Ketika Ibnu Saud dan gembong Wahabinya ingin menghancurkan makam Kanjeng Nabi Saw, satu-satunya ulama yang berani menentang dan mengirimkan santrinnya dari Indonesia adalah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Karena tidak ada yang berani, akhirnya ada keprihatinan dari Indonesia, Mbah Hasyim mengutus Mbah Wahab Hasbullah. Mbah Hasyim kemudian berpesan kepada Mbah Wahab, “Kang Wahab, pergilah ke Mekah, siapa yang berani, ajak. Siapa yang mau membongkar makam Nabi Muhammad Saw, tabrak.” Mbah Wahab mengajak Mbah Dahlan Abdul Qohar Kertosono. Beliaupun pergi ke Arab.
Sampai di Arab, ternyata di sana tidak ada yang berani. Akhirnya Kiai Wahab mencari-cari teman. Ternyata tidak ada. Sudah pada lari semua ke Mesir, ke Syiria, ke Yaman. Setelah mencari-cari teman, ternyata tinggal dua kekuatan saja. Pertama, ulama-ulama Sunni. Kedua, ulama-ulama Syiah. Padahal Syiah dengan Sunni itu seperti minyak dengan air yang tidak pernah akur dan tidak pernah rukun.
Akhirnya, Mbah Wahab mikir-mikir bagaimana caranya agar Sunni dan Syiah bisa rukun. Mbah Wahab mengambil langkah untuk mengundang para ulama tersebut, tapi tidak ada yang datang. Karena Mbah Wahab itu kiai Indonesia yang kecil, kurus dan berkulit sawo matang (tidak pantas, jika dilihat orang sebagai Ulama atau Kiai). Jadi, Mbah Wahab diremehkan.
Setelah itu, alhamdulillah dibantu oleh ulama lainnya. Salah satunya Syaikh Ahmad Ghonaim al-Mishri. “Kumpul-kumpul! Ini ada utusan dari Indonesia.
“Siapa?”
“Ini lho namanya Wahab Hasbullah.”
Mbah Wahab pun memperkenalkan diri, “Para hadirin, kami ini santrinya Hadratussyaikh Hasyim As’ary, dari Indonesia.”
Orang-orang pun linglung dan saling bertanya-tanya, “Haaah.. orang kecil itu santrinnya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari?”
Memang, Mbah Hasyim sudah dikenal orang seantero Arab karena keilmuannya dan beliau satu-satunya ulama Indonesia yang mendapatkan gelar Hadratussyaikh. Mbah Wahab mendengar bisikan-bisikan dari kedua kubu. Akhirnya makin PD dan ngomong:
“Kami diutus Hadratussyaikh untuk meminta Anda sekalian bergerak. Bergerak tentang apa yang nanti kami ceritakan. Sekarang kami mau bertanya dulu. Ulama di tempat kami, Indonesia, jika bertemu cium tangan. Tapi ulama di sini kok cium pipi kiri pipi kanan, itu apa sebabnya?”
Akhirnya sebagian ulama yang hadir ada yang menjawab, “Sebab jika pipi kiri kanan bertemu, antara kulit dengan kulit bertemu itu besok akan menjadi saksi di hadapan Allah Swt.”
“Ooo.. ya… ya… ya…” jawab Mbah Wahab, dilanjut bertanya lagi, “Lha kalau begitu apa bedanya dengan semut? Semut itu jika ketemu dengan temannya, juga cium pipi kiri pipi kanan?”
Semuanya diam tak ada yang menjawab. Lha tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan hadits. Akhirnya dijawab sendiri oleh Mbah Wahab, “Anda sekalian tidak tahu toh, kenapa jika semut ketemu temannya cium pipi kiri pipi kanan?”
Mbah Wahab menjelaskan, “Karena dulu saat banjir Nabi Nuh mengarungi lautan, semua hewan ikut naik kapal Nabi Nuh. Nabi Nuh berpikir, jika nanti hewan yang naik kapal ini kawin dan berkembang biak, maka akan dapat mengakibatkan kapal tenggelam. Akhirnya Nabi Nuh memberi kebijakan. Semua alat kelamin wajib dicopot dan dititipkan di lemarinya Nabi Nuh.
Begitu perjalanan sampai daratan, semua hewan berlomba lari ke daratan. Karena rasa dan perasaan yang sangat senang. Akhirnya ada yang melompat pertama kali, yaitu kuda. Kuda pertama kali lari dan mengambil dari kumpulan alat kelamin yang ada di lemari Nabi Nuh. Dan yang diambil adalah kelaminnya gajah (karena tertukar, makanya alat kelamin kuda itu besar).
Giliran pembagian alat kelamin yang terakhir yaitu semut. Semut pun sudah lari ke daratan. Nabi Nuh bertanya: “Lha ini alat kelaminnya siapa?”
Ada yang menjawab: “Alat kelaminnya semut, Nabi Nuh”.
“Lha semut ke mana?”
“Sudah lari ke daratan dari tadi.”
Ditunggu lama, semut ternyata tidak kunjung kembali. Akhirnya alat kelamin semut dihanyutkan bersama lemari Nabi Nuh. Hilang tidak tahu ke mana.
Maka, mulai saat itu, semut mencari alat kelaminnya. Dan setiap kali bertemu dengan temannya pasti bertanya: “Alat kelaminmu sudah ketemu apa belum?”
Mendengar cerita itu, akhirnya ulama Syiah dan ulama Sunni bisa tertawa bersama. Terus rukun. Saling bertepuk pundak dan saling salam-salaman. Mulai saat itu, mereka bersatu bersama menolak pembongkaran makam Kanjeng Nabi. Hingga sekarang, makam Nabi Saw. masih utuh.
Itulah kehebatan Kiai Nusantara untuk merukunkan dan mendamaikan dua pihak yang saling berseteru. Hanya dengan bekal diceritani husnu mufid