SISTEM AHWA SEBAGAI SARANA MENGEMBALIKAN MARWAH NU

143 dibaca

▪︎ Oleh: Mabroer MS
(Warga NU, tinggal di Depok Jawa Barat)

DALAM beberapa bulan terakhir, nama NU sangat membumi dan menjadi topik perbincangan di berbagai kesempatan, termasuk yang paling berisik perbedetannya di ruang Medsos seperti group WA, Facebook dan Instagram.

Isu tentang NU sebetulnya mulai merambah ke publik dan mengundang kegaduhan sejak PBNU menyatakan menerima tawaran konsesi pengelolaan Tambang Batubara, Agustus 2024. Sejak itulah, seakan “tali jagat NU” mulai mengeras karena goyangan kiri-kanan.

Tarik menarik akibat pro-kontra terus berlanjut hingga puncaknya terjadi prahara politik di PBNU yakni pemecatan KH Yahya Kholil Staquf pada 2 No 2025 dan langsung mendapatkan perlawanan. Tindakan Syuriah ini memicu kebijakan serupa dengan pemecatan Sekjen PBNU Drs Saefullah Yusuf.

Sudah terbayangkan bahwa drama kolosal PBNU ini langsung menyedot perhatian publik dan mengundang berbagai kepedihan, tapi yang sedang berkonflik seakan abai dengan semua itu. Yang menyedihkan, drama ini bukan tentang perdebatan ideologi keagamaan maupun kenegeraan yang selama ini menjadi salah satu perdebatan wacana paling intens di NU, melainkan isyu yang masih jadi polemik; tambang batubara.

Tentu, isu pemecatan dari kedua belah pihak makin menambah pupusnya harapan umat serta kaum minoritas yang selama ini merasa nyaman dengan NU. Bahkan, kini yang tersisa dalam relung mereka tinggal hilangnya harapan karena konflik di PBNU belum terlihat ada sinyal yang kuat yang untuk selesai dan berdamai atau rujuk. Umat nahdliyin saat ini seperti anak ayam kehilangan induk, bahkan dalam menghadapi bencana Sumatra pun NU seperti tidak peduli.

Atas dasar itulah, penulis mencoba menawarkan sistem pemilihan para pemimpin PBNU melalui sistem AHWA (Ahlul Hal Wal Aqdi) dengan sejumlah catatan penyempurnaan. Tentu ini bukan sistem paling ideal, setidaknya menyempurnakan dari proses pemilihan dari Muktamar NU sebelumnya yakni Muktamar di Jombang pada Agustus 2015 dan Muktamar Lampung, Desember 2021.

Kıta berharap dalam Muktamar NU ke-35 mendatang, pelaksanaan sistem AHWA ini bisa dilaksanakan dengan semangat untuk mencari calon pemimpin yang bisa mengemban nama besar Nahdlatul Ulama seperti impian para pendirinya dengan oritentasi kemaslahatan umat, bangsa dan Negara.

Sistem AHWA yang penulis tawarkan itu melalui mekanisme pemilihan yang dilakukan secara bebas (dari berragam intervensi), rahasia dan bertanggungjawab. Proses ini diawali dengan pembentukan Pansel (panitia seleksi) KPA (Komite Pemilihan AHWA) yang dihasilkan dari Rapat Pleno PBNU dengan sejumlah persyaratan yang ketat dan mencerminkan adanya upaya untuk mencari calon KPA yang berkompeten, berintegritas.

Pada tahap awal ini pun, para calon anggota KPA harus diumumkan secara terbuka di media resmi PBNU untuk mendapatkan respon dan tanggapan publik. Jika ditemukan catat moral dan cacat hukum, maka yang bersangkutan harus dicoret dan diganti nama baru yang lebih bersih. Sebab, anggota KPA harus besar-benar orang “thohir muthohir” karena di lingkungan Nahdlatul Ulama sangat banyak spesifikasi orang seperti itu. Pansel inilah yang akan memilih calon anggota KPA yang merepresentasikan unsur PBNU ( 3 orang ), unsur PWNU ( 3 orang ), unsur Pondok Pesantren (3 orang) dan unsur independen ( 4 orang ).

Dengan Demikian, jumlah mereka tetap ganjil agar terhindari dari kebuntuan dalam proses pengambailan keputusan yang bersifat emergency. Mengingat waktu yang terbatas, maka Pansel hanya diberikan waktu maksimal 1 bulan untuk melakukan seleksi secara terbuka dan diumumkan di media resmi PBNU. Bulan berikutuya, KPA segera menyusun program kerja berupa tahapan-tahapan pemilihan calon AHWA berdasarkan kriteria dan persyaratan telah ditetapkan dalam rapat Pleno KPA.

Selanjutnya, KPA harus segera menyusun kriteria dan persyaratan mendasar untuk para calon AHWA dan harus diumumkan secara terbuka agar mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Dari sinilah, kemudian KPA menetapkan sejumlah aturan dan kriteria calon sekaligus proses pemilihan yang besar-benar independent dan transparan serta akuntable karena seluruh calon yang sudan berhasil dijaring KPA akan diumumkan secara terbuka di media resmi NU untuk mendapatkan tanggapan dan respon publik.

Jika ada salah satu calon yang ternyata mendapatkan komplain publik, baik yang menyangkut moral maupun hukum harus dilakukan verifikasi. Jika terbukti, maka yang bersangkutan langsung dinyatakan gugur.

Sebagai catatan, persyaratan dan kriteria itu merupakan gambaran dari harapan warga NU untuk memunculkan sosok calon-calon pemimpin NU di tingkat pusat yang bisa dijadikan teladan sekaligus rujukan agar bahtera Nahdlatul Ulama ini bisa berlayar kembali mengarungi samudra kehidupan berbangsa dan berbangsa yang makin komplek ini.

NU harus menjadi bagian dari solusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan malah sebaliknya seperti yang dicita-citakan para pendiri (muassıs NU). Harapan ke depan, NU bisa menjadi salah satu rujukan umat, bukan malah jadi cibiran mereka.

Dari kriteria itulah, kemudian KPA mengumumkan secara terbuka calon-calon AHWA level nasional yang di usulkan oleh PBNU sebanyak minimal 33 orang yang mencerminkan representasi dari Pondok Pesantren, tokoh kultural-struktural NU, tokoh NU representasi kaum cendekiawan, maupun profesi lain yang telah menunjukkan kriprahnya untuk kepentingan NU.

Sehari setelah pengumuman di media resmi PBNU itulah, PWNU dan PCNU diberikan kesempatan yang sama dan bersamaan waktunya untuk mengusulkan calon-calon AHWA di tingkatannya masing-masing dengan jumlah calon maksimal 15 orang untuk setingkat PWNU dan 5 orang untuk setingkat PCNU.

Mereka juga diberikan kebebesan untuk mengusulkan nama yang sama dari usulan sebelumnya (level nasional) dan akan dihitung sebagai poin tersendiri. Kenapa bersamaan? Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan oleh masing-masing level sekaligus menjaga integritas dan indepensi tim PWNU maupun PCNU. Usulan para calon diwujudkan dalam bentuk surat rekomendasi dari setiap tingkat kepengurusan Nahdlatul Ulama dan diajukan secara tertutup dan bersegel resmi ke KPA.

Dari usulan PWNU dan PCNU itulah, kemudian ditabulasi oleh KPA dan diumumkan secara terbuka untuk mendapatkan atensi dan koreksi dari publik. Dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan KPA, calon yang terbukti tidak memenuhi syarat akan langsung dihapuskan dari daftar calon AHWA.

Setelah usai fase uji publik inilah, nama-nama calon yang lolos akan langsung diumumkan dan seluruh perwakilan NU, mulai dari tingkat PBNU hingga PCNU diberikan hak untuk memilih secara tertutup di masing-masing level dengan jumlah suara berbeda sesuai dengan tingkatannya.

Misalnya, PWNU memiliki 15 hak suara dan PCNU 5 suara untuk memilih diantara para calon yang telah muncul dalam pengumuman terbuka di media resmi PBNU. Hasil dari pemilihan secara tertutup itulah yang akan dikirimkan ke KPA yang tertulis dalam amplop tertutup dan bersegel. Nah, usulan dari PBNU, PWNU dan PCNU itulah yang akan dibuka dalam forum Muktamar dan akan dilakukan tabulasi secara terbuka.

Dari hasil tabulasi yang dilakukan dalam forum itulah, kemudian ditetapkan nama-nama calon AHWA mulai rangking 1 (satu) sampai 99 (sembilan puluh sembilan). Dari 99 nama tersebut akan dilakukan pemilihan lagi secara tertutup melalui bilik pemilihan di dalam arena Muktamar.

Hasil pemilihan fase terakhir yang berlangsung dalam forum Muktamar itulah, kemudian tetapkan lagi 33 nama yang akan menjadi calon AHWA yang memilih Rais Aam – Katib Aam, Ketua Umum dan Sekjen PBNU. Penentuan nama Rais Aam, Katib Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jendral tidak semata-mata berdasarkan rangking perolehan suara, tapi berdasarkan musyawarah – mufakat dari majelis AHWA. Dengan terpilihnya empat nama itulah menjadi akhir fase tugas dan tanggungjawab KPA. Untuk penetapan kelengkapan struktur PBNU, maka rapat AHWA langsung dipimpin oleh Rais dibantu Ketua Umum untuk menyusun struktur PBNU.

Dengan model seperti inilah, maka proses persidangan dalam forum Muktamar akan berjalan secara maksimal karena hanya anggota AHWA yang akan menyusun struktur PBNU. Sedangkan peseta Muktamar non AHWA akan meneruskan proses persidangan sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Setelah proses berakhir, kemudian diadakan Sidang Pleno untuk mengesakan hasil sidang komisi dan langsung dipimpin oleh Rais Aam dan Ketua Umum terpilih. Dari sinilah, kıta harapkan bahwa forum Muktamar akan menghasilkan berbagai keputusan strategis, baik yang menyangkut personalan di internal NU maupun persoalan-persoalan eksternal seperti kehidupan masyarakat dan kehidupan kenegaraan. ###