Sinau Keajaiban Segumpal Daging

211 dibaca

Kaweruh kesejatian kali ini memedar bab keajaiban hati. Baik yang bersifat jasmani maupun latifah. Yang merupakan sumber kehidupan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Nu`man bin Basyir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda. Sabdanya ini sangat terkenal. Para dai sering membacanya, baik dalam khotbah Jumat maupun tausyiah agama.
“Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”. (HR Muslim, Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi, dan lainya).

Berpijak pada hadis Rasul di atas, hati dalam ilmu tasawuf memiliki dua makna. Pertama adalah segumpal daging khusus yang berbentuk seperti buah sanaubar yang terletak di dalam rongga dada sebela kiri. Pada hati itu terdapat lubang, yang di dalamnya terdapat rongga berisi darah hitam kental. Darah itu merupakan sumber roh. Makna yang kedua, hati berhubungan dengan jiwa yang bersifat lathif (halus) robbani (mempunyai sifat ketuhanan) dan ruhaniyyah. Inilah hakikat manusia.

Segumpal darah hitam kental yang terdapat di dalam rongga hati, yang dipahami sebagai sarang roh, dalam kaweruh kebatinan, bahwa energi roh itulah yang menghidupkan seluruh argan-organ tubuh.

Di dalam ajaran wirid disebutkan, ada 7 lapis jiwa, yang susunannya dari paling dalam yaitu Hidup alias Hayyu. Hayyu terbungkus oleh Cahya, nur atau Nurullah. Cahya terbungkus oleh lapisan ketiga, yang disebut Rahsa. Lapisan yang ke-4 yang membungkus Rahsa adalah Roh, nyawa alias Sukma. Roh dibungkus oleh Nafsu. Nafsu dibungkus oleh lapisan keenam yang dinamakan Akal-Budi. Akal budi dibungkus oleh lapisan paling luar yaitu jasad atau badan, alias raga.

Hayyu yang berarti hidup, dalam kaweruh Kejawen disebut juga Atma, merupakan perwujudan dari Zat yang sejati, dayanya menghidupi Cahya alias teja, nur atau Nurullah. Pancaran Cahaya menghidupkan lapisan luarnya, yaitu Rahsa atau Sir, disebut juga Sirrullah. Getaran Rahsa menghidupkan lapisan luarnya, Roh atau Sukma. Pancaran Sukma sejati menghidupkan Nafsu. Getaran nafsu menggerakkan Akal budi. Dayanya akal budi menghidupkan badan jasmani yang merupakan wujud kongkrit ruh.

Apabila dibalik, didapat keterangan sebagai berikut: Jasad hidup karena mendapat sawabnya Akal budi. Akal budi mendapat sawab dari Nafsu. Nafsu hidup karena terkena sawabnya Roh atau Sukma. Sukma hidup disebabkan terkena sawabnya Rahsa. Rahsa hidup terkena sinarnya Cahya alias Nurullah. Hidupnya Cahya karena terkena dayanya Atma alias Hayyu. Atma mendapat daya dari Zatullah. Yang semuanya bersifat gaib.

Ketuju lapisan jiwa tersebut saling mengikat. Karena saling mengikat, maka menjadi hidup. Apabila tali ikatannya putus, mengakibatkan jasad sakit, bahkan lumpuh. Bila tali ikatan itu tidak tersambung, hidupnya akan putus.

Jadi, jasad mengikat budi, budi mengikat nafsu, nafsu mengikat sukma, sukma mengikat Rahsa, rahsa mengikat cahya, dan cahya mengikat atma atau hidup. Hidup mengikat Yang Maha Hidup.

Jasad, ketika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi mejadi putus. Orang yang menderita sakit yang amat sangat, tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu. Orang yang menderita sakit, hilanglah nafsu-nafsunya. Seperti amarah, nafsu sahwat, nafsu makan, dan lainnya. Jika tali nafsu sudah putus, untuk mempertahankan nyawanya bergantung pada tali pengikat karsa (kemauan). Bila kemauan untuk sembuh putus, hilanglah semangat hidupnya. Bila tali ini putus, maka tali pengikat sukma pun putus, akibatnya sukma terlepas dari badan wadag, dengan kata lain mengalami kematian.

Hakikat lapisan jiwa yang terdapat pada manusia ini, merupakan gambaran hakikat 7 lapis langit. 7 lapis bumi, 7 lapis surga, dan 7 lapis neraka. Dalam ajaran yang sudah memasyarakat, ada jagat gedhe ada jagat cilik. Alam semesta yang gumelar ini, merupakan jagat kabir atau gedhe. Manusia sebagai lambang jagat cilik. Jagat gedhe dan jagat cilik tan ana bedane (jagat besar dan jagat kecil tidak ada bedanya). Apa yang ada di alam semesta, terdapat juga pada diri manusia. (bersambung).

Cak Yon N.