Sunan Drajat merupakan putra Sunan Ampel. Ia ditugaskan berdakwah ke wilayah Gresik, tapi terdampar di Pantai Lamongan. Seperti apakah kisahnya di daerah tersebut. Berikut ini.
Raden Qosim lebih dikenal dengan nama Sunan Drajad. Setelah menginjak dewasa dan menguasai ilmu agama dan strategi berdakwah mendapat tugas ayahnya ke Gresik untuk melanjutkan perjuangan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Kemudian Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang.
Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang”.
Di Lamongan Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin. Dalam dakwahnya, Sunan Drajat kerap menyelipkan betapa pentingnya untuk bersikap adil dan jujur dalam setiap ceramahnya. Entah itu ceramah besar dalam pengajian atau setelah salat atau pula ketika berbincang santai dengan masyarakat.
Suatu hari Sunan Drajat berteduh di bawah teduhnya pepohonan yang rindang. Dia menikmati suasana alam yang masih alami. Angin berhembus perlahan, burung-burung berkicau dengan riang.”Biasanya Kanjeng Sunan Drajat berdoa meminta pada Allah agar burung-burung menghampirinya. Lantas beberapa burung bertengger di tangannya. Setelah Sunan Bonang memberinya makan, burung itu terbang kembali,” ujar juru kunci Makam Sunan Drajat, Yahya saat ditemui di Kompleks Makam Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Selang beberapa lama, ada seorang warga yang melintas tak jauh dari tempat Sunan Drajat. Lantas Sunan Drajat bertanya kepada seseorang itu mengenai apa yang sedang dia pikul. Namun orang tersebut menjawab, “Garam Kanjeng Sunan.” Kemudian Sunan Drajat bertanya lagi hal yang sama, apa yang sedang dia bawa. Sunan Drajat bertanya sampai tiga kali. Sampai akhirnya orang tersebut merasa apa yang dibawanya dengan cara dipikul semakin berat.
Akhirnya orang tersebut tak kuasa memikul beban. Dia terjatuh ke tanah. Ternyata dia sudah berbohong kepada Sunan Drajat. Apa yang dibawanya dengan cara dipikul bukanlah garam, melainkan beras. Ketika dia berbohong secara perlahan beras tersebut berubah menjadi garam yang sangat berat.
Seorang pemuda tersebut tak mampu berdiri. Tubuhnya tertimbun benda yang dibawanya. Dengan sangat ketakutan pemuda tersebut meminta maaf pada Sunan Drajat. Dia berjanji tidak akan berbohong di kemudian hari. Tempat pemuda tersebut terjatuh kini dinamai sebagai Desa Ngasinan. Sampai sekarang sepetak tanah dan air di sekitar situ terasa sangat asin. HUSNU MUFID