Datangkan Arca dari Tiongkok

142 dibaca

Kelenteng Tjoe Tik Kiong merupakan kelenteng yang cukup tua dan menarik. keberadaannya. Berbagai macam keunikannya. Imigran Tiongkon yang membangun. Berikut ini hasil liputan Boy Cahya dari posmonews.com.

Kota Pasuruan merupakan salah satu kota pelabuhan tersebesar di Pantau Utara Jawa pada abad ke-17. Letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan, membuat banyak sekali pedagang asing yang datang dan menetap di Pasuruan. Salah satunya adalah etnis Tionghoa. Mereka datang sejak abad ke-17, dan kemudian meninggali sebuah kawasan yang disebut sebagai Kawasan Pecinan.

Penanda dari sejarah keberadaan kawasan Pecinan yang terdapat di Kota Pasuruan adalah adanya sebuah kelenteng yang diberi nama Kelenteng Tjoe Tik Kiong (Cide Gong). Kelenteng ini terletak di Jalan Lombok No. 7 Kelurahan Trajeng, Kecamatan Gadingrejo, Kota Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi kelenteng ini berada di sebelah barat Stasiun Pasuruan ± 500 meter.

“Kelenteng ini didirikan pada tahun 1740. Pembangunannya dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang menetap di Pasuruan, tetapi arca-arcanya didatangkan langsung dari Tiongkok pada tahun 1857,”ungkap Lan Sin salah satu pengurus kelenteng.

Bagi penganut Kong Hu Cu, Tjoe Tik Kiong bermakna istana yang mengamalkan dan menyebarkan rasa kasih sayang dan perbuatan kebajikan. Sehingga, kehadiran kelenteng ini pada awalnya diharapkan sebagai perekat persaudaraan di kalangan orang Tionghoa di Kota Pasuruan dan sekitarnya. Kelenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja, namun juga mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa di masa lampau.

Dilihat dari bangunannya, kelenteng menghadap Selatan ini tergolong besar dan megah karena didukung oleh halamannya yang cukup luas. Kelenteng ini sengaja dibangun di pertigaan jalan atau di tengah pertemuan antara jalan tegak lurus dari Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Lombok. Karena menurut kepercayaan orang Tionghoa bahwa lokasi bangunan yang disebut “tusuk sate’ berisi segala pengaruh buruk. Pengaruh buruk tersebut akan hilang dengan keberadaan kelenteng itu.

Sebelum memasuki halaman kelenteng, pengunjung akan melewati sebuah gapura yang khas dengan balutan dominan kuning dan merah. Gapura bercorak paduraksa ini banyak dihiasi dengan ornamen yang berkultur Tiongkok. Di atas pintu gapura tertulis nama klenteng tersebut beserta alamatnya, dan di atap paduraksa terdapat ornamen dua burung hong yang menghadap ke huo zhu, mutiara api atau bentuk bola api (mutiara Buddha).

Di belakang gapura terdapat panggung kecil berwarna merah dengan pelisir warna kuning. Panggung tersebut digunakan untuk pementasan wayang Potehi yang agendanya mengikuti hajatan umat kelenteng yang memintanya. Kisah dari wayang ini biasanya mengambil dari ceritera klasik Tiongkok. Panggung ini sengaja dibuat tidak terlalu besar dan sedikit ringan, agar supaya mudah dipindah-pindahkan jika kelenteng tersebut mempunyai acara yang memerlukan halamannya.

Setelah melewati panggung wayang Potehi, pengunjung bisa berjalan lurus ke utara menuju bangunan utama dari kelenteng tersebut. Namun, sebelum sampai ke bangunan utama, terlebih dahulu pengunjung akan menyaksikan dua patung berbentuk singa (hanzi) di depan pagar bangunan utama tersebut. Kemudian pengunjung baru melewati pintu gerbang yang berada di halaman bangunan utama tersebut. Pintu gerbang di halaman bangunan utama dihiasi oleh sepasang naga yang sedang berjalan (xin long) yang saling berhadapan. Menoleh ke kiri dan kanan, pengunjung akan menemukan menara seperti pagoda yang berfungsi sebagai tempat pembakaran kertas persembahyangan (Kim Lo).

Memasuki halaman depan yang ada di bangunan utama, pengunjung akan melihat kembali hanzi dengan wajah yang sedikit agak seram. Tepat di depan pintu bangunan utama terdapat hiolo (tempat menancapkan hio) yang terbuat dari kuningan. Di atas wuwungan, terlihat huo zhu yang diapit oleh dua xing long.

Di dalam bangunan utama klenteng ini terdapat beberapa altar untuk persembahyangan kepada Mak Co Bing Thian Sang Shen Mu, Hok Tek Cen Sin, dan Kong Tik Cun Ong. Sedangkan, di belakang ruang utama ada ruang pemujaan penganut Tri Dharma. Umat Buddha akan menuju ke altar yang ada patung Sakyamuni Buddha, umat Kong Hu Cu akan menuju ke altar yang ada arca Konfusius, dan penganut Tao akan menghampiri altar yang ada patung Lao Tze.

Sejarah

Orang China sudah ada di Pasuruan sejak abad ke-17. Kelenteng Tjoe Tik Kiong sebagai tempat ibadah orang China di Pasuruan diperkirakan sudah ada pada sejak abad ke 17. Tombe, pengelana bangsa Perancis yang pernah mengunjungi komunitas China di Pasuruan pada th. 1803, memperkirakan penduduk China yang hidup berkelompok waktu itu merupakan sepertiga dari penduduk Pasuruan.

Selama abad ke-19, di Hindia Belanda berlaku undang-undang yang dinamakan Wijkenstelsel. Undang-undang kolonial ini pada dasarnya memisahkan hunian kelompok etnis yang hidup di kota-kota selama abad ke-19. Orang China yang sebelumnya memang banyak yang hidup secara berkelompok di kota-kota di Jawa mendiami sebuah satuan hunian yang biasa disebut sebagai Pecinan.

Pada akhir abad ke-19, penerapan undang-undang wijkenstelsel sudah agak longgar sehingga banyak orang China membangun rumah di luar daerah Pecinan yang semakin padat. Bangunan-bangunan China baru pada akhir abad ke-19 banyak terdapat di sekitar jalan Raya (sekarang Jl. Sukarno Hatta), Jl. Hasanudin, dan daerah sekitarnya di Pasuruan. Pengamatan ini diperkuat dengan adanya Kelenteng Tjoe Tik Kiong di daerah sana.

Apalagi pada zaman Bung Karno berkuasa mendapat anbgin segar. kehidupan semakin bebas. karena Indonesia menerapkan sistem politik luar negeri Jakarta Peking. Tapi setelah Soeharto berkuasa tidak banyak berbuat apa-apa. Karena dilarang beraktifitas. Kelenteng dibatasi kegiatannya. Namun setelah Presiden Gus Dur berkuasa diperbolehkan mengadakan aktfitas hingga sekarang. ***