Syarat Belajar Tatap Muka di Zona Hijau dan Kuning

189 dibaca

Tim Komunikasi Publik Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 membeberkan persyaratan untuk dapat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka di daerah zona hijau dan kuning. Ada empat persyaratan yang harus dipenuhi.

“Pertama, persetujuan dari pemerintah daerah (pemda) atau dinas pendidikan dan kebudayaan di wilayah zona hijau dan kuning,” ujar tim komunikasi publik satgas Covid-19 dalam keterangan resminya, Sabtu, (9/8/2020).

Kedua, persetujuan kepala sekolah atau setelah sekolah dapat memenuhi protokol kesehatan yang ketat. Ketiga, adanya persetujuan wakil dari orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam komite sekolah meskipun kemudian sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka.

“Keempat, adanya persetujuan dari orang tua peserta didik. Jika orang tua tidak setuju, peserta didik tetap belajar dari rumah dan tidak dapat dipaksa,” sambungnya.

Berdasarkan rilis yang diterima dari tim komunikasi publik satgas covid-19, disebutkan bahwa Kemendikbud mengedepankan dua prinsip dalam kebijakan pendidikan di masa pandemi Covid-19.

Prinsip pertama yakni kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat. Kedua, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19.

Pembelajaran tatap muka di zona oranye dan merah sendiri, rencananya akan tetap dilarang. Sekolah pada zona tersebut tetap melanjutkan belajar dari rumah.

Berdasarkan data Kemendikbud, sekira 57 persen peserta didik masih berada di zona merah dan oranye. Mereka tersebar di 238 wilayah administrasi setingkat kabupaten dan kota. Sedangkan 43 persennya, berada di zona hijau dan kuning atau tersebar di 276 wilayah administrasi.

Kemendikbud mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi mereka saat menerapkan pembelajaran di ruang digital. Salah satunya, tidak semua orang tua mampu mendampingi anak belajar di rumah karena ada tanggung jawab lain, seperti bekerja atau urusan rumah. Di samping itu, mereka kesulitan dalam memahami pelajaran dan memotivasi anak saat belajar di rumah.

Di sisi anak didik, mereka kesulitan untuk konsentrasi belajar dari rumah dan mengeluhkan beratnya penugasan soal dari guru, serta peningkatan rasa stress dan jenuh akibat isolasi berkelanjutan. Kondisi tersebut dapat berpotensi untuk menimbulkan rasa cemas dan depresi bagi anak.

Sementara itu, guru kesulitan untuk mengelola pembelajaran jarak jauh dan cenderung fokus pada penuntasan kurikulum. Mereka juga mengalami waktu pembelajaran berkurang sehingga guru tidak mungkin memenuhi beban jam mengajar serta kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang tua sebagai mitra di rumah.

“Tantangan yang dirasakan para orang tua dan anak-anak yang tidak memiliki perangkat untuk mengakses materi yang diberikan melalui ruang digital serta kuota yang harus dibeli untuk dapat mengaksesnya,” tulis keterangan resmi tersebut.(setneg/alam)