Keluarga Dokter

185 dibaca

Oleh: Dahlan Iskan

Satu dokter lagi meninggal dunia. Di Surabaya. Senin lalu.
Memang ia sudah pensiun. Juga sudah sakit-sakitan: gula darah, tekanan darah tinggi, dan belakangan komplikasi itu sampai ke ginjal –begitulah memang kalau gula darah tidak teratasi.
Namanya: Dokter Boedhi Harsono. Ahli penyakit dalam. Lulusan Universitas Brawijaya, Malang.
Ketika masuk rumah sakit sebenarnya bukan karena Covid-19. Lebih terkait dengan semua penyakitnya tadi. Hanya saja ketika dites ternyata positif Covid-19.
Maka ia pun dibukukan meninggal karena virus Corona baru.
Tentu, istrinya amat sedih.
Dia juga seorang dokter. Ahli jantung. Masih aktif. Masih buka praktek di tiga rumah sakit.
Setelah dites sang istri ternyata juga positif Covid-19. Dirawat di rumah sakit yang sama: National Hospital Surabaya.
Ketika suaminyi meninggal dia masih dirawat di RS itu. Yang salah satu lantainya dikhususkan untuk perawatan pasien Covid-19 –dengan sistem isolasi yang ketat.
Sang istri tertular suami atau sebaliknya?
Kelihatannya sebaliknya. Setelah dilacak sang ahli jantung pernah menerima pasien. Yakni saat berpraktek di RS Mitra Keluarga Surabaya. Pasien itu mengaku punya masalah jantung.
”Dokter kita memang belum dibiasakan bersikap selektif,” ujar dr. Brahmana, Ketua Ikatan Dokter (IDI) Surabaya. ”Kalau ada pasien yang datang ke praktek pasti diterima,” tambahnya.
”Tidak ada dokter yang mengharuskan pasiennya menjalani tes dulu di bagian penerimaan pasien,” papar dr. Brahmana.
Bulan lalu saya diundang dr. Brahmana ke gedung IDI yang bagus itu. Yang letaknya di dekat RSUD dr. Soetomo itu. Saya diajak dialog yang direkam. Untuk pembuatan video bagi para dokter. Agar lebih hati-hati selama pandemi ini.
Di situ kami bahas tentang perilaku pasien. Yang kadang tidak mengaku terus terang: bahwa sang pasien sudah positif terkena virus. Lalu menulari dokternya. Sang dokter ganti menulari keluarga.
Kurang lebih itu pula yang terjadi di Surabaya itu. Yang juga pernah terjadi di Jakarta dan Jogjakarta.
Yang seperti itu tidak akan terjadi di Vietnam atau Taiwan. Atau di Korea Selatan. Atau di mana lagi. Di sana sistem pelacakan luar biasa disiplin.
Begitu ada seseorang dinyatakan positif, siapa saja yang pernah terhubung dengannya harus dikejar. Harus ditemukan. Lalu diharuskan masuk karantina. Biar pun karantina itu di rumah masing-masing.
Selama dikarantina diawasi sangat ketat. Menggunakan teknologi. Seperti yang dibuat Ahmad Alghozi Ramadhan di Bangka Belitung itu (Baca DI’s Way: Milenial Nakal).
Lalu mereka itu dites. Yang positif harus masuk rumah sakit. Yang negatif dibebaskan.
”Kita masih sangat lemah di bidang pelacakan ini,” ujar dr Brahmana.
Ingat pilot Vietnam yang berkebangsaan Inggris itu? (Baca DI’s Way: Satu Pilot). Begitu sang pilot diketahui positif sistem pelacakannya berjalan. Dari satu pilot itu saja yang harus dilacak 4.000 orang. Tentu sulit sekali melacak 4.000 orang. Tapi itulah yang dilakukan di Vietnam. Yang negaranya lebih miskin dari Indonesia.
4.000 orang itu adalah semua penumpang pesawat yang pernah dipiloti orang Inggris itu. Semua pelayan bar, pengunjung bar, dan yang terkait dengan bar yang pernah didatangi pilot itu.
Kita di Indonesia, juga sudah melakukan pelacakan seperti itu. Dengan kadar sekian persennya.
Kita memang tidak lockdown. Tapi juga tidak melakukan model pelacakan yang tuntas. Kita memang tidak boleh mudik tapi juga tidak tuntas. Kita bahkan sudah menerapkan jaga jarak. Anda teruskan sendiri tapinya….
Bangka Belitung pernah menerapkan sistem pengawasan karantina di rumah itu dengan efektif. Pakai ”gelang pahlawan” Covid. Dengan teknologi bikinan Ghozi.
Teknologi itu tidak bermanfaat lagi di sana: penerbangan ke sana ditutup total.
Kini penerbangan dibuka lagi. Seminggu dua kali. Pemda Belitung mengajukan syarat: ”Pesawat itu tidak boleh membawa penumpang dari Jakarta ke Tanjung Pandan,” ujar Isyak Meirobi, Wakil Bupati Belitung tadi malam.
Agar penerbangannya tidak rugi, Isyak menggalang pengiriman paket lewat pesawat. ”Gelang pahlawan tetap berfungsi di Belitung. Efektif sekali. Orang yang harus karantina di rumah masing-masing teratasi dengan baik,” ujar Isyak.
Dengan sistem pelacakan yang seperti sekarang, dokter praktek harus lebih hati-hati. Padahal suami istri dr Boedhi Harsono ini sudah hati-hati. Mereka sudah sepakat tidak akan mau buka praktek di rumah. Mereka tidak mau membawa penyakit ke rumah.
Mereka memilih praktek di rumah-rumah sakit. Toh terkena juga.
Keluarga ini boleh dikata keluarga dokter. Saya kenal baik mereka. Rasanya ada sembilan dokter di keluarga besar ini.
Justru anak Boedhi Harsono yang tidak mau lagi jadi dokter. Anak pertamanya, Albert Hein, sarjana teknik elektro dari Universitas Surabaya. Adiknya, perempuan, sarjana arsitektur dari Universitas Petra.
”Ke depan saya pikir teknologi kian berperan,” ujar Albert mengapa tidak kuliah kedokteran. ”Orang tua juga tidak memaksa harus masuk kedokteran,” ujarnya.
Keduanya sudah bekerja di swasta. Tapi belum ada yang menikah.
Mereka kini juga tidak bisa menjenguk ibunda. Tidak diizinkan. Tapi keduanya tahu ada kabar gembira: kesehatan sang ibu terus membaik.
Kita tidak bisa lockdown. Kita tidak bisa jaga jarak. Kita tidak bisa menerapkan sistem pelacakan yang tuntas.
Alhamdulillah kita masih bisa cuci tangan –kalau tidak salah. (Dahlan Iskan)