Sengketa Pemberitaan dan Produk Pers

137 dibaca

Salah satu dari sekian banyak kunci, tegaknya demokrasi yang hakiki di suatu negara, adalah terjaminnya kebebasan pers dalam menyuarakan aspirasi rakyat ke hadapan publik. Baik dalam hal mencari, mengolah, menulis hingga mempublikasikan karya jurnalistik dengan tanpa rasa takut.

Seperti dilansir situs Dyaksa.id bahwa rasa takut atau pun khawatir dari mereka yang berkecimpung di dunia publikasi informasi yang dimaksud ialah, ketika sebuah tulisan atau dokumentasi audio-visual, menjadi dasar bagi oknum-oknum tertentu, untuk membredel, mengkriminalisasi atau bahkan melakukan tindakan ekstrim seperti penganiayan bahkan pembunuhan fisik serta karakter terhadap insan jurnalistik.

Pembredelan, kriminalisasi sampai dengan penghilangan nyawa secara paksa itu, tentu mencederai nilai-nilai demokrasi yang sejatinya wajib terbebas dari hal-hal tersebut. Dengan kata lain, tidak akan berjalan baik demokrasi suatu negara, jika kebebasan pers tidak dijamin seutuhnya oleh semua pihak.

Hal ini, adalah pesan yang tersirat dari apa yang disampaikan oleh salah satu anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhar, ketika memberikan materinya dalam acara workshop, yang diselenggarakan oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumatera Utara, di Gedung Bina Graha Provinsi Sumatera Utara, Rabu (16/9/20).

Terkait dengan persengketaan produk pers atau dengan kata lain pemberitaan, Ahmad Djauhar, meminta semua pihak termasuk Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, para pemangku kebijakan serta pegiat pers itu sendiri, untuk mematuhi amanat Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan aturan Dewan Pers. Dimana penyelesaian setiap perkara yang ada tetap melalui mekanisme yang telah termaktub di dalam produk hukum tersebut.

“Kepada seluruh pihak yang bersengketa terkait produk pers, hendaknya menyelesaikan perkaranya itu, melalui UU pers dan Aturan Dewan Pers, jangan langsung main pidana atau gugatan perdata, ini tentu akan mencederai demokrasi kita yang telah dibangun dengan baik selama ini. Bisa dengan menggunakan hak jawab, atau mengadukan persengketaan tersebut ke Dewan Pers untuk diselesaikan, jadi simpelnya begini, balaslah kata-kata dengan kata-kata,” ucapnya.

Masih Ahmad Djauhar, ia melanjutkan, setiap peristiwa yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pers, akan mengundang tanggapan dari dunia internasional, bukan hanya terkait kasus hukum atau upaya kriminalisasi saja, namun juga jika adanya tindak kekerasan yang dialami oleh seorang jurnalis. Hal itu dapat mengurangi rasa kepercayaan dunia atas demokrasi dari negara yang bersangkutan. Artinya, kepercayaan masyarakat dunia akan menurun apabila kebebasan pers sudah terbelenggu.

“Saya sering berangkat mewakili Indonesia ke acara-acara internasional yang diadakan di markas UNESCO, di sana, kalau sudah ada peristiwa terkait pers, kita repot menjawab pertanyaan dari mereka yang hadir di sana, karena memang ada indeks yang menilai demokrasi suatu negara, salah satunya ya tentang Jurnalistik, saat ini indeks kita malah di bawah negara tetangga (Malaysia) soal kebebasan pers, artinya, kita masih perlu memperbaiki segala sesuatu yang berkaitan dengan produk pers termasuk penyelesaian sengketanya,” tutur Ahmad Djauhar.

Kode Etika Jurnalistik

Selain memaparkan soal sengketa pemberitaan berikut tata cara penyelesaian persengketaannya, Ahmad Djauhar, juga menegaskan kepada setiap jurnalis dan pemilik media, untuk tetap memenuhi Kode Etik Jurnalistik, dalam pemuatan suatu berita. Hal ini dianggap sangat penting, agar produk pers yang dihasilkan sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik dan tentunya terbebas dari niat bermuatan buruk dan tendensius.

“Kepada seluruh insan pers dan pemilik media pemberitaan baik cetak, elektronik dan siber, harus tetap mematuhi Kode Etik Jurnalistik, dalam menulis suatu berita. Hal ini begitu penting, bukan hanya agar selamat dari jeratan hukum, tapi juga agar berita yang dihasilkan benar-benar memenuhi kaidah jurnalistik dan tidak menghakimi serta berpihak dalam menyajikan informasi ditengah-tengah masyarakat,” Tegasnya.

Kode Etik Jurnalistik

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.(dyaksa/alam)