Simbol Bersatunya Sekte di Dewata

180 dibaca

Ada banyak peristiwa budaya dengan penekanan perang dalam tradisi Bali.Di Tenganan setiap bulan Oktober penduduk Bali Asli melakukan ritual perang pandan. Jika di desa adat Tuban Bali, penduduknya melakukan ritual perang api. Sedangkan di Gianyar tepatnya di Pura Samuan Tiga yang berada di Desa Pejeng, penutupan Odalan di Pura tersebut, diadakan perang sampian. Sampian adalah untaian dan rangkaian janur indah yang digunakan menghiasi banten dan sarana upacara lainnya. Jenisnya meliputi puluhan ada yang disebut sampian uras, sampian pengambian, sampian penjor sampian gebogan dan banyak lagi macamnya.

DALAM peliputan Posmo saat berada di Pulau Dewata beberapa waktu lalu bahwa di Pura Samuan Tiga perang sampian merupakan simbolisasi kegembiraan karena runutan upacara telah berakhir selama seminggu lebih. Perang sampian dimulai menjelang tengah hari. Di awali oleh barisan penari wanita setengah baya sekitar 40 orang banyaknya. Mereka mengenakan kebaya putih dan kemben warna hitam. Di rambutnya disuntingkan pula bunga kembang sepatu merah yang membuat mereka menjadi begitu anggun. Mereka menari berpasangan berkeliling pelataran pura Samuan Tiga.
Putaran pertama mereka berjajar sambil membawa dupa, sekitar 30 menit dalam satu putaran. Sedangkan di halaman pura mereka yang melakukan persembahyangan tetap khusuk menunaikan tugasnya. Pada putaran kedua mereka menari seperti ombak sambil memegang selendang yang terselip di pinggang rekan sebelahnya. Ketika putaran terakhir tiba mereka mengambil sampian yang dikumpulkan di tempat khusus kemudian mengangkatnya secara ritmik. Tidak dibenturkan ke rekan sebelah tapi diangkat sambil menari nari dengan penuh semangat.
Itulah perang sampian. Sementara itu ketika penari wanita mengakhiri ritualnya penari pria yang disebut dengan parekan atau permias memulai dengan berlarian sambil berpegangan tangan keluar dari gapura.  Mereka berkeliling dengan menyentuh semua lantai pelinggih yang ada di areal Pura Samuan Tiga. Mereka juga berkeliling sampai 3 kali. Sambil berlari tangan mereka berpegangan erat dengan rekan di sebelahnya sambil mengalun laksana ombak. Simbolisasi dari keharmonisan hubungan antara mereka yang selama sebulan lebih melakukan ritual yang berlangsung setahun sekali itu.
Pada putara terakhir penari pria juga melakukan hal serupa, mengambil sampian atau untaian janur yang sudah kering di ujung selatan pura. Mereka berlari secara ritmik sambil mengangkat sampian itu. Di depan gapura di bagian utara pura juga mereka tetap mengangkat sampian secara berirama sambil berteriak.
Beberapa ada yang mengibaskannya dengan halus dan ringan seakan tanpa tenaga kepada rekan sebelah menyebelah. Setelah itu pemangku mememcikkan air suci. Maka ritual perang sampian pun berakhir dengan damai. Semuanya berlangsung dengan penuh semangat kebersamaan dan kegembiraan. Tidak ada yang emosi, penonton yang sebagian terbesar adalah turis asing, pemotret amatir terkagum kagum dengan ritual yang jarang bisa dapatkan di lain tempat di Bali itu.
Adapun sejarah pendirian Pura Samuan Tiga sendiri menurut data tertulis seperti halnya Prasasti, Prakempa, Purana ataupun Babad saat ini belum banyak diketemukan. Dalam menelusuri kembali sejarah Pura Samuan Tiga berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat Fragmentaris masih relevan untuk dikaji. Dari urain lontar Tatwa Siwa Purana disebutkan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun pada masa pemerintahan Raja Candrasangka. Penulisan lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam prasastinya yang sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga atau pemandiaan suci yang disebut Tirta di Air Hampul.
Bilamana Prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja candrabhayasingha Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya ynag berangka tahun 962 masehi yaitu sekitar abad X. Pembangunan Pura Samuan Tiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap kerjaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara atau Laut. Pura Tirta Empul sebagai Pura Gunungnya, dan Pura Samuan Tiga sebagai Pura Penataran yaitu Pura yang berada di pusat kerajaan, seperti dilaklumi para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali kuna berada di sekitar Desa Badahulu, kecamatan Blahbatuh, kabupaten Gianyar.
Karena banyak di ketemukan tinggalan arkeologi ( arca-arca, tempat pertapaan ) bahkan berlangung sampai masa majapahit seperti disebutkan dalam negara Kerta Gama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Bedahulu dekat goa Gajah, Sehingga tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa Pura Samuan Tiga pada abad X merupakan Pura Penataran dari kerjaan bali kuna yang belokasi di pusat pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal yang di sebut bata anyar.
Dari uraian lontar Tatwa Siwa purana tersebut akan munculah pertanyaan apakah nama Samuan Tiga itu merupakan nama dari sejak berdirinya ? Hal ini penting sekali dikaji karena pemberian nama pada suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali biasanya dihubungkan dengan tujuan tertentu atau untuk memperingati suatu peristiwa yang sangat bermakna dalam suatu proses kehidupan.
Untuk menjawabnya perlu di simak sejenak makna kata Samuan Tiga, secare Etemologi kata Samuan Tiga terdiri dari perpaduan kata Samuan dan tiga. Samuan berasal dari kata samua berarti pertemuan, penyatuan, sangkep, dan Tiga baerarti 3 atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuan Tiga berarti pertemuan atau penyatuan dari tiga hal atau musyawarah segitiga.
Dapat disimpulkan bahwa Samuan Tiga adalah sebagai pura Penataran pada masa pemerintahan Sri candrabhayasingha Warmadewa Siwa, Buhda dan Baliaga sehingga menghasilkan konsepsi pemujaan terhadap Tri Murti melalui terbentuknya Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiganya. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pura Samuan Tiga adalah kawitan atau cikal bakal terbentuknya Desa Pakraman di Bali. DANAR S PANGERAN