Dalam wedaran kesempurnaan, rupanya ada yang tidak memahami apa yang disebut sempurna. Sehingga beranggapan bahwa yang bisa baik dan buruk, itulah sempurna.
Ketika berlian memedar kaweruh bab kesempurnaan kepada para batu akik, mirah atau batu permata, dengan mengambil Kaca Benggala sebagai simbol, ada lembaran besi berbentuk empat persegi panjang, berwarna hitam, tergugah hatinya. Lempengan besi itu biasa dijadikan ikat cincin (emban). Besi itu ingin lebih sempurna, lebih bagus, lebih indah daripada mirah atau batu yang diikatnya (mata cincin).
Maka, muncullah pemikiran lembaran besi: Oleh karena yang disebut rupa yang sempurna adalah yang bisa memuat segala rupa, memuat yang jelek, yang baik, seperti kaca benggala yang bisa keruh bagaikan batu dan hitam bagaikan arang, dan bisa berkelip seperti berlian, bersinar terang seperti matahari, dan bening seperti air, berarti sempurna itu tidak hanya baik. Jika demikian segala ujud yang hanya bisa baik saja, tidak bisa baik dan buruk, itu belum sempurna kebaikannya.
Berlian memang benar bisa berkedip-kedip, dan memancarkan cahaya aneka rupa, namun karena tidak bisa menjadi jelek seperti batu, dan tidak bisa hitam seperti arang, maka belum disebut sempurna seperti kesempurnaan kaca benggala. Dikarenakan yang bisa diperbuat hanya satu macam yaitu baik saja.
Lebih jauh lempengan besi melamun bahwa manusia juga demikian. Barang siapa yang hanya menyukai yang baik saja, dan menolak keburukan, tidak akan bisa sempurna. Sedangkan yang disebut sempurna adalah: “Ah, sekarang saya mengerti, yang disebut sempurna adalah lengkap, ada baiknya dan ada jeleknya. Oleh karena saya diperbolehkan mencari kesempurnaan, maka saya harus mencari agar bisa menguasai buruk dan baik, tidak hanya baiknya,” guman lempengan besi.
Lempengan besi kemudian menggosok sebagian badannya hingga mengkilat. Barang kali bisa seperti berlian. Sebagian dilumuri pewarna kuning mamas sehingga mengkilat seperti emas. Sebagian tubuhnya dilumuri tinta hitam untuk memperoleh bagian jeleknya. Sebagian digosok dengan batu apung sehingga keruh.
Kini lempengan besi itu rupanya sudah beraneka warna. Dalam hatinya berkata, “Barang kali seperti ini yang dinamakan rupa yang sempurna itu. Sudah mirip dengan Kaca Benggala,” bisiknya. Padahal, ia sama sekali belum pernah melihat kaca benggala.
Setelah rupanya beraneka warna, ada kuning, ada buruk, keruk, hitam, dan sebagainya, lempengan besi itu berlagak sombong. Berlian mengetahui hal itu. Sehingga diberi nasihat. “Wahai lembaran besi, kamu ingin menggapai kesempurnaan itu hakmu, hanya jalannya harus benar, jangan sampai salah. Ketahuilah, walaupun kesempurnaan itu menguasai yang buruk dan yang baik, tetapi jalan menuju kesempurnaan itu bukan kebaikan yang dicampur dengan keburukan. Itu salah. Malahan jadinya nanti justru buruk. Harus dengan kebaikan saja, janganlah kau gosok lagi menggunakan arang, teruskan saja menggosoknya dengan tekun, jangan ragu-ragu, hanya satu wujud cita-citamu, yaitu: Mengkilap, tidak usah dicari yang merah, hijau, hitam, dan sejenisnya. Dan janganlah kau berusaha agar mirip seperti batu, dan lain sebagainya. Jika kau lakukan dengan tekun dalam menggosoknya, pastilah dirimu akan sangat mengkilap, semakin mengkilap semakin bercahaya, yang pada akhirnya akan bisa digunakan untuk becermin. Jika sudah seperti cermin, dan hitamnya telah hilang, tentulah akan bisa seperti kupu, bisa seperti mirah, bisa seperti batu, dan bisa bercahaya seperti matahari,” papar berlian.
“Bahwa tingginya cahayamu, itu tergantung kepada mengkilapnya dirimu. Sedangkan engkau bisa menguasai warna, itu tergantung terhapusnya watak dirimu yang hitam. Dan lagi, kau jangan salah terima, kata menguasai keburukan itu tidak berarti memiliki sifat buruk. Memiliki sifat buruk itu bersifat buruk. Menguasai keburukan itu sebenarnya tidak memiliki sifat buruk, bagaikan Kaca Benggala yang terpisah dengan hitam,” sambung berlian. (bersambung)
Cak Yon Ngariono