“Tawuran” Sesaji Simbol Tolak Balak

183 dibaca

KONON saat suatu wilayah yang sedang diserang wabah pagebluk maka biasanya pada malam harinya warga sering melihat keranda mayat berjalan sendiri serta bau minyak wangi orang mati. Keranda mayat itu akan mendatangi rumah calon korban di tengah malam. Masyarakat Jawa kuno mempercayai bahwa pagebluk ini akibat ulah Batara Kala atau dewa maut jahat. Dia menebarkan penyakit ke manusia yang berakibat kematian masal secara berkelanjutan.

Pagebluk ini bisa dicegah dengan cara melakukan ritual selamatan “tulak balak” yang artinya menolak sengkala atau penyakit. Atau bisa juga di cegah dengan cara “melekan” alias tidak tidur sebelum lewat tengah malam. Nah salah satu ritual yang diyakini sebagai penangkal pagebluk itu adalah Ritual Dukutan.

Lalu mengapa sebuah wilayah terkena serangan pagebluk? Tersiar kabar bahwa dalam suatu waktu warga   telah melanggar aturan leluhur.  Dukutan adalah sebuah ritual yang dilakukan setiap wuku dukut. Yang dinamakan wuku sendiri adalah sebutan minggu dalam sistem penanggalan Jawa. Dalam satu tahun memiliki 30 wuku dan setiap wuku ini memiliki karakter sendiri-sendiri. Jika dilihat dalam sistem penanggalan Jawa ritual dukutan ini dilakukan setiap tujuh bulan sekali. Selain dilakukan pada wuku dukut acara ini selalu dilakukan pada hari selasa kliwon pada wuku yang sama.

Tradisi Dukutan ini dipercaya telah dilaksanakan selama ratusan tahun. Masyarakat yang sampai detik ini masih melakukan tradisi dukutan ini adalah masyarakat yang bermukim di kawasan Nglurah, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Di kawasan yang berada di lereng Gunung Lawu inilah ritual Dukutan diadakan.

Acara dukutan sendiri selain digunakan oleh masyarakat sebagai perwujudan rasa syukur dan sebagai wujud permohonan perlindungan kepada Tuhan. Juga digunakan sebagai sebuah penghormatan kepada sosok yang oleh masyarakat Nglurah disebut Eyang Menggung. Tentang siapa sosok Eyang Menggung ini memiliki beragam versi. Namun, yang paling banyak dipercaya oleh masyarakat sekitar Eyang Menggung ini adalah salah satu abdi dari Prabu Airlangga yang paling setia. Eyang Menggung inilah sosok yang selalu menyertai Prabu Airlangga saat berada di pelarian.

Bila dilihat dari sesaji dan ubarampe yang digunakan ada keunikan tersendiri dan sulit ditemukan dalam upacara lain. Hampir seluruh piranti ubarampe dan sesaji yang digunakan dalam tradisi dukutan ini terbuat dari jagung. Selain itu dalam sesaji yang digunakan tidaklah ditemukan piranti yang dibuat dengan menggunakan sesuatu yang bernyawa. Ayam ingkung yang biasanya selalu ditemukan dalam setiap sesaji tidak ditemukan dalam ubarampe yang digunakan dalam tradisi dukutan ini. Keberadaan ayam ingkung diganti dengan tempe yang ditusuk dan dibakar.

Penangkal Pagebluk

Tradisi dukutan kembali digelar pada selasa (10/1) yang lalu. Sekitar pukul enam pagi ratusan warga sekitar nglurah sudah memadati situs menggung. Mereka menunggu jodang yang berisi sesaji dan ubarampe dipasrahkan oleh tetua desa setempat. Pasrah sesaji di sore itu adalah satu dari sebagian prosesi tradisi dukutan itu sendiri. Sebelum dipasrahkan, pada hari sebelumnya sesaji dan ubarampe itu telah disanggarkan di sebuah bale yang berada tidak jauh dari lokasi pelaksanaan tradisi dukutan. Saat disanggarkan ini sesaji dan ubarampe disimpan dengan cara dipisahkan menjadi dua bagian, yakni sesaji utama dan sesaji pendamping. Antara sesaji dan ubarampe yang utama dengan yang pendamping memang tidak terlalu banyak perbedaan.

Untuk sesaji dan ubarampe utama disimpan di sebuah ruang khusus yang dinamakan tinon. Sedang untuk sesaji dan ubarampe pendamping diletakkan di luar dari tinon. Sesaji dan ubarampe dalam tinon tidak boleh ada yang mengambil. Dan bahkan tidak ada yang boleh yang mendekatinya. Sebab, apabila dilakukan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ruangan yang dinamakan tinon pun terbagi menjadi dua yakni tinon jaler dan tinon estri.

Semua sesaji dan ubarampe baik yang utama maupun pendamping harus sudah dikumpulkan oleh warga pada hari Senin sore, sebelum magrib. Setelah semua terkumpul, pada malamnya beberapa orang akan ngeleki semua sesaji tersebut. Dan barulah pada pagi harinya, yakni Selasa pagi semua sesaji itu akan dibawa ke lokasi pelaksanaan untuk dipasrahkan oleh seorang tetua desa.

Mengenai jenis-jenis dari sesaji dan ubarampe yang digunakan dalam tradisi dukutan ini antara lain adalah tumpeng jagung, gandik, pisang, berbagai pala pendhem (umbi-umbian), jajanan pasar, pisang rebus, tempe bakar dan sayuran jantung pisang. Semua sesaji dan ubarampe setelah diujubkan akan digunakan untuk ‘tawuran’oleh sejumlah pemuda yang telah ditunjuk.

Tumpeng jagung dimaksud adalah sebuah tumpeng yang dibuat dengan menggunakan nasi jagung. Sedangkan gandik adalah sebuah jajanan tradisional yang dibuat dengan menggunakan jagung dan sejumlah bahan lainnya. Tempe bakar yang digunakan dalam tradisi dukutan ini merupkan pengganti dari ayam ingkung. Uniknya dalam pembuatan sesaji dan ubarampe ini para pembuatnya tidak diperbolehkan untuk mencicipi bagaiamana rasa masakan yang dibuatnya.

“Dalam sesaji dan ubarampe yang digunakan memang tidak diperkenankan menggunakan beras dan sesuatu yang memiliki nyawa, seperti ayam contohnya. Di sisi lain saat memasak sesaji dan ubarampe tersebut pembuatnya tidak diperkenankan untuk mencicipinya. Pembuatan sesaji ini sendiri juga melalui proses panjang. Proses pembuatan sudah dimulai semenjak hari jum’at dan harus selesai pada senin siang,” ujar mbah Ridin, salah satu tetua desa setempat.

Untuk ‘tawuran’ yang dilaksanakan di sekitaran situs menggung terbilang lebih tertata. Sebelum ‘tawuran’ secara terbuka, para pemuda terlebih dahulu melempar-lemparkan sesaji kepada warga yang ada hadir sembari memutari situs menggung. Setelah selesai memutari barulah ‘tawuran’ terbuka dilaksanakan. Setelah dirasa cukup arena ‘tawuran’ dipindahkan ke sebuah tempat yang dinamakan Punden Kali Jero. Di sini sebelum ‘tawuran’ dimulai tetua desa kembali mengujubkan sesaji yang digunakan. Setelah diujubkan ‘tawuran’ pun segera dilakukan. Tumpeng nasi jagung yang telah diremas dan dicampur dengan ubarampe lain pun berubah menjadi senjata bagi mereka yang tawuran. Gandik yang telah sedikit mengeras merupakan ‘senjata’ yang paling disukai karena gampang untuk melemparkannya.

Mbah Ridin mengisahkan pernah terjadi suatu pagebluk yang mengerikan di daerah Nglurah. Pagebluk ini terjadi kisaran tahun 1980-an. Terjadinya pagebluk ini tidak terlepas dari keinginan warga untuk mengubah bahan baku pembuat ubarampe yang semula terbuat dari jagung diganti dengan beras. Karena adanya perubahan tata cara itulah sebuah pagebluk mengerikan terjadi.

“Pagebluk itu wujudnya seperti sakit. Mereka yang terkena pagebluk itu akan sakit pada sore hari dan mati pada pagi harinya. Begitu pula apabila sakitnya pagi hari, sorenya akan mati. Sejak pagebluk terjadi di desa Nglurah, warga desa tidak berani merubah tatanan apalagi meniadakan tradisi dukutan,” pungkas Mbah Ridin. ***