Kadipaten Tuban Jadi Batu Ganjalan Mataram

357 dibaca

* Legenda Berdirinya Kota Tuban, Jawa Timur (4-habis)

Siapa sebenarnya Pangeran Podjok itu? Menurut H. Abdul Sarpin, Ketua Yayasan Sunan Podjok. “Pangeran Podjok menurut Mbah Sabib, Menganti, Bugel, Jepara mempunyai nama kecil Benun. Ia juga dikenal dengan nama Syekh Abdul Rachim. Setelah meninggal baru dijuluki Pangeran Podjok. Alasannya karena meninggal di Desa Podjok, Blora.”

Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto, SE. yang juga tokoh sejarawan Blora dengan merujuk Babad Mentawis menerangkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) mempunyai semacam skala prioritas antara lain Kadipaten Tuban yang selama ini menjadi batu ganjalan bagi Mataram harus segera ditakhlukkan. Oleh karena itu, Sultan Agung mengeluarkan;

“Kekancing” (semacam surat perintah tugas) kepada Benun yang saat itu menjabat sebagai Surobahu; setingkat dengan tumenggung. Inti dari “Kekancing” itu adalah tugas untuk memadamkan pemberontakan Tuban.

Misi dari Surobahu Abdul Rachim ternyata berhasil dengan baik (1619). Pergantian penguasa di Tuban ini tentunya menempatkan Surobahu Abdul Rachim untuk menjaga stabilitas Tuban. Adipati Tuban ke-18 ini  menjalankan tugasnya  ± 42 tahun.

Menurut R. Soeparmo (1972:85) “Pada hari grebeg maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan Bupati Pangeran Podjok. Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan mangkat di situ juga.”

Menurut Asmoengin TA., Kasi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Blora (1982:25) “Pangeran Surobahu Abdul Rachim adalah perwira dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara (Tuban). Sepulang dari Tuban di perjalanan jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya dipindahkan di tempat yang sekarang.”

Pada waktu berziarah ke makam tersebut, tim penggali sejarah mendapatkan fakta bahwa di kompleks Makam Gedong/Pagedongan di Kauman, sebelah selatan alun-alun Kota Blora bersemayam antara lain:

1. Pangeran Surobahu Abdul Rachim.

2. Pangeran Joyodipo (putra Pangeran Surobahu Abdul Rachim yang juga Bupati Blora I).

3. Joyodiwiryo (adipati Blora)

4. Pangeran Joyokusuma (adipati Blora), Istri Pangeran Joyokusuma dan kerabat kadipaten lainnya.

Bupati ke-19: Pangeran Anom

Setelah Pangeran Podjok meninggal, yang menggantikan adalah adiknya bernama Pangeran Anom. Lama pemerintahannya ± 12 tahun. Beliau diberhentikan dari jabatan adipati Tuban atas perintah Sultan Agung Mataram.

Menurut R. Soeparmo (1972:84) di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu jabatan bupati ditiadakan. Konsekuensinya, Tuban diberikan semacam perwakilan yang disebut dengan istilah “Umbul” (setingkat kademangan) sebanyak empat orang yaitu:

1. Umbul Wongsoprodjo yang ditempatkan di Jenu.

2. Umbul Wongsohito yang ditempatkan di Gesikharjo (Palang).

3. Umbul Wongsotjokro yang ditempatkan di Kidul Ngardi (Sebelah selatan gunung = Rengel).

4. Umbul Joedoputro yang ditempatkan di Singgahan.

Bupati ke-20: Arya Balabar.

Adipati Tuban ke-20 adalah Arya Balabar atau Arya Blender yang juga berasal dari keturunan Mataram.  Lama pemerintahannya ± 39 tahun.  Salah satu yang dilakukan pada waktu memerintah di Tuban adalah membuat masjid terletak sebelah barat makam Sunan Bonang.

Bupati ke-21: Pangeran Soedjonopuro

Setelah Pangeran Arya Balabar mangkat, penggantinya adalah Pangeran Soedjonopuro yang semula menjabat Bupati Japanan (Mojokerto). Lama pemerintahannya ± 10 tahun sampai beliau wafat.

Bupati ke-22: Pangeran Joedonegoro

Pengganti Pangeran Soedjonopuro adalah puteranya yaitu Pangeran Joedonegoro.  Lama pemerintahannya ± 15 tahun.

Bupati ke-23: Raden Arya Surodiningrat

Pangeran Joedonegoro setelah wafat yang menggantikan menjadi Bupati adalah Raden Aryo Surodiningrat yang berasal dari Pekalongan. Pada waktu memerintah, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh R. Arya Diposono.

Pemberontakan ini dibantu oleh orang Madura bernama  “Kyai Mangundjojo“. Raden Aryo Surodiningrat tewas dalam peperangan. Lama pemerintahannya ± 12 tahun.

Bupati ke-24: Raden Aryo Diposono

Raden Arya Surodiningrat yang gugur di medan pertempuran melawan pemberontak, akhirnya digantikan oleh Raden Aryo Diposono.  Tercatat dalam sejarah, waktu memegang pemerintahan terjadi pertempuran dengan orang-orang Madura yang dahulu mendukungnya.

Pertempuran itu terjadi di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono juga gugur dalam medan pertempuran. Lama pemerintahannya ± 16 tahun.

Bupati ke-25: Kyai Reksonegoro

Jabatan Adipati Tuban berikutnya digantikan oleh Patih Kyai Reksonegoro. Setelah menjabat adipati bergelar Kyai Tumenggung Tjokronegoro. R. Soeparmo (1972:86) memberikan penjelasan bahwa pada tahun 1773 Gubernur Van  der Burgh mengusulkan kepada Sultan Agung Mataram agar Bupati Tuban dipecat karena kebijakan pemerintahannya memberatkan penduduk dan tidak dapat memenuhi tugasnya yaitu membayar upeti kepada Belanda. Lama pemerintahan   Kyai Tumenggung Tjokronegoro    ± 47 tahun.

Bupati ke-26: Kyai Poerwonegoro

Sepeninggal Kyai Reksonegoro, penggantinya adalah puteranya yaitu Kyai Poerwonegoro.  Setelah memerintah selama ± 24 tahun, beliau menderita sakit dan mengambil perlop atau cuti.  Oleh karena itu, beliau terkenal dengan sebutan Bupati Perlop.

Bupati ke-27: Kyai Lieder Soerodinegoro

Pengganti Kyai Poerwonegoro adalah Kyai Lieder Soerodinegoro.  Lama pemerintahannya hanya ± 3 tahun.

Bupati ke-28: Raden Poerjoadiwidjojo

Setelah Kyai Lieder Soerodinegoro mangkat, yang menggantikan sebagai Adipati Tuban adalah puteranya Raden Poerjoadiwidjojo atau Raden Tumenggung Soerojodinegoro .  Lama pemerintahannya  ± 12 tahun. Setelah itu beliau berhenti dari jabatan bupati.

Bupati ke-29: Pangeran Tjitrosomo VI (1800-1836)

Ketika Raden Poerjoadiwidjojo berhenti dari jabatan adipati Tuban yang menggantikan adalah Pangeran Tjitrosomo VI dari Jepara. Tim penggali sejarah mendapatkan kesempatan untuk melacak silsilah Pangeran Tjitrosomo di Jepara.

Atas bantuan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan Kabupaten Jepara, tim penggali berhasil bertemu dengan salah satu keturunan Tjitrosomo. Beliau bernama Raden Moeh Akrom Wijanarko yang tinggal di Purwogondo, Kecamatan  Pecangakan, Jepara.

Bukti bahwa beliau keturunan  Tjitrosomo adalah dengan diperolehnya Piagam Mangkunegaran, Surakarta tertanggal 13 Juni 1988. Bersumber dari data koleksi pribadi yang dibukukan dalam Silsilah Citrosoman inilah tim penggali sejarah mendapatkan sumber yang sangat berharga.

Siapakah sebenarnya Pangeran Tjitrosomo VI itu? Pangeran Tjitrosomo VI adalah putra ke-8 dari R.M.A.A. Citrosomo V, Bupati Jepara yang semula menjadi bupati di Kudus dengan nama dan gelar R.M.A.A. Mangkuwidjojo. Nama asli dari Tjitrosomo VI adalah R.M.Ng. Notowidjoyo I.

Sepeninggal ayahnya, beliau menggantikan kedudukan sebagai Adipati Jepara. Beliau kemudian ditugaskan untuk menjadi Adipati Tuban. Jasanya selama memerintah di Tuban adalah membangun rumah kabupaten pada tahun 1821 yang menjadi tempat kediaman bupati sampai sekarang.

Setelah memerintah selama ± 6 tahun, beliau dipindahkan ke Lasem. Masa pemerintahannya di Lasem berjalan ± 3 tahun dan akhirnya kembali menjadi Adipati Jepara dalam masa Perang Diponegoro (1825-1850).

Pada makam beliau yang terletak di  Desa Sendang, Kecamatan Kalinyamatan, Jepara tertulis masa pemerintahannya di Jepara yaitu tahun 1800-1836.
(zi/berbagai sumber)