Disimpan Wayang Potehi Berusia 150 Tahun

284 dibaca

Kota santri Jombang juga terdapat sebuah klenteng tua di kawasan Gudo. Yaitu Klenteng Hong San Kiong. Lokasi Klenteng Hong San Kiong di tepi jalan Raya Gudo, di antara pemukiman penduduk. Lokasinya di ujung jalan pada simpang pertigaan itu membuatnya sangat mudah dikenali. Berikut tulisan Cak Mus dari posmonews,com

puluhan patung dewa di Klenteng Hong San Kiong, Kecamatan Gudo, Jombang, dimandikan dengan air kembang. Para umat Tri Dharma berharap, saat datangnya Imlek membawa keberkahan.Satu per satu patung berjajar itu dikeluarkan. Termasuk patung dewa tertua di klenteng itu: Kong Cong Kong Tik Tjoeng Ong. Selanjutnya, pakaian yang membalut patung dilepas. Air yang bercampur kembang juga disiapkan.

Tahap akhir, patung itu dimandikan secara bergantian. Bau harum langsung tercium. Setelah semuanya beres, patung para dewa itu dikembalikan ke tempat semula. Selain patung, altar yang digunakan untuk sesembahan juga dibersihkan oleh pengikut Tri Dharma. “Memandikan patung dewa merupakan ritual tiap tahun menjelang datangnya Imlek,“ kata hari Purwanto pengurus klenteng.

Pada bagian depan klenteng terdapat pintu masuk dengan ornamen berbentuk burung garuda di sebelah kanan dan kiri. Di bagian bawah ornamen garuda itu terdapat aksara Cina. Klenteng ini banyak dikunjungi bukan saja oleh orang Tionghoa, tetapi juga non Tionghoa. Klenteng ini diperkirakan berdiri pada abad 17-dan merupakan klenteng tertua di Jombang. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 16,200 m2 dengan luas bangunan 3,500 m², merupakan simbol asimilasi antara warga pribumi dan pendatang etnis Tionghoa di Jombang.

“Klenteng tersebut merupakan tempat ibadah umat Tri Dharma di Desa Gudo, termasuk paling tua di Jombang, dibangun pada abad 17,” ujar Hari Purwanto, pengurus klenteng.

Di klenteng ini terdapat beberapa altar dewa yang disembah. Pertama, Kong Co Kong Tik Tjoen Ong altarnya terletak di tengah ruang depan. Lalu ada Dewa Bumi Kong Co Hong Tik Tjoen Sing di sebelah kiri. Tak jauh di sebelah kiri Dewa Bumi terdapat Dewa Langit Kong Co Hyang Tfian Sing Tee. Di sisi kanan terdapat altar Dewa Kebenaran Kwan Sing Tee Koen. Dan di bawah tempat peristirahatan rumah dewa terdapat kendaraan Kong Cu Kong Tik Tjoen Ong disebut Bing Hoe Ciang Koen.

Klenteng ini juga menyediakan fasilitas penyembuhan bagi masyarakat yang ingin berobat secara tradisi Cina. Menariknya, yang datang tidak hanya dari para pengikutnya, tetapi juga penganut agama lain termasuk kaum muslimin. Warga etnis Tionghoa di sekitar Klenteng Hong San Kiong ini juga ada yang piawai membuat barongsai. Salah satu kesenian asli warga keturunan Tionghoa.

Menariknya, setiap hari pukul 15.30 dan 19.00 WIB digelar pertunjukan wayang potehi. Bicara tentang kebangkitan kembali wayang potehi, tak bisa lepas dari keberadaan Klenteng Hong San Kiong di Gudo, Kabupaten Jombang. Tak sebatas di Jawa Timur, klenteng ini menjadi markas Paguyuban Wayang Potehi Fu He An ini, boleh jadi merupakan satu-satunya pusat pelestarian wayang potehi di Indonesia.

Ketua Klenteng Hong San Kiong, Toni Harsono, sekaligus Ketua Paguyuban Wayang Potehi Fu He An, merupakan tokoh pelestari di balik geliat wayang Potehi di Gudo. Toni adalah generasi ketiga seniman Potehi di Indonesia. Kakek Toni, Tok Su Kwie, adalah seorang sehu yang datang dari Negeri Tiongkok. Bersama Tan Hing Gie, salah seorang pemain musik yang setia mengiringinya. Mereka mendarat di pantai utara Pulau Jawa abad ke-19 dan menetap di Gudo hingga akhir hayatnya.

Melestarikan Tradisi

Tok Hong Kie, ayah Toni Harsono, menjadi penerus jejak sehu Tok Su Kwie melestarikan tradisi Potehi hingga masa-masa sulit ketika Pemerintah Orde Baru memberangus segala sesuatu yang berbau Tionghoa di paruh kedua tahun 1960-an. Meski menjadi keturunan langsung seniman Potehi, Toni Harsono justru tidak melanjutkan profesi sebagai seorang sehu, mengikuti wasiat sang ayah yang tidak menghendaki keturunannya untuk melanjutkan profesi ini.

Peninggalan sang kakek, kini menjadi salah satu koleksinya paling berharga, berupa puluhan wayang Potehi asli berusia tak kurang dari 150 tahun. Koleksi asli yang di negeri asalnya bahkan telah jarang dijumpai. Pengukir kayu andal sengaja didatangkan dari Jepara. Tak sebatas mengukir kepala boneka Potehi, mereka juga membuat duplikat properti dan dekorasi panggung yang sesuai dengan aslinya. Busana mini warna-warni yang menghiasi tubuh boneka Potehi diserahkan kepada tukang bordir dan penjahit khusus di Jombang dan Tulungagung.

Sementara itu Widodo, pemain, dalang, sekaligus pembuat wayang Potehi mengatakan kalau pertunjukan wayang Potehi di klenteng untuk sementara vakum. Lantaran banyak diantara pemainnya melakukan pementasan di luar. Dalam sekali pementasan biasanya membutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan 25 cerita. Untuk wayangnya sendiri sekitar 155 biji dengan beragam karakter masing-masing. “Dalang di sini umumnya justru bukan dari keturunan Tionghoa melainkan asli Jawa,” jelasnya. ***