. Bahkan lebih kecil dari sebutir debu.

Sejak Maret 2020, sudah tidak ada lagi perjalanan (fisik) itu. Kita lockdown. Bagi teman-teman yang bekerja di industri penerbangan akan prefer menggunakan istilah “grounded”. Gak terbang lagi. Atau sandar, gak berlayar lagi. Berhenti. Kita di rumah saja, bekerja dari rumah, dan melakukan segala sesuatunya dari rumah. Tidak ada lagi postingan sosial media saat kita berada di executive lounge sebuah bandara, tidak ada postingan boarding pass, pun postingan kegembiraan bersama teman-teman saat di kota atau negara tujuan. Bagi seorang pejalan, ini adalah kehilangan. Perjalanan yang terhenti. Kita di rumah, di kota, atau maksimal diam di negara kita saja.

Tetapi hidup tetaplah sebuah perjalanan. Perjalanan fisik terhenti, tetapi batin kita tetap dalam perjalanan. Perjalanan iman dan ketaqwaan. Perjalanan untuk terus menambah ilmu dan membekali diri dengan pengetahuan, tak pernah berhenti. Pun perjalanan untuk istiqomah, tawadhu’ (rendah hati), syukur, dan sabar, adalah perjalanan yang baru akan berhenti sampai tuntas tugas kita di dunia ini. Perjalanan untuk lebih peduli kepada orang-orang terdekat: keluarga (orang tua, suami/ istri, anak- anak, dan saudara), kepada teman-teman di kantor, juga para tetangga. Di kota-kota besar, pandemik melahirkan fenomena baru, kehidupan bertetangga menjadi lebih guyub. Sebelumnya, jangankan ngobrol, kenal dan tahu bahwa itu tetangga kita saja, belum tentu.

Bagi teman-teman yang usahanya sedang susah atau bangkrut, atau teman-teman yang terkena PHK karena tempat kerjanya terdampak covid, sabar dan tetap bersyukur serta terus berprasangka baik kepada Allah. Perjalanan fisik boleh berhenti, tetapi rejeki dari Allah tidak akan pernah berhenti. Selalu bersyukur karena rejeki (nikmat) dari Allah akan ditambah. Selalu bersabar dan menjadikan shalat sebagai penolong kita, terutama pada masa-masa sulit seperti saat ini.

Karena hidup adalah perjalanan, perjalanan kita juga tidak akan selesai sampai saatnya selesai. Tinggal bagaimana mengisi perjalanan ini: mengeluh atau tetap bersyukur dan sabar. Saya mengajak teman-teman memilih sikap yang kedua.

Hidup yang Singkat

Hidup ini singkat dan tidak perlu dipikir terlalu berat. Merenungi diri sendiri, tidak berasa sudah 47 tahun saja. Kalau mengingat Almarhum Bapak saya wafat di usia 53 tahun dan Bapak mertua wafat pada usia 50 tahun, pendulum waktu hidupku mungkin juga sudah memasuki etape-etape terakhir. Tadi pagi ada teman di Surabaya berkabar bahwa beliau sedang dirawat di RS karena positif covid, saya hanya bisa mendoakan semoga tetap diberi kekuatan dan segera sembuh. Banyak teman-teman yang saat ini bertarung melawan virus yang belum ada penangkalnya ini.

Di sisa waktu, semua terserah kepada kita, mau mewarnainya seperti apa. Tidak berubah, terus terlena dengan target-target dunia, atau mulai reorientasi mengejar tujuan-tujuan yang lebih hakiki. Tugas dunia tentu saja tidak kita tinggalkan tetapi jangan sampai melupakan hakikat keberadaan kita yang sesungguhnya. Tidak perlu pusing dan memikirkan apa-apa yang terjadi di luar diri kita. Fokus memperbaiki diri sendiri dan memastikan kehadiran kita memberikan manfaat bagi orang-orang sekitar. Caranya macam-macam dan teman-teman pasti tahu apa yang harus dilakukan.

Nama-nama yang dulu pernah kita kenal, kini hanya menjadi kenangan. Teman-teman yang dulu menghabiskan waktu bercengkerama dengan kita,
banyak yang sudah hidup pada dimensi kehidupan yang berbeda: di alam barzakh. Kita, yang masih hidup dan membaca tulisan ini, hanya menunggu giliran saja. Sekadar menjadi orang yang lebih peduli kepada lingkungan sekitar itu juga sebuah perbaikan dalam perjalanan ini. Tengoklah kanan kirimu saat ini, sudahkah teman-teman tersenyum
kepada mereka? Jika belum, lakukanlah. Segera. Karena kita tidak tahu apakah esok senyuman itu masih ada.

Teruslah melangkah teman-teman dengan penuh keyakinan bahwa tahun 2021 akan lebih baik dari tahun ini. Dan selalu menjadi orang-orang yang sabar atas setiap musibah yang menimpa kita. Karena Allah akan memberikan kabar gembira kepada mereka yang sabar. Siapakah orang-orang yang sabar itu? Adalah mereka yang ketika tertimpa musibah mengatakan “Innalilahi waina ilaihi rojiun” (dari Allah kami datang dan kepada Allah kami akan kembali). (QS 2:156)

Cibubur, 24 Desember 2020

*)Tofan Mahdi, wartawan senior. Penulis buku “Pena di Atas Langit”