Akankah revolusi kelembagaan petani bermula dari Wonogiri ini?
Dari Wonogiri lah lembaga ”perseroan terbatas” mulai diterapkan. Sejak empat tahun lalu. Tepatnya di desa Kebon Agung, Sidoharjo.
Dan kelihatannya mulai berhasil.
Saya memilih lewat Ponorogo untuk ke desa ini. Jalannya mulus. Google Map bisa membawa saya ke pelosok itu –tanpa harus bertanya.
Jalan menuju desa ini asyik. Banyak kelokan dan dakian. Yang tidak terlalu tinggi. Di kanan kiri jalan banyak tumbuh pohon jambu mente.
Di musim hujan, seperti ini, pedesaan Wonogiri terlihat hijau royo-royo –kontras sekali dibanding musim kemarau yang gersang.
Akankah Desa Kebon Agung akan menjadi era baru berakhirnya kelembagaan koperasi tani? Khususnya koperasi unit desa (KUD)? Yang didirikan secara top down –dan massal itu? Di awal Orde Baru itu?
Karena itu saya tidak rela kalau pemuatan naskah ini tertunda lagi. Biar pun ada gejolak baru di Malaysia: Perdana Menteri Mahathir Mohamad, 94 tahun, mengundurkan diri. Atau pura-pura mengundurkan diri.
Di Tiongkok juga ada perkembangan terbaru: untuk pertama kalinya, Sabtu lalu, tidak ada penderita baru virus Corona di Provinsi Hubei –termasuk di ibu kota tanya, Wuhan.
Kabar itu begitu menggembirakan. Tapi yang Wonogiri ini juga sangat memberi harapan.
Sehari penuh saya di desa Kebon Agung itu. Di pinggir jalan antara Wonogiri-Pacitan itu.
Di situ saya bertemu Hanjar Lukitojati. Hanjarlah yang mendirikan PT itu: PT Pengayom Tani Sejagad.
Awalnya ada kata ”BUMP” di depan nama itu: Badan Usaha Milik Petani.
Tapi BUMP tidak dikenal sebagai badan hukum di Indonesia. Karena itu, dengan sangat masygul, kata BUMP dihapus.
Hanjar bukanlah pemegang saham terbesarnya. Tapi, sebagai pemrakarsa, ia menjadi direktur di PT Pengayom itu. Umurnya: 33 tahun. Pendidikan terakhirnya: Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Pemegang saham terbesar PT Pengayom adalah: Asosiasi Petani Organik. Anggota asosiasi ini 1.600 petani organik. Hanjar juga ketuanya.
Saya akan menulis perjuangan membangun asosiasi petani organik ini. Kapan-kapan.
Hari ini menulis soal PT Pengayom dulu.
Siapa tahu kelembagaan baru ini menjadi tren masa depan petani kita.
Asosiasi petani organik itu memegang saham sampai 50 persen di PT Pengayom. Yang 35 persen lagi dipegang Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Kebon Agung.
Hanjar sendiri hanya memegang saham 10 persen. Sedang yang 5 persen lagi milik Seknas BUMP.
Seknas itu perserikatan mahasiswa program doktor ilmu kelembagaan Universitas 11 Maret Solo.
Awalnya –saat didirikan tahun 2009– anggotanya 18 orang. Belakangan tinggal tidak sampai separonya.
Latar belakang S-1 mereka beraneka keilmuan. Ada pertanian, akuntansi, hukum, dan banyak lagi. Ketuanya adalah Dr. (kini) Sugeng Edi Waluyo.
Mereka itu melakukan penelitian bidang kelembagaan petani. Sangat mendalam. Mereka kaji keberadaan koperasi, kelompok, asosiasi, dan apa saja yang terkait petani.
Hasil kajian itu: tidak ada lembaga tani mana pun yang bisa mengatasi problem pokok petani. Yakni: menjaga agar di musim panen harga hasil tani tidak merosot.
Dr. Edi Waluyo sendiri orang Jepara. Tapi istrinya dari desa paling pelosok Wonogiri. Masih 1 jam lagi dari Sidoharjo –ke arah Pacitan.
Ia tinggal di desa Kedungombo, Baturetno, itu. Agar terus menghayati persoalan pedesaan dan petani.
Tiap masuk kerja ia harus naik mobil 2 jam ke Solo. Ia tidak menjabat apa-apa lagi di Universitas 11 Maret tapi banyak yang diurus di Solo.
Saat saya ke desanya itu terlihat rumah pedesaan yang berbentuk joglo. Itulah rumahnya.

Dr Sugeng Edi Waluyo (dua dari kiri) dan Hanjar al Gontori (kanan).
Ia juga membangun rumah penelitian di seberang rumahnya itu. Ada kandang sapi modern, proses pengolahan kompos, instalasi biogas, dan kolam-kolam lele di atas tanah.
Kolam lelenya 8 buah. Bentuknya lingkaran-lingkaran. Garis lingkaran itu 3 meter. Dinding kolamnya plastik yang disangga kerangka besi. Setiap kolam berisi 4.000 lele.
Dari wajahnya saya mengira Dr. Edi ini seorang Tionghoa. Inilah orang Jepara yang paling mirip Tionghoa. “Saya asli Jawa,” ujarnya seusai salat Jumat dengan saya. Isteri dan anaknya pun berjilbab.
Penelitian Dr. Edi itu sampai pada kesimpulan: lembaga tani itu harus perseroan terbatas. Ia pun menyusun desertasi soal kelembagaan ini. Jadilah Edi doktor pertama di ilmu kelembagaan.
Ia tahu hasil penelitiannya itu akan sulit diterapkan. ”Perseroan terbatas itu kesannya kan kapitalis,” ujar Dr Edi. Itu pula yang membuat saya sempat salah sangka: mengira ia Tionghoa. Bahkan saya sempat menyapanya dalam bahasa Mandarin –dan ia hanya bisa melongo.
”Citra kapitalistik” itu yang harus dihilangkan Edi –secara sungguh-sungguh di dunia nyata.
Di Wonogiri ia menemukan satu lembaga tani yang kuat, mandiri dan amat dipercaya petani.
Yang ia temukan itu bukan lembaga tani yang selalu mengandalkan bantuan dan fasilitas dari pemerintah –yang membuat petani tidak pernah mandiri itu.
Itulah asosiasi petani organik. Yang diketuai Hanjar al Gontori itu.
Waktu itu Hanjar baru berumur 29 tahun. Kepribadiannya santun. Otaknya cerdas. Gaya bicaranya antusias –tapi tertata rapi.
Saat Hanjar bertemu Dr. Edi ia merasa punya kecocokan ide. Yakni bagaimana membuat petani bisa mandiri.
Hanjar juga bisa menerima ide untuk memulai lembaga tani baru. Yakni lembaga berbentuk perseroan terbatas –tanpa jatuh ke kapitalistik.
Seperti apa?
Sebaiknya jangan diuraikan di DI’s Way hari ini. Toh DI’s Way masih akan terbit lagi besok pagi. (dahlan iskan)