Kiai NU yang Anti Rokok

1,096 dibaca

Di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, rokok sama sekali dilarang. Pelarangan rokok di pesantren NU ini juga berkat dorongan dari KH. Abdullah Faqih yang menjadi pengasuhnya. Larangan merokok di pesantren Langitan bahkan sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, jauh-jauh hari sebelum adanya kontroversi keharaman rokok di Indonesia.
Melalui Kiai Faqih inilah ‘perang’ melawan rokok diserukan kiai Faqih sampai pengaruhnya tidak hanya terjadi di sekitar pesantren, tapi juga lingkungan sekitar pondok pun ikut-ikutan untuk tidak mengkonsumsi rokok.Sebagai penguat bukti itu, di situs Langitan.Net, bahkan dipublikasikan secara khusus tentang bahaya-bahaya rokok.

Kiai Anti Syiah
Dalam sebuah kesempatan, Kiai Faqih pernah menyebutkan, bahwa perbedaan yang ushul (pokok, red) antara NU dan Muhammadiyah itu tidak ada. Lana ra’yukum wa ma naraa. Artinya, untuk kamu terserah, tapi kepercayaan kami ya ini. Tapi beliau tidak mau main-main dengan persoalan yang pokok. Beliau tidak bisa kompromi dengan segolongan kaum yang biasa menghujat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Siti Aisyah.

Kiai Anti JIL
Kiai Faqih juga merupakan kiai yang sangat menolak liberalisme dan pluralisme agama. Beliau bersama KH. Idris Marzuki (Pesantren Lirboyo Kediri), KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafii (Perguruan dan Pesantren Islam As-Syafiiyah Jakarta), dan KH. Yusuf Hasyim pernah menorehkan tanda tangan pada 16 Agustus 2005, yang berisi pernyataan bersama dan membuat keputusan penting yakni:
(1) Membenarkan dan menguatkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7/Munas VII/MUI/11/205 tentang haramnya mengikuti paham pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme agama, dan fatwa MUI nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Jamaah Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam serta sesat menyesatkan;
(2) Mengharap kepada ormas Islam bersih dari person-person yang berpaham liberalis, sekularis, dan pluralis agama
(3) Segenap umat Islam berkewajiban waspada terhadap pola pikir keagamaan berdasar liberal, sekuler, dan plural yang berpotensi besar melemahkan dan merusak keimanan.

Kiai Faqih & Gus Dur
Kiai Faqih pada awal mulanya tergolong kiai yang sejalan dengan Gus Dur. Namun setelah Gus Dur banyak melakukan penyimpangan dalam banyak hal, KH. Abdullah Faqih kemudian memilih mufaroqoh (memisahkan diri) dari barisan Gus Dur. Sikap Kiai Faqih itu kemudian diikuti oleh banyak kiai-kiai terkemuka di kalangan NU, yang membuat Gus Dur pada saat itu marah-marah dan menyebut mereka sebagai kiai kampung.
Istilah kiai khos pada awalnya dipopulerkan oleh Gus Dur sendiri sebenarnya, sebagaimana dikatakan oleh Kuai Faqih dalam sebuah tulisannya di Jawa Pos medio 2007.
“Dulu, kiai-kiai yang sejalan dengan pemikiran dan langkah politik Gus Dur sering disebut-sebut dan dipopulerkan sebagai kiai khas. Meski tidak diketahui persis siapa yang memulai dan memunculkan istilah itu, sebenarnya risih juga mendengar dan menyandang sebutan itu. Sebab, para kiai yang disebut khas tersebut tidak merasa ada yang perlu dilebih-lebihkan menyangkut status atau strata sosial. Meski, keberadaannya mampu dimanfaatkan sebagai justifikasi dan legitimasi kelompok dan kepentingan tertentu,” tulis KH. Abdullah Faqih, dalam Jawa Pos, tanggal 2 April 2007.
“Belakangan setelah para kiai itu mengambil sikap dan langkah kritis, dimunculkan istilah kiai kampung. Gus Dur membagi kiai dalam dua kelompok, kiai sepuh dan kiai kampung,” tulis KH. Abdullah Faqih.
Pada tulisannya, KH. Abdullah Faqih pada saat itu juga mencermati politik Gus Dur yang hanya memanfaatkan para kiai untuk kepentingannya saja. Penyebutan kiai khos, menurut KH. Abdullah Faqih, diidentikkan dengan kiai yang dekat dan mendukung Gus Dur dalam rangka menjustifikasi langkah-langkahnya yang kontroversi, terutama hal-hal berkaitan dengan ajaran dan nilai-nilai ahlusunah waljamaah, seperti sikapnya terhadap pencabutan TAP MPR tentang paham komunisme, penolakannya terhadap RUU APP, dukungannya terhadap aliran Ahmadiyah, liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
Dikarenakan hal-hal itulah, KH. Abdullah Faqih dan para kiai terkemuka di kalangan NU kemudian meninggalkan Gus Dur. “Alhamdulillah, para kiai sudah berani mengambil sikap tegas dengan mufaroqoh dari barisan Gus Dur,” tulisnya.

Kiai Faqih & Negara
Pada masa orde baru, Kiai Faqih sangat hati-hati dalam berhubungan. Meski tetap menjaga hubungan baik, beliau tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, beliau menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’.
Pada suatu waktu beliau menyebutkan, “Ketika kita membangun negeri ini maka kita mengharapkan terciptanya keadilan dan kemakmuran. Tapi karena membangunnya dengan menggunakan maksiat, salah satunya riba (bunga bank, red) hutang-hutang ke luar negeri yang sekian banyak, bunganya dan kalau sudah dapat ternyata tidak digunakan seluruhnya kepentingan bangsa, itu kan namanya maksiat. Maka akhirnya yang menanggung rakyat. Sedang yang kita takuti itu adalah kemiskinan dan kebodohan.” katanya medio 2003.
“Maka, kembali ke jalan iman dan takwa adalah menjadi keharusan jika kita ingin meraih kemenangan. Sesuai firman Allah,” kata Kiai Faqih, saat itu.
ton/zub