MENJADI HAMBA ISTIMEWA

167 dibaca

“Ayo kita bahas kembali pengajian semalam. Saya nggak faham-faham, Di…” kata Kang Soleh setelah membacakan wacana yang diungkap Kiai Mursyid di Raudhoh.

Dulkamdi dan Pardi kaget setengah mati. Hampir saja mereka terjerembab di antara tempat duduk kursi panjang di kedai Cak San. Biasanya Kang Soleh jadi rujukan, malah sekarang ingin bertanya kepada mereka berdua.

“Sampean jangan bikin teka-teki atau menguji Kang…”

“Lho, yakin saya nggak mudheng.”

“Yang nggak jelas yang mana?” tanya Pardi seperti seorang guru kepada muridnya.

“Semua, Di?”

“Hehehe…. Gampang Kang. Kanjeng Nabi paling hebat, paling Nabi dan paling Rasul, paling dicinta dan paling segalanya. Namun, coba, beliau ini kok paling manusiawi ya, di antara para Nabi….”

Kang Soleh memandang Pardi dengan pelothotan mata yang tajam. Begitu lama ia memandangi Pardi. Lalu dipeluknya pardi erat-erat.

“Wah… wah… wis podho edan kabeh. Kalau mau jadzab jangan di sini Kang….”

Tiba-tiba tubuh Kang Soleh sudah lunglai, dan pingsan.

Pardi dan Dulkamdi cepat-cepat menolongnya. Mereka baringkan tubuh Kang Soleh di atas kursi panjang. Dan mereka ambil kipas dan air hangat untuk diusapkan ke jidat Kang Soleh yang kelihatan pucat.

Setelah siuman pelan-pelan Kang Soleh duduk. Wajahnya sedikit memerah. Ia ambil secangkir kopi hangat untuk diminum. Ia bergumam:

“Rahasia keistimewaan adalah makrifat dan kewalian. Sedangkan sifat-sifat manusiawi itu adalah wujud kehambaannya, berupa sifat fakir, hina, lemah, dan tak berdaya di hadapan Allah Ta’ala, sebagai wujud atas pandangannya terhadap Sifat Maha Cukup-Nya, Maha Mulia-Nya, Maha Kuat-Nya dan Maha Kuasa-Nya, yang tersembunyi dalam batin hamba.

Maka dengan munculnya sifat manusiawi itulah tertututp rahasia keistimewaannya, sehingga sifat makrifat dan kewaliannya tidak bisa terlihat. Karena yang ada hanyalah Sifat Keagungan Rububiyah yang memancar pada sifat-sifat kehambaan itu.

Karena itu, perwujudan keistemewaannya maujud dalam sifat Ubudiyah, dan perwujudan hakikat ubudiyah adalah meninggalkan segala hal selain Allah Ta’ala.”

“Nah, tuh, dari mana sampean dapat ilmu itu Kang?”

“Tadi saya seperti mimpi ditemui seorang Syeikh Sufi. Sekilas seperti Syeikh Zarruq dari Marokko, beliau tersenyum lalu bicara seperti itu.”

“Maknanya, atau uraiannya gimana sih Kang?”

“Ya, yang saya sebutkan tadi adalah kondisi jiwa. Banyak orang mengaku sebagai hamba Allah, tetapi praktiknya malah menandingi Allah. Banyak orang menghadap Allah, tetapi menghadap dengan gengsi dan egonya, mana mungkin diterima Allah?”

“Iya ya Kang. Masak menghadirkan sifat hina, fakir, lemah, dan tak berdaya di depan Allah kok masih ada gengsi dan nimbang-nimbang…. Oalaaah, dunia memang sudah kacau…!” teriak Dulkamdi.

“Lho… lho…. lho… Dul! Jangan ikut-ikutan semaput Dul!”

Tiga orang itu tertawa-tawa.

Dan, rupanya para pengedai sudah nimbrung cukup lama, penuh sesak di kedai Cak San.

“Lhah, aku kira orang yang istimewa di depan Allah itu orang yang sakti mandraguna, orang yang bisa pergi ke Makkah sekejap, dan orang yang bisa terbang dan jalan di atas air, bahkan bisa pergi ke bulan dalam sekejap mata…. Haa… ha… haaa… ternyata yang hebat itu malah manusiawi, dan biasa-biasa saja… Dunia… dunia… semakin mirng…,” ujar seorang pelanggan kedai, sambil geleng-geleng kepala.

  1. Luqman Hakim , MA

Jakarta Sufi Center