MEMAHAMI HAKIKAT KEIKHLASAN

190 dibaca

PARDI datang agak terlambat dibanding Dulkamdi dkk. Rupanya, perbincangan pagi itu terasa kurang jika Pardi absen. Dulkamdi tidak punya lawan bicara, setidak-tidaknya, kopi Cak San kurang sedap rasanya tanpa kehadiran Pardi.

“Kita ini sudah salah kaprah ya. Masak orang mau menunjukkan kehebatannya, malah mengatakan, kalau dirinya tidak sombong. ‘Saya tidak sombong, lho…’ Padahal itu kan sombong juga.” kata Dulkamdi memancing pembicaraan pagi itu.

“Wah, kalau salah kaprah begitu banyak sekali Dul. Tapi itulah, kenyataan masyarakat kita. Ada yang menonjolkan diri, dan semakin bangga kalau ia menonjol dengan kesukuannya. Ada yang menonjolkan diri dengan ilmunya, dan semakin bangga kalau muncul decak-decak mulut padanya. Ada yang menonjolkan anunya, dan itunya, dan semakin bangga kalau dijadikan bahan berita,” kata Kang Soleh.

Orang-orang di majlis itu hanya diam saja, sembari mengiyakan apa yang dilontarkan kedua orang itu. Tiba-tiba Pardi datang, tanpa basa basi, ia bagi-bagikan uang kepada orang-orang yang hadir di sana, tanpa pandang bulu.

“Ini untuk menunjukkan syukur saya atas nikmat Allah. Saya ikhlas kok membagi-bagi ini…. Kebetulan saya dapat rezeki lumayan besar dari makelaran motor kemarin.”

“Ikhlas kok diucapkan Di?” sindir Dulkamdi.

“Ya, nggak apa-apa to, yang penting saya ini ikhas kok…”

“Nggak usah bilang ikhlas kenapa sih, jadinya duitmu ini terasa setengah ikhlas dan setengah tidak. Saya mau belanjakan jadi gampang Di.”

“Jangan begitu to Dul. Kamu ini namanya menolak rezeki…”

“Lho, kalau uang ini tadi dari kamu, kan, Kamu kan bukan pemberi rezeki. Tapi kalau Allah memberi rezeki mestinya kan tidak seperti itu Di.”

“Pokoknya, kalau kamu tidak mau terima, ya, kembalikan ke saya, masih banyak fakir miskin yang membutuhkan,” jawab Pardi sambil ngedumel.

“Saya juga fakir lho Di. Masak sudah diberikan diminta lagi. Kamu ini ikhlas atau tidak?”

Hampir-hampir saja sindiran Dulkamdi tadi membuat marah Pardi. Dan Pardi mencoba menahan emosinya, sementara Dulkamdi senyam-senyum sembari merasakan betapa Pardi terkena jebakannya.

“Sebenarnya ikhlas itu bagaimana sih Kang?” tanya Cak San kepada Kang Soleh.

“Ikhlas itu adalah rahasia dari Rahasia Ilahi yang dititipkan pada hamba-Nya yang dicintai-Nya, lalu hamba itu terputus dari segala hal selain Allah saja.”

“Apa itu yang disebut Lillahi Ta’ala…”

“Ya, tapi kalau masih banyak embel-embelnya, itu namanya masih belum ikhlas.”

“Tapi kan kemampuan manusia berbeda-beda, hati manusia juga beda-beda, perasaan manusia juga beda-beda Kang,” sela Pardi setengah protes.

“Oalahhh, mau ikhlas saja kok didiskusikan. Kalau mau memberi sesuatu pada orang lain malah jangan menunggu ikhlasmu. Bisa-bisa malah kamu tidak pernah memberi orang lain itu. Nggak usah mikir apakah kamu ikhlas atau tidak, yang penting memberi, ya, memberi. Kamu juga begitu Dul, kalau menerima sesuatu dari orang lain ya jangan dipikir, apakah pemberinya ikhlas atau tidak. Kamu bisa mati kepalaran. Diberi yang kamu terima, nggak usah mikir bagaimana caranya membalas pemberian itu.”

“Wah, kita masak tidak boleh balas budi.”

“Keinginanmu untuk membalas budi itu menunjukkan bahwa kamu tidak ikhlas menerima pemberian orang lain. Sama saja nilainya dengan orang yang tidak ikhlas dalam beramal.”

Mendengar uraian Kang Soleh, Pardi dan Dulkamdi hanya manggut-manggut saja.

“Kalau ikhlasnya orang-orang Soleh itu bagaimana Kang?”

“Untuk apa? Nggak usah ditanyakan lah. Praktikkan saja, lama-lama kamu bisa menyamai mereka.”

“Ini perlu, agar saya bisa mengontrol jiwa saya Kang.”

“Oke, begini Dul, Di, dan saudara-saudara sekalian. Ikhlas itu ada dua: Mukhlishin dan Mukhlasin. Yang pertama melakukan melalui segala bentuk upaya sampai bisa ikhlas benar. Yang kedua, tidak mencari ikhlas, karena ikhlas sudah ditinggalkan jauh-jauh. Itulah yang disebut Mukhlashin. Artinya ia ikhlas dari wacana dan kata-kata ikhlas itu sendiri. Ia bebas dari belenggu psikhologis ikhlas. Dia tidak mau tahu tentang makna ikhlas, yang penting bisa total dengan Allah, beres.”

“Wah, itu pasti tingkat tertinggi Kang?”

“Terserah, minimal ikhlas itu dibagi tiga: Ikhlasnya Mukhlisin, yaitu ikhlas untuk beramal, jauh bebas dari makhluk, semata demi Allah. Kedua Ikhlasnya Muhibbin (para pecinta Allah) yaitu ikhlas tanpa berharap pahala, surga, atau apa pun kecuali hanya demi cintanya kepada Rabb. Dan ketiga Ikhlasnya Muwahhidin, yaitu keikhlasan dari apa yang disebut ikhlas. Sang hamba merasa seakan-akan menyatu dengan-Nya, dan segalanya tidak bisa lepas dari-Nya.”

“Jadi kalau saya tadi bilang, ‘Saya ikhlas lho, itu bagaimana?” tanya Pardi.

“Itu tandanya kamu hanya ikhlas setengah hati. Masih ada unsur makhluknya, dan masih ada embel-embel pengakuan.”

“Dalan Alquran disebutkan bahwa Iblis tidak mampu menggoda orang-orang yang Mukhlashin, Kang?”

“Benar. Itulah, makanya Iblis angkat tangan, karena Mukhlashin itu adalah orang yang sudah melampaui keikhlasan itu sendiri. Bahkan sudah di atas apa yang disebut dengan cinta. Makanya, kamu yang serius beribadah, jangan pikiran melayang ke mana-mana, nanti keikhlasan bisa jadi komoditas politik, sosial dan bisnis. Gawat, kang?”. ***

 Mohammad Luqman Hakiem

Sufiolog Jakarta