Masjid Katangka, Saksi Masuknya Islam di Sulsel

180 dibaca

Masjid Hilal Katangka yang  juga sering disebut Masjid Tua Katangka, merupakan saksi masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan.
Masjid tersebut berada di bilangan Jl. Syekh Yusuf, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Masjid ini dibangun pada tahun 1603 oleh Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14 yang pertama memeluk agama Islam. Alauddin juga merupakan kakek Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin.
Salah satu pengurus Masjid Hilal, Harun Rahman Daeng Ngella mengatakan bahwa 80 persen bangunan masjid masih asli dan sama seperti waktu pertama didirikan. Beberapa bagian interior masjid juga tetap dipertahankan, seperti mihrab, mimbar, lubang angin, dan jendela masjid. Demikian juga tembok masjid yang memiliki tebal 120 centimeter dan tiang besi padat yang menopang atap masjid.
“Kita harus mempertahankan bentuk keasliannya, karena bangunan ini dilindungi Undang-Undang Kepurbakalaan. Ini adalah saksi sejarah awal mula Islam menyebar di Sulawesi Selatan,” katanya.

1. Pusat Penyebaran Islam
Di masa kejayaan Kerajaan Gowa di awal abad XVII, kata Harun, Sultan Alauddin menjadikan Masjid Tua Katangka sebagai pusat penyebaran agama Islam bagi masyarakat yang dinaungi kerajaan kembar, yakni Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Jadi, peran masjid tidak hanya ini bukan hanya sebagai tempat menunaikan salat semata.
Di sekeliling masjid terdapat makam para raja Gowa. Tidak jauh dari masjid itu juga terdapat makam Sultan Hasanuddin, tepatnya di Kampung Palantikang serta makam tokoh penyebar Islam Syekh Yusuf Al Makassari.
Sebelum Syekh Yusuf berkelana ke Banten dan Aceh, yang kemudian dibuang Belanda ke Sri Lanka dan Afrika Selatan, Syekh Yusuf dibesarkan oleh Sultan Alauddin di sekitar lingkungan Masjid Tua Katangka. Selain itu, tiga ulama dari Minangkabau yang dicatat sejarah sebagai penyebar agama Islam pertama di Sulsel: Datuk ri Tiro, Datuk Ribandang, dan Datuk Patimang berdakwah di Masjid Tua Katangka ini.
“Dahulu kawasan sekitar ini adalah benteng terluas yang dimiliki Makassar sebelum pusat kerajaan dipindahkan ke Benteng Somba Opu. Di dalam kawasan benteng ini terdapat 46 kampung yang dihuni kaum bangsawan Gowa bersama rakyatnya,” tutur Harun.
Baca Juga: Syekh Yusuf, Ulama Makassar yang Menyebarkan Islam Hingga ke Afrika

2. Saksi Sejarah Kejatuhan Kerajaan Gowa
Titik kejatuhan Kerajaan Gowa terjadi saat Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian dengan Jenderal Cornelis Speelman dari pihak Belanda pada tanggal 18 November 1667. Meski disebut Perjanjian Perdamaian Bongaya, sebetulnya itu merupakan “deklarasi” kekalahan Kerajaan Gowa terhadap VOC.
Setelah perjanjian tersebut, sejumlah benteng yang dimiliki Kerajaan Gowa di wilayah pesisir Makassar ikut dihancurkan–ini sekaligus menjadi momentum kejatuhan armada laut Kerajaan Gowa yang menguasai jalur laut perdagangan rempah-rempah dari Maluku hingga ke Temasek (Singapura) dan Johor, Malaysia.
“Keturunan Raja Gowa dan pasukannya berlindung di lingkungan Masjid Tua setelah istana dan bentengnya dihancurkan Belanda. Masjid ini tidak disentuh oleh penjajah Belanda,” ungkap Harun.

3. Struktur Masjid Simbol Islam
Harun menjelaskan ada beberapa simbol dan lambang Islam yang terdapat dalam bangunan masjid, seperti enam jendela yang diartikan enam Rukun Iman dan lima pintu masjid yang diartikan lima Rukun Islam.
Harun yang merupakan turunan dari leluhurnya yang ikut menjadi pengurus Masjid Tua tersebut menyebutkan bahwa nama Masjid Hilal Katangka diambil dari nama pohon Katangka. Pohon tersebut dulu tumbuh di sekitar masjid. Kemudian, kayunya dijadikan bahan untuk membangun struktur bangunan–sebelum masjid direnovasi menjadi bangunan yang memiliki dinding tembok.
Uniknya, pengaruh gaya arsitektur Tiongkok juga dapat ditemukan pada bangunan masjid ini. Mimbar masjid memiliki atap dengan ukiran khas Tiongkok, seperti yang bisa dijumpai di dalam bangunan Kelenteng.
Sementara di bagian jendela-jendela masjid, terdapat ukiran aksara Arab yang ditulis dengan bahasa Makassar.

4. Direnovasi Enam Kali
Sejak didirikan, menurut Harun, bangunan masjid ini telah direnovasi sebanyak enam kali. Pertama tahun 1816, dipugar atas perintah Raja Gowa ke-30 Sultan Abdul Rauf. Kemudian tahun 1884 di masa pemerintahan Raja Gowa ke-32 Sultan Abdul Kadir dan tahun 1963 oleh Gubernur Sulsel AA Rivai.
Di tahun 1978, masjid ini kembali direnovasi Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Sulsel, lalu dua tahun berikutnya direnovasi Suaka Sejarah dan Purbakala Sulsel, dan terakhir masjid ini direnovasi di tahun 2006-2007 oleh pengurus masjid dengan bantuan dana dari Pemprov Sulsel.(idntimes)