Terkait dengan Babad Karangasem

243 dibaca

Gunung Lempuyang di sebelah Timur Laut kota Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang, yang berarti ‘Gunung Karang’. Pandita Agnijaya datang ke Bali tahun 1150 M mengemban bhisamaGumawyeana dharma rikang Adri Karang  maka kerahayuaning jagat Bangsul. Berikut kelanjutan laporan Es Danar Pangeran dari posmonews.com.

Bhisama di atas termuat dalam prasasti Sading C yang terdapat di Griya Mandara, Munggu Badung. Pandita Agnijaya kemudian membuat tempat suci di puncak Gunung Lempuyang yang sekarang bernama Pura Luhur Lempuyang, sebagai tempat bersemadi. Tempat bersemadi ini disebut Karang Semadhi. Dari kata ‘Karang Semadhi’ inilah yang menjadi ‘Karangasem’.  Sementara itu kata Lempuyang berasal dari kata lampu + hyang. Kata lampu berarti ‘terpilih’, ‘disukai’, dan hyang berarti ‘dewa’. Jadi Lempuyang berarti tempat suci yang dipilih atau disukai oleh para dewa.

Sedangkan nama Amlapura tidak ada prasasti yang menyebutkan kata itu. Kemungkinan kata Amlapura tercipta pada jaman Dalem Watur Enggong di Gelgel (1480 – 1550 M), karena pada masa itu merupakan masa keemasan di mana seluruh Bali merupakan kesatuan yang bulat di bawah Gelgel. Sejak masa itu kesusastraan Bali berkembang pesat, banyak pengarang/pujangga/sastrawan bermunculan. Kerajaan Samprangan disebut Linggarsapura, kerajaan Gelgel disebut Swecapura, Klungkung disebut Smarapura, Badung dengan Bandanapura, dan Mengwi dengan Monghopura atau Kawyapura. Kata ‘amlapura’ secara resmi ditetapkan sebagai Ibukota Daerah Kabupaten Karangasem oleh Bupati Karangasem Anak Agung Gde Karang.

Dhalem Waturenggong wafat pada tahun Isaka 1472 (1550 M), dinyatakan dalam candrasengkala: sapengerenga sang pandita muang catur jadma. Ia digantikan oleh putera sulungnya Ida I Dewa Pemahyun dengan abhiseka Dhalem Pemahyun. Dhalem Pemahyun tidak mempunyai putera sehingga diberi abhiseka Dhalem Bekung. Dhalem Bekung memerintah dalam usia yang terlalu muda, sehingga urusan sehari-hari kerajaan dilaksanakan oleh patih agung Kyai Batanjeruk. Di kalangan istana muncul intrik-intrik yang mengetahui gelagat Kyai Batanjeruk akan merebut kekuasaan.

Kyai Batanjeruk bersama I Dewa Anggungan, Kryan Tohjiwa, dan Kryan Pandhe Basa memberontak dan menyandera Dhalem Bekung dan adiknya Ida I Dewa Anom Segening dengan abhiseka Dhalem Segening. Kyai Kebon Tubuh dan I Dewa Gedong Artha dibantu oleh laskar Kryan Manginte dari desa Kapal. Terjadi pertempuran yang hebat di depan istana. Kyai Kebon Tubuh berhasil menerobos masuk istana menyelamatkan Dhalem Bekung dan Dhalem Segening. Dalam keadaan terdesak Kryan Pandhe Basa menghancurkan gerbang istana, tetapi ia akhirnya diampuni berkat warang-nya Ki Lurah Sidhemen. Kryan Tohjiwa dibunuh oleh Kryan Manginte. Sedangkan I Dewa Anggungan menyerah minta ampun. Ia diampuni dengan disurutkan derajat wangsa-nya.

Kyai Batanjeruk lari berusaha menyelamatkan diri dari istana bersama isteri, saudara-saudaranya dan seorang anak angkat, yang bernama I Gusti Oka, putera dari I Gusti Bebengan (adik Kyai Batanjeruk). Mereka terkejar sampai di desa Jungutan (sekarang Bungaya). Di desa ini patih agung Kyai Batanjeruk dibunuh oleh Kryan Manginte dengan tombaknya yang bernama Ki Baru Gudug. Hari wafatnya ditandai dengan candrasengkala brahamana nyarita wang ana wani, yang berarti pada Isaka 1478 (1556 M).

Dewa Karangamla, Raja I Karangasem

Janda Kyai Batanjeruk dan anak angkatnya I Gusti Oka, beserta saudaranya berhasil menyelamatkan diri. Mereka terlunta-lunta hingga sampai di desa Budakeling, berjumpa dengan Danghyang Astapaka.. I Gusti Oka akhirnya berguru kepada Danghyang Astapaka, yang mempunyai pesraman di Bukit Mangun, di desa Toya Anyar.

Janda Kyai Batanjeruk ini kemudian dinikahi oleh I Dewa Karangamla, Raja pertama Karangasem yang berkedudukan di desa Selegumi (Balepunduk). Waktu itu Karangasem  masih merupakan bagian dari Kerajaan Gelgel. Atas nasihat  Danghyang Astapaka,  I Dewa Karangamla menerima I Gusti Oka sebagai anak angkat. (bersambung)