Sekolah Tatap Muka dan Kesan “Lempar Handuk” Pusat ke Daerah

231 dibaca

Kemendikbudristek berencana untuk tetap menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) yang berada di luar wilayah berstatus zona merah COVID-19 Juli 2021 nanti.

Kebijakan ditempuh di tengah peningkatan kasus COVID-19 yang sedang melonjak naik dalam beberapa waktu terakhir. Upaya tersebut disorot banyak pihak.

Pemerintah dinilai masih sangat layak untuk menunda penyelenggaraan PTM lantaran kondisi pandemi sedang tak kondusif. Belum lagi, zonasi per wilayah dianggap tak dapat menjadi satu-satunya acuan dalam menyelenggarakan PTM.

Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menilai bahwa penetapan status per zona tak dapat menggambarkan keadaan wabah pandemi COVID-19 di masing-masing daerah tersebut dengan akurat. Kata dia, banyak faktor lain yang ternyata luput dari penilaian.

“Masalah zonasi ini juga harus dilihat betul, dalam aspek pelaksanaan di lapangan. Apakah betul merujuk pada indikator kesehatan yang benar,” kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (22/6).

Dia menjelaskan, misalnya wilayah dengan zona hijau namun tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Hal tersebut tentu berbahaya jika melakukan kegiatan-kegiatan secara tatap muka di tengah pandemi.

Dicky juga mengingatkan pengawasan terhadap prokes secara menyeluruh di sekolah-sekolah nantinya akan sangat dinamis dan menyulitkan. Sehingga, hal tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebelum resmi membuka sekolah.

“Harus betul-betul juga mempertimbangkan bagaimana kesiapan di sekolah itu sendiri,” ucap dia.

Dia menilai bahwa jaring pengaman terhadap anak-anak harus betul-betul dipastikan terlaksana apabila memang sekolah hendak dibuka. Salah satunya, dengan memastikan vaksinasi bagi orang dewasa tersebut sudah terlaksana.

“Adanya potensi sekolah menjadi sebuah penyebaran memang bisa. tetapi terutama yang menyebarkan adalah dari orang dewasanya, guru dan staf sekolah. Jadi oleh karena itu, jaring-jaring pengaman harus siap,” jelasnya.

“Karena potensi klaster sekolah tentu ada,” tambahnya.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah turut sependapat apabila penyelenggaraan PTM ditunda. Menurutnya, perlu ketegasan pemerintah pusat untuk mengambil sikap.

“Harusnya pemerintah pusat yang tegas. Saat ini kan sedang menangani pandemi, kan ada penetapan darurat kesehatan, termasuk penetapan COVID sebagai bencana non-alam. Kan itu pemerintah pusat yang menetapkan,” ucap Trubus.

Menurutnya, lebih baik menunda pemberian opsi PTM terbatas itu daripada menyerahkan penilaian evaluasi terhadap masing-masing pemerintah daerah sehingga dapat menghentikan PTM sewaktu-waktu apabila terdapat kasus COVID-19 di sekolah.

“Itu ada kesan melempar handuk kepada pemerintah daerah, pemerintah enggak mau ada risiko dia enggak mau disalahkan,” tambah pengacara di Universitas Trisakti ini.

Trubus mengatakan, keadaan pandemi di masing-masing daerah berbeda-beda. Hanya saja, penularan virus COVID-19 ini dapat terjadi di setiap segala tempat.
Trubus mewanti-wanti, telah banyak contoh kasus kebijakan sebelumnya di berbagai sektor yang justru malah membuat peningkatan kasus COVID-19 makin melonjak. Trubus meminta agar pemerintah membuat kebijakan dengan cakupan yang komprehensif sehingga produk kebijakan yang diciptakan tak hanya sekedar untuk menutupi akibat yang telah terjadi.

“Jadi dalam arti bahwa setiap kebijakan yang dibuat itu sifatnya seperti pemadam kebakaran. Cenderung asal dibuat dan ada kecenderungan supaya pemerintah tidak disalahkan,” ucap dia.

Sebelumnya, panduan PTM terbatas di PAUD, pendidikan dasar dan menengah yang dikeluarkan Kemendikbudristek menegaskan sekolah yang sudah rampung vaksinasi harus melakukan PTM terbatas paling lambat Tahun Ajaran 2021/2022.

Jika sekolah belum dapat memenuhi ketentuan tersebut, pembelajaran di satuan pendidikan masih diperbolehkan mengikuti SKB 4 Menteri yang diterbitkan pada 30 Maret 2021 terkait Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19.**(cnn/ary)