Kisah Kehidupan para Nyai di Zaman Hindia Belanda

140 dibaca

“Potret seorang Nyai, 1867. Nyai menjadi cibiran dikalangan masyarakat pribumi. Layaknya seorang istri, nyai menjadi pelayan bagi pria Eropa tanpa adanya status pernikahan.”
(Jacobus Anthonie Meessen)

Istilah Nyai mungkin masih menjadi tabu di masyarakat kita. Sejatinya istilah tersebut merujuk pada wanita pribumi yang tinggal bersama pria Belanda tanpa status pernikahan.

Mengutip tulisan L.W.C. van den Berg dalam bukunya berjudul Orang Arab di Nusantara, terbitan tahun 2010, “Nyai adalah julukan bagi seorang wanita pribumi, kadangkala juga bagi wanita Cina atau Jepang, yang hidup bersama pria Eropa, Cina atau Arab, tanpa adanya status pernikahan”.

FX. Domini BB Hera dan Daya Negri Wijaya dalam jurnalnya berjudul Terasing dalam Budaya Barat dan Timur: Potret ‘Nyai’ Hindia Belanda, Abad XVII-XX, publikasi tahun 2014, menjelaskan tentang kehidupan ‘Nyai’ di era kolonialisme Belanda. “Dalam konteks historiografi kolonial, istilah Nyai cenderung negatif, karena tak adanya status pernikahan antara wanita pribumi dengan pria Belanda” tulisnya.

“Padahal, di Indonesia, Nyai memiliki makna yang beragam, mulai dari Nyai atau istri (nyonya) pengasuh pondok pesantren dari Kyai (gelar ulama di Jawa), Nyai di Kalimantan berarti gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, atau juga Nyai di Jawa Barat yang merupakan sebutan umum untuk wanita dewasa” tambahnya.

Dikutip dari laman Nationalgeographic.co.id para Nyai di era kolonial Belanda, berlaku layaknya ibu rumah tangga. Hera dan rekannya dalam melakukan riset, mengambil contoh pada pegawai Eropa pada perkebunan di pantai timur Sumatera. Pria Eropa yang berjaga pada perkebunan karet dan tembakau akan memilih wanita Jawa yang cantik, dari kalangan buruh kontrak yang baru datang ke Sumatera baik sudah menikah ataupun belum, untuk dijadikannya pelayan di rumahnya.

“Setelah berapa lama, sebagian kesepakatan ini (Nyai dan pria Eropa) akan menghasilkan satu atau beberapa anak yang berkulit kuning gading” Hera dan rekannya menjelaskan.

Mereka juga menggambarkan bahwa terjadi kesenjangan antara para buruh kontrak wanita dengan para Nyai.

“Buruh perempuan juga harus bekerja sangat keras ketika berburu ulat di perkebunan tembakau di bawah terik matahari, memilah daun tembakau, atau menyadap karet di perkebunan milik orang Eropa” tulisnya.

Berbeda dengan Nyai, mereka bekerja dengan waktu yang sama lamanya, hanya saja tanpa terik, mereka melayani pria Eropa di rumahnya, mengurusi urusan rumah tangga, serta mengawasi para pembantu rumah tangga dalam bekerja. Kesenjangan tersebut yang kemudian menjadi citra miring dan sentimen diantara para buruh wanita.

Kenyataan yang dirasakan para Nyai, berbeda sama sekali yang dirasakan oleh para buruh. Dr. Frances Gouda dalam bukunya berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, terbitan 1995, menjelaskan kisah dibalik kehidupan para Nyai.

“Mereka hidup dalam keseharian yang penuh dengan kerja berat, melayani nafsu seksual layaknya wanita murahan, dan beragam penghinaan lainnya” tulisnya.

Namun, meski menghadapi kejahatan yang menyerang mental dan psikis para Nyai, Hera dan rekannya memiliki pandangan berbeda.

“Walaupun mengalami kejahatan dan kerja berat, bekerja sebagai gundik (sebutan lain dari Nyai) jauh berbeda dari pekerjaan menyunggi segunung daun tembakau di atas kepala, memikul ember berat berisi getah karet, atau tinggal di pondok kumuh, yang penuh sesak dengan kuli Cina atau Jawa yang saling bermusuhan dan suka berjudi” tulis Hera dan Wijaya.

Pergundikan dan kehidupan Nyai akhirnya berakhir setelah masuknya Jepang pada 1942. Nyai berhasil mencetak para Indo (keturunan Indonesia-Eropa) yang berbudi pekerti luhur, sebagaimana pendidikan moral yang berlaku bagi wanita Jawa.

“Meskipun banyak dipandang sebelah mata, di balik segala kesan negatif yang disandangnya, Nyai memiliki peran positif dalam kehidupan bermasyarakat yakni sebagai cultural mediator antara budaya Barat dan Timur” Hera dan Wijaya menutup tulisannya.
**(anis)