PSBB dan Larangan Adzan

135 dibaca

Oleh: A. Bajuri Salim

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya diterapkan di Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo dan Gresik) sejak Selasa (28/4/2020). Hari pertama, masyarakat sempat kaget sehingga terjadi penumpukan antrean di bundaran waru, Surabaya. Sebuah kawasan pintu utama perbatasan Surabaya dan Sidoarjo.
Namun setelah hari kedua, semua berjalan normal. Aparat pun sudah cepat beradaptasi menyelesaikan masalah lalu lintas. Di kawasan bundaran Waru, lalu lintas terlihat lancar walaupun ada penyekatan. Andaikan terjadi penumpukan pengendara, hanya terjadi pada jam-jam masuk kantor. Tapi masih dalam kategori padat merambat.
Justru yang tidak normal menurut saya adalah tempat ibadah, yaitu masjid dan musholla. Mengapa ada masjid yang tidak mengumandangkan adzan? Benarkah ada SOP (standard operasional prosedur) PSBB yang melarang adzan? Apakah para ulama tidak memberikan panduan tentang adzan di masa PSBB?
Saya bukan ahli masjid, juga bukan takmir masjid. Namun saya ingin mendiskusikan masalah adzan ini kepada umat Islam agar menjadi khazanah ilmu. Seharusnya pada masa seperti ini, dijadikan pelajaran bahwa adzan tetap harus dikumandangkan di saat wabah sedang melanda satu negeri.

LARANGAN ADZAN
Berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur tentang PSBB, ternyata tidak ada larangan tentang adzan. SOP PSBB hanya mengatur bahwa sholat berjamaah, sholat jumat dan taraweh di masjid atau musholla sementara ditiadakan. Bagi masyarakat yang tetap ingin menjalankannya silakan melaksanakan di rumah masing2.
Faktanya, banyak takmir masjid dan musholla yang mengartikan larangan sholat berjamaah ini sebagai larangan semua kegiatan di masjid, termasuk adzan. Bahkan ada yang sangat berlebihan dengan mengunci masjid rapat2 dan mematikan semua lampunya. Sehingga masjid benar2 gelap gulita.
Padahal di negara lain, adzan itu dinilai sebagai doa untuk mengusir virus corona. Contohnya di Jerman, sebagaimana diberitakan beberapa media di luar negeri, ada masjid di Jerman yang diminta mengumandangkan adzan sebagai bentuk solidaritas antar umat beragama dalam melawan virus corona.
Begitu juga di London, Inggris dan kota-kota di Eropa. Masjid2 tetap mengumandangkan adzan di masa lockdown. Bila gereja diminta membunyikan loncengnya tiap pagi dan sore, maka masjid diminta mengumandangkan adzan sehari lima kali.
Di kawasan Timur Tengah, adzan tetap dikumandangkan dalam situasi lockdown. Mereja yg bertugas mengumandangkan adzan adalah para pengurus masjid. Bahkan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi pun tetap mengumandangkan adzan walaupun sholat berjamaah masih ditutup untuk umum.

Budaya Adzan
Di Indonesia, adzan itu bukan hanya bagian SOP dalam melaksanakan ibadah sholat, tapi merupakan bagian dari budaya masyarakat. Tak jarang orang menyebut waktu tertentu dengan kata-kata waktu sholat.
Contohnya, ayo kita rapat setelah duhur. Atau ayo berolahraga setelah subuh. Atau bisakah kita videocall bakda maghrib. Ini menunjukkan, bahwa adzan adalah bagian dari budaya umat Islam sebagai kata ganti waktu. Para pedagang pasar juga selalu menjadikan adzan subuh sebagai waktu untuk pergi ke pasar.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka mengatur waktu lagi bila adzan ditiadakan? Mereka pasti merasakan ada yang hilang. Biasanya, adzan dijadikan patokan waktu. Kini justru budaya adzan itu tidak terdengar lagi. Selain itu, meniadakan adzan ini bukan saja menyalahi aturan agama, tapi lebih dari itu telah menghilangkan salah satu budaya masyarakat kita.

Solusi Adzan
Bukan tanpa alasan apabila adzan seharusnya masih tetap dikumandangkan di masa PSBB. Selain adzan telah menjadi patokan waktu, juga adzan adalah bagian dari syiar dan doa. Lebih dari itu, adzan adalah ritual yang baik.
Karena begitu pentingnya ritual adzan ini, sehingga ketika Rasulullah bangun tidur kesiangan saat sholat Subuh, maka beliau tetap memerintahkan sahabat Bilal untuk mengumandangkan adzan.
Pasti ada pertanyaan, bukankah adzan itu untuk mengajak umat Islam untuk sholat di Masjid? Ini pertanyaan yang tidak salah, namun tidak juga benar. Karena di jaman Rasulullah ada adzan yang justru menyuruh umat Islam melaksanakan sholat di rumah atau tempat tinggal masing2. Peristiwa itu terjadi pada saat musim hujan, musim angin dan dingin di Madinah.
Untuk mengumandangkan adzan di saat bencana atau wabah corona, para Ulama negara-negara Islam sudah memberi solusi sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dulu Rasulullah pernah menyuruh Ibnu Abbas untuk melakukan adzan yang berbeda saat musim hujan, angin dan dingin. Dan kejadian ini dianggap sama dengan musim wabah pandemi covid-19.
Lafadh adzan di saat wabah corona ini adalah meniadakan kalimat “hayya alas sholah dan hayya alal falah”, diganti dengan kalimat: “Shollu fi Buyutikum” atau “Shollu fi Rihalikum” atau “Shollu firrihal” (Sholatlah di rumah kalian masing-masing).
Adzan seperti ini sudah dilakukan di beberapa negara di Timur Tengah, termasuk di Arab Saudi, Mesir, Yaman, Marocco dan banyak lagi. Seharusnya, masjid-masjid di Indonesia pun juga melakukan yg sama, bukan justru meniadakannya, apalagi menghilangkannya.
Sungguh ironis, jika saat ini umat Islam yang mempunyai kesempatan mendapatkan “ilmu fikih corona”, tapi justru tidak digunakan dengan sebaik-baiknya. Dalam kondisi seperti ini seharusnya diperkenalkan adzan khusus wabah (halangan), bukan justru menghilangkannya.
Ini memang bukan tanggungjawab pemerintah, tapi tugas para ulama sebagai para pewaris Nabi untuk memberikan pembelajaran kepada para takmir dan pengurus masjid agar tetap mengumandangkan adzan dengan kalimat yang sedikit berbeda.
Wallahu a’lam bisshowab.

*) _Penulis adalah direktur utama PT Bakkah Umrah Travel dan pengurus IKA-UINSA Surabaya._