Bagaimana Hukum Menjual Kulit dan Kepala Hewan Kurban

418 dibaca

▪︎POSMONEWS.COM,-
BARU saja umat Islam merayakan Idul Adha 1443 H/2022. Suluruh masjid, musalah, dan kampung-kampung menyembelih hewan kurban. Ribuan kambing, sapi dan kerbau dipotong untuk berkurban. Lantas bagaimana hukum menjual kulit dan kepala hewan kurban?

KH. Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya), pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon, dalam kanal YouTube Al-Bahjah, menjelaskan mengenai hukum menjual kulit hewan kurban

Penjelasan itu disarkan banyaknya umat Islam bertanya soal hukum menjual kulit hewan kurbanketika telah disembelih.

Pertanyaan tentang hukum menjual kulit hewan kurbanini juga sempat dibahas oleh Buya Yahya dalam salah satu cermahnya. Dalam salah satu dakwahnya, Buya Yahya sempat ditanya tentang hukum kulit hewan kurban bila dijual.

Menurut Buya Yahya, hewan kurban yang telah disembelih maka wajib hukumnya untuk dibagikan kepada penerima.

Buya Yahya menegaskan bila semua yang terdapat pada hewan kurban tersebut wajib untuk dibagikan kepada penerima kurban, termasuk kulit.
Artinya, kulit hewan kurban tidak boleh dijual menurut Buya Yahya.

“Daging kurban itu dibagikan, termasuk kulit-kulitnya dibagikan, tidak boleh dijual,” terang Buya Yahya.

Tidak hanya itu, Buya Yahya juga mengatakan bila kulit hewan kurban tidak boleh dijadikan sebagai upah untuk panitia kurban atau si penyembelih daging kurban.

“Kulit tidak boleh dijadikan upah bagi sang penyembelih dan sang penyembelih tidak bisa menjadikan upahnya dari daging kurban,” ucap Buya Yahya.

Akan tetapi, Buya Yahya, mengatakan bila si penyembelih kurban bisa mengambil bagiannya, termasuk kulit, bukan sebagai upah.

“Tapi si penyembelih bisa mengambil kulit sebagai bagiannya, misalnya senengnya dia kulit, bukan sebagai gaji penyembelihan, boleh diambil,” terang Buya Yahya.

“Tapi kalau untuk dijual kulit tidak boleh,” tambah Buya Yahya menjelaskan.

Kemudian Buya Yahya, menerangkan tentang pandangan ulama yang menyatakan tentang hukum menjual daging kulit kurban.

Dalam penjelasannya, kulit hewan kurban bisa dijual dengan catatan hasil yang didapat akan dibagikan kembali kepada penerima kurban.

“Menurut Madzhab Imam Hambali dan juga Imam Abu Hanifah, boleh menjual kulit, karena kalau dibagikan tidak manfaat, sebab tidak semua orang bisa mengolah,” jelas Buya Yahya.

Artinya, Buya Yahya, menegaskan bila ingin menjual kulit hewan kurban yang telah disembelih maka dibebankan kepada panitia kurban. Kemudian hasil dari penjualan kulit tersebut dibagikan kembali kepada penerima kurban.

“Boleh menjual kulit tersebut kemudian hasilnya dikembalikan kepada orang yang berhak menerima kurban tadi. Jadi kulit dijual dan dibagikan lagi. Tapi yang jual panitia,” terang Buya Yahya, sebagaimana yang dikutip dari Kanal YouTube Buya Yahya, Sabtu (9/7/22.

Kepala Hewan Kurban

Dikutip dari laman nu.or.id menjelaskan, hal yang tidak dapat dihindarkan dari ibadah kurban antara lain adalah terkait penjualan kulit dan kepala hewan kurban. Motifnya beraneka ragam. Ada yang karena berada di daerah dengan tingkat kemampuan perekonomian tinggi sehingga jumlah hewan kurban di daerahnya sangat banyak. Karena saking banyaknya daging, mereka tidak punya banyak waktu untuk mengurus kulit dan kepala hewan kurban.

Atau mungkin ada sebagian yang mempunyai motif ingin menghemat biaya operasional sehingga kulit dan kepala dijual untuk kemudian hasil penjualannya selain dibuat untuk biaya operasional, juga bisa dibuat membayar tukang jagal.

Imam Nawawi mengatakan, berbagai macam teks redaksional dalam mazhab Syafi’i menyatakan bahwa menjual hewan kurban yang meliputi daging, kulit, tanduk, dan rambut, semuanya dilarang. Begitu pula menjadikannya sebagai upah para penjagal.

واتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا  كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك

Artinya: Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi’i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya. Dan juga dilarang menjadikan kulit dan sebagainya itu untuk upah bagi tukang jagal. Akan tetapi (yang diperbolehkan) adalah seorang yang berkurban dan orang yang berhadiah menyedekahkannya atau juga boleh mengambilnya dengan dimanfaatkan barangnya seperti dibuat untuk kantung air atau timba, muzah (sejenis sepatu) dan sebagainya. (lihat Imam Nawawi, Al-Majmu’, Maktabah Al-Irsyad, juz 8, halaman 397).

Jika terpaksa tidak ada yang mau memakan kulit tersebut, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain seperti dibuat terbang, bedug, dan lain sebagainya. Itupun jika tidak dari kurban nadzar. Kalau kurban nadzar atau kurban wajib harus diberikan ke orang lain sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Syarbini dalam kitab Al-Iqna’.

Menyikapi hal ini, panitia bisa memotong-motong kulit tersebut lalu dicampur dengan daging sehingga semuanya terdistribusikan kepada masyarakat. Bagi orang yang kurang mampu, kulit bisa dimanfaatkan untuk konsumsi lebih.

Bukan tanpa risiko, akibat dari menjual kulit dan kepala hewan sebagaimana yang berlaku, bisa menjadikan kurban tersebut tidak sah. Artinya, hewan yang disembelih pada hari raya kurban hanya menjadi sembelihan biasa, orang yang berkurban tidak mendapat fadlilah pahala berkurban sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له) أي لا يحصل له الثواب الموعود للمضحي على أضحيته

Artinya: Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya. (HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121).

Apabila sudah terlanjur, karena jual belinya tidak sah, maka perlu ditelaah lebih lanjut. Apabila pembeli adalah orang yang sebenarnya tidak berhak menerima kurban, pembeli seperti ini harus mengembalikan lagi daging yang telah ia beli, uang juga ditarik.

Bagaimana jika terlanjur dimakan? Ia harus membelikan daging pengganti untuk kemudian dikembalikan. Sedangkan jika yang membeli adalah orang yang sebenarnya berhak, ia cukup dikembalikan uangnya dan daging yang ia terima merupakan daging sedekah.

Sebagaimana orang yang berkurban, begitu pula penerima daging kurban juga tidak boleh menjual kembali daging yang telah ia terima apabila penerima ini adalah orang yang termasuk kategori kaya. Orang kaya mempunyai kedudukan sama dengan orang yang berkurban karena ia sama-sama mendapat tuntutan untuk berkurban. Oleh karena ia sama kedudukannya, walaupun yang ia terima sudah berupa daging, ia tidak boleh menjualnya kembali kepada orang lain. Ia hanya boleh mengonsumsi atau membagikan kembali kepada orang lain.

Berbeda dengan orang miskin. Sebab ia tidak mendapat tuntutan sebagaimana orang kaya, jika ia mendapat daging kurban, boleh menjual kepada orang lain.

Keterangan ini diungkapkan oleh Habib Abdurrahman Ba’alawi sebagai berikut:

وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع الْمُسْلَمِ لملكه ما يعطاه، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه، قاله في التحفة والنهاية

Artinya: Bagi orang fakir boleh menggunakan (tasharruf) daging kurban yang ia terima meskipun untuk semisal menjualnya kepada pembeli, karena itu sudah menjadi miliknya atas barang yang ia terima. Berbeda dengan orang kaya. Ia tidak boleh melakukan semisal menjualnya, namun hanya boleh mentasharufkan pada daging yang telah dihadiahkan kepada dia untuk semacam dimakan, sedekah, sajian tamu meskipun kepada tamu orang kaya. Karena misinya, dia orang kaya mempunyai posisi seperti orang yang berkurban pada dirinya sendiri. Demikianlah yang dikatakan dalam kitab At-Tuhfah dan An-Nihayah. (lihat Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 423).

Kesimpulan dari penjelasan di atas, hewan kurban yang meliputi daging, kulit, dan tanduk semuanya tidak diperbolehkan untuk dijual. Apabila dijual, orang yang berkurban tidak mendapatkan pahalanya. Sedangkan penerima daging juga tidak boleh menjual daging atau kulit yang ia terima kecuali penerima tersebut merupakan orang fakir.

Adapun masalah operasional panitia, jika mengambil jalan paling selamat tanpa ‘hilah’ transaksional adalah dengan cara bagi siapa saja yang ingin berkurban melalui panitia, diwajibkan menyerahkan sejumlah uang untuk biaya operasional termasuk membayar tukang jagal, biaya plastik dan sebagainya.

Tukang jagal juga berhak menerima kurban sebagaimana biasa, namun bukan atas nama mereka sebagai tukang jagal, tetapi sebagai mustahiq (orang yang berhak menerima). Jadi jika atas nama mustahiq, sudah semestinya ia mendapatkan jatah sebagaimana lazimnya, tidak lebih.

Daging yang diberikan atas nama mustahiq ini diterimakan setelah mereka para penjagal sudah menerima upah jagal. Ini jalan yang paling hati-hati.**(zubi/berbagai sumber)