▪︎ Sebuah Puisi Esai
▪︎ Oleh: Denny JA
(Di luar seribu lebih nyawa
yang wafat dalam Bencana Sumatra, seorang guru bertahan hidup, berjalan
seratus dua puluh kilometer
dalam lapar dan air bah). (1)
-000-
“Tuhan,
pertemukan aku dengan ibuku.
Jenazah pun tak apa,
asal jangan hilang sama sekali.”
Doa itu macet di dada,
menjadi kerikil di tenggorokan:
tak naik jadi kalimat,
tak turun jadi pasrah,
mengganjal setiap napas.
Air mata Zaenal jatuh
bukan sebagai tangis,
melainkan titik-titik kecil
di peta dalam dirinya
saat ia menyusuri bumi
yang memar.
Ia berjalan
seratus dua puluh kilometer,
dengan perut kosong
yang berbunyi lirih
seperti bel sekolah
di hari libur panjang.
Beberapa hari sebelumnya,
hujan turun sebagai laporan
yang tak dibaca siapa pun.
Langit kelelahan menahan isinya,
hingga tumpah berhari-hari,
mengubah jalan
menjadi sungai.
Bukit-bukit yang digunduli
lupa cara memeluk tanah.
Akar-akar tercabut,
seperti jari yang dipecat
dari tugas menggenggam.
Tanah longsor menimbun rumah-rumah,
menguburkan penduduk
hidup-hidup.
-000-
Dalam hitungan jam,
kos-kosan Zaenal jadi pulau kecil,
titik sunyi
di peta penderitaan
yang tak pernah dicetak ulang.
Di lantai dua,
lima manusia
saling meminjam keberanian.
Ia guru bahasa Jepang,
biasa mengajar murid
membedakan bunyi yang mirip,
menghormati satu huruf
yang bergeser.
Hari itu huruf-huruf padam.
Ia belajar pelajaran lain:
bernapas tanpa listrik,
menggantung harapan
di udara tanpa sinyal,
menunggu bala bantuan
yang hidup di baliho,
bukan di jalan.
-000-
Air setinggi dua meter
menata ulang ruang tamu.
Meja terbaring,
rak kitab jadi perahu patah.
Foto keluarga tenggelam duluan.
Wajah ibunya yang menua
hilang di air cokelat,
seolah usia
adalah tiket
untuk dihapus lebih awal.
Jam dinding berhenti;
jarumnya diam
seperti saksi
yang menolak tanda tangan.
Zaenal memanggil ibunya
hingga suaranya sendiri
tak kembali.
Di luar, batang-batang pohon
melintas sebagai keranda
tanpa pelayat.
-000-
Ketika air surut,
lapar datang paling dulu,
tamu lama yang tahu
ia tak akan diusir.
Minimarket dibuka paksa,
retak seperti akuarium pecah;
biskuit, mie, dan kaleng susu
mengapung di lantai licin,
ikan-ikan terakhir
di kota yang kehabisan laut.
Di antara tangan yang saling menyerobot,
Zaenal melihat namanya sendiri
terhapus dari kartu identitas
yang melayang di permukaan air.
Ia teringat guru agamanya,
yang mengajarinya
menulis kata “jangan mencuri.”
Ia mencatat dalam hati:
tak ada listrik,
tak ada sinyal,
tak ada mobil bantuan.
Uang hanyut.
Identitas hanyut.
Dan ibunya
hilang entah
di lipatan air
yang mana.
-000-
Zaenal memutuskan pergi.
Jika tak bisa memeluk ibunya,
setidaknya ia ingin
menemukan jenazahnya.
Ia pun berjalan kaki.
Langkah demi langkah,
ia menyebut nama ibunya,
menghitung manik
tasbih yang retak.
Setiap manik
adalah jarak,
setiap jarak
adalah doa
yang dipendekkan oleh lelah.
Beberapa kilometer kemudian,
sebagian manik hilang;
doanya melambat,
takut Tuhan ikut letih
mendengar
nama yang sama.
-000-
Dua hari ia berjalan
di atas aspal panas
dan lumpur yang lengket,
seperti ingatan
yang menolak ditinggalkan.
Ia minum dari genangan,
air warna tanah.
Ia mengunyah sunyi,
menyimpan doa
di saku celana basah.
Ia terus berjalan
mencari Ibu,
sebab berhenti
berarti setuju
bahwa ibunya telah hilang
tanpa nama.
Ia tahu, di punggungnya
negara hanya menempel
sebagai logo di karung beras;
sementara di telapak kakinya,
nama ibunya terus ditulis ulang
oleh aspal yang panas,
oleh lumpur
yang tak pernah menanyakan
status kewarganegaraan.
-000-
Hingga hari ini,
ibunya hilang
entah di mana.
Air kembali ke sungai,
lumpur kembali ke ladang.
Hanya ibunya
yang tidak kembali
ke rumah.
Dan Zaenal
terus berjalan
di dalam dirinya,
membawa satu nama
yang tak sempat
dimakamkan. ***
Jakarta, 20 Desember 2025
CATATAN
(1) Kisah ini adalah dramatisasi dari berita tentang guru PPPK yang berjalan sekitar 120 km dengan perut kosong, melintasi banjir Sumatra, dari Aceh Tamiang hingga Medan.
https://news.detik.com/berita/d-8247431/perjuangan-guru-pppk-bertahan-hidup-jalan-kaki-dari-aceh-tamiang-ke-medan/amp
-000-
Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/17gHPEAubp/?mibextid=wwXIfr









