Mengejar SARS

247 dibaca

Yang sembuh dan yang meninggal terus bertambah. Berkejaran. Orang pun mulai membanding-bandingkan: mengerikan mana. Virus Wuhan sekarang ini atau SARS 18 tahun lalu.
SARS: yang terjangkit 8.098 orang.
WUHAN: yang terjangkit 7.771 orang. Sampai kemarin. Baru satu bulan.
Kelihatannya angka itu akan segera melebihi korban SARS. Besok atau lusa. Berarti virus Wuhan lebih dahsyat.
SARS: yang meninggal 744 orang.
WUHAN: yang mati 170 orang. Sampai kemarin. Jumlah yang meninggal memang masih jauh dari SARS. Dan yang meninggal itu juga hanya di Tiongkok. Khususnya di Propinsi Hubei. Lebih khusus lagi di ibukota propinsi itu: Wuhan.
Waktu SARS dulu media sosial belum semeriah sekarang. Tapi SARS juga tidak kalah menakutkan.
Mungkin para pegiat medsos yang sekarang belum ikut merasakan tegangnya waktu ada SARS. Anak yang sekarang berumur 25 tahun, waktu itu baru berumur 7 tahun.
Wabah SARS bermula akhir November 2002. Saat musim dingin mulai tiba.
Wabah Wuhan ini diketahui pertengahan Desember 2019. Saat musim dingin sudah tiba –agak telat.
Virus Corona ini bermula di Kota Wuhan. Dari sebuah pasar ikan yang sekaligus pasar binatang-binatang liar.
Virus SARS dulu bermula dari Kota Foshan, 50 Km dari Kota Guangzhou.
Penderita pertama virus Wuhan adalah pemilik kios di pasar ikan di kota itu. Beberapa pemilik kios sekaligus.
Penderita pertama virus SARS adalah seorang petani di luar kota Foshan. Petani itu dibawa ke RS di Foshan. Tiga hari kemudian meninggal dunia.
Penyebab SARS tetap tidak segera diketahui. Virus yang menyerang petani itu begitu aneh. Tidak pernah dikenal.
Pengobatannya sulit. Sampai petani itu meninggal. Termasuk meninggalkan virus ke orang sekitarnya. Bahkan ke dokternya sendiri.
Dokter itu bukan sembarang dokter. Ia ahli virus. Gelarnya sudah profesor.
Namanya: Prof Liu Jianlun. Usia 64 tahun.
Sang profesor tidak tahu kalau dirinya tertular virus SARS.
Ia pergi ke Hongkong. Tinggal di hotel Metropole, Kowloon.
Di lantai sembilan.
Nomor kamarnya 911.
Itu tanggal 21 Februari 2003.
Malam itu Prof Liu demam. Suhu badannya panas. Lantas dibawa ke RS dekat hotel itu. Dirawat di situ.
Ternyata Prof Liu terkena virus SARS. Tidak sampai dua minggu kemudian ia meninggal. Itu tanggal 4 Maret 2003.
Gempar. Ketakutan kian mencekam.
Mulailah dilakukan penyelidikan. Siapa saja yang pernah bermalam di hotel itu. Khususnya di lantai 9. Lebih khusus lagi yang berdesakan satu lift dengannya.
Ditemukanlah 16 nama penghuni hotel yang di lantai sembilan. Tapi mereka sudah menyebar ke tujuan masing-masing: Kanada, Taiwan, Singapura, dan ke pulau Hongkong di seberang Kowloon.
Mereka yang ke negara-negara jauh itu ternyata membawa serta virus SARS. Yang pergi dekat membawa lebih banyak. Maka berjatuhanlah korban SARS di mana-mana.
Di Hongkong saja yang terkena SARS 1.755 orang. Yang kemudian meninggal dunia 299 orang. Berarti 17 persen orang yang terkena virus SARS meninggal.
Hongkong saat itu sangat parah. Di samping ada faktor Dr Liu, letak Hongkong memang berbatasan langsung dengan Provinsi Guangdong. Kota Guangzhou hanya tiga jam dari Shenzhen. Dengan kendaraan mobil. Dan Kota Shenzhen hanya satu jam mobil dari Hongkong.
Perlintasan perbatasan teramai di dunia adalah antara Hongkong dan Shenzhen.
Sejak itu Hotel Metropole Kowloon kehilangan bisnis.
Tapi seiring dengan hilangnya SARS dari muka bumi orang melupakan juga kamar 911 itu.
Tiga tahun kemudian hotel itu direnovasi. Termasuk namanya pun diganti. Menjadi Hotel Metropark Kowloon.
Jumlah kamarnya 487 buah kini tinggal 486 buah. Kamar 911 itu diubah nomornya menjadi No 913.
Rencana awalnya untuk museum SARS.
Bisnis hotel itu belakangan sudah ramai lagi. Hampir selalu penuh. Letaknya memang strategis. Hanya selemparan batu dari stasiun MTR Mongkok yang tahun lalu sering didemo itu.
Kini virus Wuhan juga sudah masuk Hongkong. Tapi belum separah dulu –kalau bisa jangan sampai. Yang terkena virus Wuhan sudah/baru 10 orang. Yang meninggal dunia 0.
Waktu SARS dulu Kanada menempati urutan ketiga setelah Tiongkok dan Hongkong. Dengan korban meninggal 43 orang. Sekitar 17 persen orang Kanada yang terkena virus Hotel Metropole meninggal dunia.
Urutan keempat adalah Taiwan (37 meninggal). Dan yang kelima Singapura (33 orang meninggal).
Sampai SARS reda di pertengahan tahun 2003 belum ditemukan obatnya. Antibiotik tidak bisa mematikan virus –apalagi SARS atau Wuhan.
Karena itu banyak yang mengaitkan redanya virus saat itu dengan datangnya musim panas.
Adakah virus Wuhan ini juga akan reda sendiri ketika musim panas tiba? Di bulan April nanti?
Kalau pun itu yang terjadi berarti masih harus berapa banyak lagi korban yang akan jatuh sampai April itu?
Sampai saat ini cara isolasi adalah masih yang paling ampuh. Membatasi hubungan antar manusia, juga manusia dan binatang, adalah pencegahan paling efektif.
Maka berperilakulah yang bersih. Sering-sering cuci tangan dengan sabun.
Apalagi bagi orang yang punya riwayat sakit terkait dengan pernapasan.
Robert Lai terus menelepon saya dari Singapura. Sehari tiga kali. Ia memonitor saya ke mana saja. Ketika saya kemukakan akan ke Jakarta ia keberatan.
“Rapat penting,” kata saya.
“Ganti dengan video call,” katanya.
“Suhu Jakarta panas,” kilah saya.
“Singapore juga panas. Nyatanya ada yang terkena,” bantahnya.
Robert, teman baik saya itu, mengategorikan saya sebagai yang rawan terkena virus. Maklum setiap hari saya harus meminum obat immunosuppression. Kekebalan tubuh saya sengaja diturunkan. Agar hati baru saya tidak ditolak oleh sistem tubuh saya.
Saya juga mengingatkan teman-teman sesama penerima transplantasi organ untuk lebih hati-hati. Termasuk teman saya di Balikpapan yang sukses menjalani ganti jantung di Beijing.
Saya bertemu ia makan kepiting di Balikpapan tiga hari lalu. Yakni saat koran DI’s Way Kaltim menjamu para pengusaha di restoran kepiting. Ia tampak sehat. Namanya A Liong. Ternyata sudah naik haji segala.
Tentu saya juga harus mengurangi banyak perjalanan. Beberapa janji di luar negeri saya batalkan. Saya juga tidak akan menghadiri resepsi perkawinan besar pengusaha tekstil Solo di Jakarta. Saya sudah minta maaf untuk ketidak hadiran itu.
Para ilmuwan masih terus penasaran pada virus SARS dan apalagi Wuhan ini.
Tahun lalu baru benar-benar dipastikan bahwa virus SARS datang dari kelelawar.
Ternyata kelelawar itu puluhan jenisnya. Dan tidak semua kelelawar sayapnya hitam.
Yang menjadi sarang virus SARS itu jenis kelelawar sepatu kuda. Melihat gambarnya saya tidak bisa membedakan dengan kelelawar lainnya: saya malas memelototi untuk mencari perbedaannya.
Bukan malas sebenarnya. Agak ngeri dan jijik.
Tahun lalu itu sebuah gua penuh kelelawar jenis itu dibongkar. Lokasinya di Provinsi Kunming. Sekitar 1.500 Km sebelah barat Kota Guangzhou.
Warna kelelawar sepatu kuda ini coklat agak kemerahan. Itu yang saya tidak tahu.
Gara-gara Koes Ploes saya pun mengira semua kelelawar sayapnya hitam.
Gara-gara pernah nangis kehilangan ayam, semua penyergap ayam saya anggap luwak.
Begitulah di desa, semua hal disederhanakan. Tidak mau mengingat istilah yang rumit-rumit –jiwacoronasraya, asasarsbri, egombalkatepe… (dahlan iskan)