Syekh Mutamakkin merupakan seorang wali hidup zaman penjajahan Belanda. Ia menetap di wilayah Kajen, Pati, Jawa Tengah. Hingga kini makamnya banyak dikunjungi masyarakat dan peninggalannya masih dapat dilihat dan terawatt dengan baik. Berikut laporan Husnu Mufid dari posmonews.com
Syekh al-Mutamakkin merupakan ulama besar yang cukup disegani pada abad ke-17 M, baik oleh kalangan ulama maupun keraton Surokarto Hadiningrat. Mengingat ilmunya tinggi dan masih memiliki keturunan dari Sultan Hadiwijoyo dari kerajaan Pajang. Ia merupakan putra Pangeran Benowo II. Dia dikenal ulama yang diberi banyak karomah oleh Allah. Dia mampu berbicara dan bersahabat dengan jin. Juga punya ratusan santri dari kalangan jin dan manusia dipondok pesantren yang diasuhnya.
Dalam keseharian hidupnya sangat sederhana. Layaknya para tokoh sufi di Timur Tengah. Khususnya sufi yang beraliran falsafi. Yaitu yang lebih mengedepankan pemikiran ruhani. Boleh dibilang sebagai penerus ajaran Al-Farabi, Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Tapi, ada keanehan dan bukan kebiasaan dari para ulama. Yaitu Syekh Mutamakkin memelihara dua anjing. Kedua anjing tersebut diberi nama sama persis dengan pejabat kerajaan di desanya. Hal inilah yang menjadikan pejabat setempat tersinggung dan menuntut balas.
Tapi bagi Syekh Mutamakkin pemberian nama pada anjingnya itu merupakan sindiran akibat ketidakpusan terhadap pejabat yang tidak memiliki kepedulian kepada masyarakat dan lebih membela Belanda sebagai bangsa kafir. Hal ini kontan membuat para pejabat kerajaan yang pro Belanda. Juga masyarakat awam agama Islam bingung dan menjadi bahan pembicaraan. Karena Syekh Mutamakkin memelihara anjing. Padahal didalam al-Qur’an anjing itu diharamkan.
“Kok ada ulama memelihara anjing? Padahal, anjing itu diharamkan dalam agama Islam. Begitu pula dengan pejabat yang namanya sama dengan anjing Syekh Mutamakkin, menjadi marah besar,”ungkap Prof Dr. Ali Mufrodi, MA, Guru Besar UINSA Surabaya.
Para pejabat setempat tidak berani menyampaikan pendapatnya. Karena kedudukan Syekh Mutamakkin cukup tinggi dikalangan masyarakat Karena sang ulama masih seorang keturunan raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Kecuali ulama yang berasal dari Kudus berani menantang hingga dipangadilan kerajaan.
Pada suatu hari, yaitu tepatnya Hari Raya Idhul Adha kurang satu bulan, Syeh al-Mutamakkin ingin pergi haji ke Makkah. Namun tidak memiliki waktu yang panjang. Jika harus naik kapal laut, maka jalan satu satunya adalah dengan menggunakan jin agar cepat sampai. Niatan itu terkabul. Salah satu jin dari sekian ratus muridnya menyatakan bersedia mengantarkan pulang pergi dari Tuban sampai ke Makkah.
Berangkatlah Syekh al-Mutamakkin ke punggung jin itu hingga ke negeri Makkah untuk menunaikan ibadah haji selama beberapa hari. Di Makkah dia dapat melaksanakan ibadah dengan baik, tanpa dibebani pikiran pulangnya nanti harus naik kendaraan apa. Karena sudah ada yang mengantarkan.
Desa Cebolek
Setelah ibadah hajinya selesai, pulanglah Syekh al-Mutamakkin menuju Tuban di kota kelahirannya melalui laut. Tapi sayang, di tengah laut dia diceburkan oleh jin itu. Syekh al-Mutamakkin tidak bisa berbuat apa-apa dan menyadari kalau sifat jin itu lebih buruk daripada manusia. Di tengah lautan, muncullah ikan Meladang. Semula, ia mengira akan dimakan, ternyata malah ditolong. Bahkan, diantarkan di tepi pantai Kajen, Pati, Jateng. Akhirnya, selamatlah dia dari ganasnya ombak laut.
Di pinggir pantai itulah cucu Joko Tingkir ini menetap sementara. Untuk memenuhi kebutuhan minum, wudhu dan mandi, ia membuat kubangan air yang sekarang menjadi sumur. Selang beberapa bulan pindah ke Desa Bulu Manis, Kec. Margoyoso, Pati dan membuat kubangan untuk keperluan salat. Sekarang telah berubah menjadi sumur dengan nama Sumur KH Mutamakkin. Setelah tinggal beberapa tahun di Bulu Manis, Syekh al-Mutamakkin pindah di Desa Cebolek untuk mendirikan sebuah pesantren. Tapi tidak lama sumur itu ditinggalkan. Ia pindah ke Desa Kajen karena diambil menantu oleh Mbah KH Samsudin.
Di tempat yang baru ini, Syekh al Mutamakkin sering melakukan zikir dan menyendiri pada waktu tertentu. Tapi tidak bersikap feodal. Sikap ramah dan zuhud nampak dalam keseharian. Tiap tamu diterima dengan baik. Tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin. Begitu pula dengan santrinya. Semua diajarkan dengan ilmu yang sama. Para santri yang belajar merasa senang. Karena menganggap gurunya memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tiap tahun ratusan santri berdatangan dari berbagai daerah tanah Jawa untuk menuntut ilmu tasawuf darinya.
Ketinggian ilmu inilah yang membuat namanya semakin terkenal di kalangan rakyat dan Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia dianggap sebagai ulama tasawuf yang bijaksana. Namun, di balik itu ada sejumlah ulama yang menilai ajaran yang disampaikan Syekh al-Mutamakkin itu sesat. Hingga tokoh ini disidangkan. Tapi, dalam persidangan itu berakhir dengan kemenangan Syekh al-Mutamakkin. Disimpulkan jika ajarannya tidak menyesatkan.***