Dijaga Ditunggui Putri Laba-Laba

171 dibaca

Ngimbang kota kecil nan strategis antara jalur Babat- Jombang dulu merupakan daerah penghasil kayu jati pilihan. Hari-hari ini terguncang kiriman parfum aroma tahi kucing dari polusi Pabrik Gula KTM. Sebagai laladan yang penuh sejarah, di Ngimbang ada sebuah sendang (telaga) yang eksotis bernama Sendang Gede. Bagaimana keberadaan situs sendang ini? Berikut tulisan Arifin posmonews.com

SENDANG Gede sesuai namanya gede (besar) atau dalam bahasa lain luas, memang mewakili lantaran sendang ini luas sekali dan menjadi sumber kehidupan masyarakat Desa Ngimbang dan sekitarnya. Sendang ini terletak 200 meter dari omah Duwur peninggalan Belanda yang kesohor. Sendang ini sangat terkenal dan dikenal masyarakat lantaran di pojok utaranya terdapat prasasti dari batu padas putih kecokelatan, prasasti dalam tulisannya merupakan peninggalan Prabu Airlangga.

Prasasti di sendang ini sebagian batunya terbenam dalam tanah, bagian yang tampak sekitar 102 cm dan lebar 98 cm, tebal 21cm dan atasnya lancip. Tulisan-tulisan yang sudah tak terbaca, padahal dulu beberapa puluh tahun lalu masih terlihat jelas tulisan huruf Jawa kuno, yang terdiri atas 26 baris, di baliknya juga tertulis 26 baris, sedang kanan-kiri tak ada tulisan. Prasasti ini dinaungi cungkup beratap seng dengan kondisi yang kurang perhatian dinas terkait.

Menurut Susanti dalam tulisannya di halaman 37 dikatakan, prasasti Sendang Gede berbentuk stele berpuncak setengah lingkaran. Prasasti ini juga memakai hiasan riset (ceplok bunga) di atasnya. Prasasti ini berbahan batu padas cenderung aus meskipun bentuknya masih utuh.

Saat posmonews.com datang ditemani Ki Bagus Sholeh (praktisi dan peminat budaya spiritual) dari Omah Duwur, suasana nan amat panas, tiba-tiba menginjak altar atau halaman sendang yang kini ada tower kokoh di sebelah barat menjadi mendung. Ada suasana nan berbeda jauh bila dibanding di tlatah seberang 200-an meter itu. Melihat betapa jernihnya air sendang ini, sehingga pantas sendang ini menjadi faktor utama sebagai tandon kehidupan daerah sini. Berdua mengitari sebelah timur menuju prasasti di ujung timur, terlihat dua anak berbaju pramuka sedang memegang batu itu, sambil mencatatkan di buku kecilnya.

Jleek…. ada suatu tarikan energi serta angin yang menerpa sesegera untuk menuju batu putih kecokelatan itu. Nyesss…! Kami berdua berpandangan, serentak Ki Bagus Sholeh berteriak, “Cakkk… !” katanya sambil menunjuk batu prasasti itu. Ternyata ada segerombolan laba-laba dengan satu pemimpinnya yang bongsor, tetapi lincah, segera sembunyi, hanya kaki depan dan sorot matanya nan tajam. Sesekali dia bermain di tengah batu, sambil menunggingkan ujung belakang sambil mengeluarkan serat-serat sutranya membuat suatu bentuk indah yang susah dimengerti mata umum.

Beberapa saat berlalu, berdua duduk dekat prasasti itu, suasana nyaman, sejuk terasa ayem untuk tidak sesegera meninggalkan tempat ini. Menurut Ki Bagus Sholeh, saat ditanya apa sebenarnya yang dapat ditangkap indra kita dengan olah dan polah kawanan laba-laba ini. Sambil menarik napas dalam-dalam Ki Bagus memaparkan kata hatinya. “Ya, akhirnya kedatangan kita ini disambut penghuni serta penjaga sendang ini dengan tari-tarian yang indah dan sakral oleh putrid-putri cantik Sendang Gede,” tuturnya kepada posmo.

“Sendang Gede Ngimbang ini penjagae putri Laba-laba nan cantik, ramah tur kalem sehingga keberadaan air selalu melimpah dan terjaga,” lanjut Ki Bagus Sholeh meyakinkan.

Sayang, Putri Laba-laba ini tak memperkenalkan namanya. Posmo pun tiba-tiba teringat Putri Laba-laba Enen yang suka mengganggu perjalanan biksu Tong yang dikawal oleh si kera sakti (Song Go Kong) dan Pat Kai. Penjaga Sendang ini rutin berpatroli di atas agar tak ada penebangan apalagi pembalakan liar orang-orang tak beradab, sehingga ketersediaan air di sendang ini selalu melimpah.

Sarana Pengobatan Kulit

Air Sendang Gede yang melimpah selain untuk keperluan hajat kehidupan masyarakat Desa Ngimbang dan sekitarnya juga punya fungsi lain. Nah, dari seberang timur berdua melihat ibu-ibu ditemani anak gadisnya merendam kakinya, sesekali anak gadisnya mulet, menggerakkan pinggangnya, sesekali bibirnya dikatupkan. Hal yang sama dilakukan oleh pak tua dua meter di baratnya, sesekali wajahnya menyeringai, sesekali menarik napas. Ada apa sebenarnya dengan orang-orang itu? Ada apa dengan sendang ini?

Ternyata sendang ini juga menyimpan sesuatu yang amat penting. Sesuatu yang amat berharga. Sesuatu yang luar biasa. Sendang Gede ini juga merupakan sarana terapi pengobatan penyakit kulit dengan memasukkan bagian tubuh yang kulitnya sakit, maka segera berdatangan puluhan ikan bermata putih jernih, nutul-nutul bakteri atau sesuatu sumber penyakit kulit itu, kalau burung mematuk dengan moncongnya.

Ki Bagus Sholeh pun mencoba memasukkan kedua kaki. Pelan, tetapi pasti berdatangan dan pergi lagi.. maklum belum terbiasa dan terasa geli ditutuli ikan ikan kecil. Terasa geli memang, tetapi karena ingin merasakan dan menikmati pengobatan ini, akhirnya menahan untuk tidak menggerakkan kaki ini, mengumpulkan puluhan ikan sambil menari-nari.

Menurut Mbok Sumi, setelah ini di rumah kaki yang gatal-gatal setelah diterapi di sini dioles dengan minyak klentik, atau minyak kelapa dari kopra. “Nggih waras (sembuh) Pak. Mboten usah dateng puskesmas utawi dokter agung,” katanya sambil permisi.

Mari kita jaga budaya dan kearifan lokal ini, agar sendang-sendang bermanfaat untuk manusia. Seyogyanya manusia pun seharusnya juga menjaga alam, merawat alam bukan sebaliknya merusaknya apalagi untuk kepentingan sesaat, kepentingan pribadi, maupun ada tendensi demi kepentingan rakyat banyak.***