Rutual Perkawinan, Tokoh Adat Tentukan Besaran “Jujuran”

197 dibaca

▪︎Menyusuri Kehidupan Suku-suku Asli di Kalimantan (4-habis)

KEKAYAAN budaya dan tradisi di Kalimantan beraneragam, terutama yang dilakukan Suku Dayak di pedalaman Kalimantan Selatan. Tak terkecuali dengan ritual adat pernikahan.

Suasana di Balai Adat Hinas Kanan tampak ramai. Warga desa bergotong royong membersihkan bangunan balai adat untuk mempersiapkan ritual adat perkawinan salah seorang warganya bernama.

Resepsi perkawinan kali ini cukup spesial karena mempelai wanita berasal dari Suku Dayak Maanyan Kalimantan Tengah. Sedangkan mempelai pria merupakan Suku Dayak Meratus (Bukit).

Dikutip dari laman mediaindonesia.com, para undangan pun cukup banyak yang datang dari berbagai wilayah balai adat, sehingga membuat suasana Desa Hinas Kanan menjadi ramai. Desa Hinas Kanan merupakan salah satu desa di Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan.

Desa ini masuk wilayah adat terpencil di pedalaman Meratus yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kecamatan. Sementara akses jalan masih berupa jalan tanah merah dimana jika turun hujan maka jalanan menjadi rusak seperti bubur. Bahkan pada saat bencana banjir besar dan tanah longsor beberapa waktu lalu wilayah ini ikut terisolasi, sebelum akhirnya akses jalan yang tertimbun longsor dibuka para relawan.

“Ritual perkawinan adat (bakawinan) kali ini cukup meriah. Tamu yang datang dari berbagai balai adat di kawasan Pegunungan Meratus baik di Kalsel maupun Kalteng,” tutur Sahrani, tokoh pemuda dayak dari wilayah Hantakan.

Beberapa tokoh pemuda dayak lainnya juga hadir seperti Sanno dan Hasro dari wilayah Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Adat Istiadat Terjaga

Prosesi atau rangkaian kegiatan perkawinan suku dayak di Pegunungan Meratus ini masih tetap mempertahankan adat istiadat dan agama Suku Dayak yang diwariskan nenek moyang mereka. Namun bila dilihat dari busana yang digunakan kedua mempelai terlihat sudah modern.

Prosesi perkawinan adat dayak Meratus ini dimulai dari rumbug, pertemuan antara calon keluarga mempelai dan tokoh adat untuk menentukan hari pelaksanaan upacara perkawinan termasuk besaran “jujuran” (mahar).

Sebelum upara perkawinan pengantin wanita menjalani masa seperti pingitan yaitu tidak boleh bercermin dan bertemu maupun berhubungan dengan pengantin pria selama tiga hari.

Sedangkan upara perkawinan sendiri ditandai dengan kegiatan gotong royong kaum pria mengambil kayu bakar (mengayu) untuk memasak hidangan pesta. Persiapan untuk pembelian konsumsi seperti lauk ayam, ikan, babi dan persyaratan Piduduk berupa beras, kelapa (nyiur), gula aren, minyak goreng, lamang (makanan dari ketan yang dibakar dalam bambu), daun mayang/pandan, pinang, serta hasil kebun lainnya dilakukan kaum perempuan.

Malam harinya sang Balian akan memulai upacara perkawinan dengan membaca mantra berisi doa-doa tolak bala agar pelaksanaan upacara berjalan lancar yang disebut basambur jaringayau.

Lewat media air (banyu) kemudian disemburkan ke sekitar ruangan balai adat dan juga mempelai. Upacara dilanjutkan dengan baurak ruji yaitu menceritakan perjalanan hidup kedua mempelai dari kecil hingga dewasa oleh orang tua masing-masing. Baurak ruji ini dilaksanakan di pelataran balai agar didengar semua undangan. Setelah itu dilaksanakan tarian khas suku dayak disebut bakanjar.

Sebelum upacara puncak perkawinan kedua mempelai disandingkan ditengah balai (bapayak), baru kemudian upacara adat dimulai dipimpin balian. Secara keseluruhan prosesi perkawinan yang dipimpin Sali, seorang penghulu adat (Balian) Desa Hinas Kanan berlangsung sepanjang malam hingga pagi hari.

Di penghujung upacara perkawinan balian akan memberikan wejangan kepada pangantin tentang tanggungjawab berumah tangga (bapapadah) yang diselingi pantun adat yang penuh dengan makna untuk  pengantin baru.**(zubi/min)