Tri Tunggal II, Raja VII Karangasem

282 dibaca

I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti menurunkan 3 putera terkemuka, yaitu: I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Ketiga putera inilah yang menjadi Raja ke-7 Karangsem menggantikan kakeknya, I Gusti Anglurah Made Karang. Berikut akhir laporan Es Danar Pangeran dari posmonews.com

Salah satu putrinya I Gusti Nyoman Rai alias I Gusti Ayu Nyoman Dharma tidak menikah. Ia mengikuti jejak ayahnya bertapa di lereng Gunung Lempuyang. Tempat pertapaannya penuh dengan macam-macam kembang berbunga rancak. Tempat pertapaan tersebut kemudian bernama Pura Hyang Sari.

Pada masa pemerintahan tiga saudara ini, terjadi konsolidasi pemerintahan yang mantap. Wilayah kekuasaan menjadi berkembang, di Lombok, Buleleng, Jembrana, dan Taman Bali (Bangli). Beberapa punggawa ditempatkan di Selat, Bebandem, dan Rendang.

Peranan punggawa Selat, I Gusti Nengah Sebetan sangat berarti dalam perluasan kekuasan kerajaan Karangasem. Ia berhasil mengalahkan laskar dan membunuh I Gusti Anglurah Sidemen yang terkenal sakti. I Gusti Anglurah Sidemen sendiri pernah dikutuk oleh Ida Pedanda Pidada karena perbuatannya yang berani. Dalam pertempuran itu semua anggota laskar I Gusti Anglurah Sidemen dapat dibunuh, sehingga ia merasa sudah waktunya mrelina angga sarira, kemudian ia wafat.  Ia dibuatkan lubang kuburan, tetapi ketika hendak dikubur, mayatnya menghilang. Itulah sebabnya tempat itu diberi nama bang bang buwung (sekarang Bangbang Biaung).

Raja pada waktu itu banyak mengeluarkan paswara. Dalam mengeluarkan paswara raja meminta pertimbangan kepada 6 pendeta, yaitu 4 Pedanda Siwa, disebut Dyaksa Paksa, dan 2 Pedanda Buddha yang disebut Buddha Paksa. Pedanda Siwa itu adalah Ida Pedanda Wayan Wanasari, Ida Pedanda Ktut Jelantik, Ida Pedanda Made Anom, dan Ida Pedanda Wayan Sukahet. Pedanda Buddha adalah Ida Pedanda Made Jelantik dan Ida Pedanda Wayan Demung.

Paswara tersebut antara lain tentang larangan Gamya Gamana, yang dijadikan undang-undang (paswara) dengan nama Sarasamucaya Gama, diresmikan berlakunya pada Isaka 1723 (1801 M).

Setelah tua tiga sadara ini wafat. Mereka masing-masing wafat di tempat yang berbeda, yaitu:

I Gusti Anglurah Made Karangasem wafat di Pesaren Anyar Puri Ageng Amlapura, bergelar Dewata Pesaren Anyar.

I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem wafat di Bale Ukiran Subagan Amlapura, bergelar Dewata Bale Ukiran Subagan.

I Gusti Anglurah Ktut Karangasem wafat di Petandakan Puri Ageng Amlapura, bergelar Dewata Petandakan.

I Gusti Gde Karangasem, Raja VIII Karangasem 1801 – 1806 M

Setelah Raja Tri Tunggal II semuanya wafat, I Gusti Gde Karangasem menggantikan kedudukan mereka sebagai Raja ke-8 Karangasem. Pada jamannya wilayah kekuasaan semakin meluas. Setelah wafat ia bergelar Dewata Tohpati.

I Gusti Lanang Peguyangan, Raja IX Karangasem 1806 – 1827 M

Putera Dewata Tohpati, yang bernama I Gusti Lanang Peguyangan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja ke-9 Karangasem. I Gusti Lanang Karangasem nama lainnya. Ia sempat menyingkir meninggalkan istana sewaktu diserang oleh Raja Buleleng I Gusti Agung Pahang. Namun ia dapat merebut kembali kekuasaannya.

I Gusti Bagus Karang, Raja X Karangasem 1827 – 1840 M

Perkembangan selanjutnya, pemberontakan Punggawa  pada tahun 1827 M, menamatkan kekuasaan I Gusti Lanang Peguyangan. I Gusti Lanang Peguyangan melarikan diri ke Lombok. I Gusti Bagus Karang menempati tahta kerajaan sebagai Raja ke-10 Karangasem.

I Gusti Gde Cotong, Raja XI Karangasem 1840 – 1845 M

I Gusti Bagus Karang selanjutnya tewas dalam perang di Lombok. Pada waktu itu Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem berhasil menguasai Karangasem. Raja Buleleng ini menempatkan menantunya I Gusti Gde Cotong sebagai Raja ke-11 Karangasem.

I Gusti Ngurah Gde Karangasem, Raja XII Karangasem 1845 – 1849 M

Terjadi peristiwa perebutan kekuasaan. I Gusti Gde Cotong tewas dalam mempertahankan kedudukannya. Tahta kerajaan kemudian dilanjutkan oleh saudara sepupu Raja Buleleng, bernama I Gusti Ngurah Gde Karangasem, sebagai Raja ke-12 Karangasem.

Pada Tanggal 20 Mei 1849, sesudah Raja Buleleng beserta senepatinya gugur menyusul jatuhnya benteng induk Jagaraga, Raja Karangasem yang waktu itu sedang berada di desa Sesana (Bebandem), diserang oleh gerombolan yang pro Belanda hingga wafat. Ia kemudian bergelar Dewata Sesana. Seorang permasurinya yang berasal dari Puri Mengwi mengikuti jejak suaminya dengan melakukan satya patibrata di desa Jungsri, tidak jauh dari desa Bebandem. Dengan wafatnya Raja Karangasem ini, berarti seluruh kekuasaan kerajaan Karangasem menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia – Belanda.(habis)