Oleh: Mabrur MS
(Aktifis Nahdliyin)
Sebagai sesama muslim, mendengar kabar saudara seiman seperti Ust Felix Siauw dan Ust Evie Effendi (salah seorang penggagas komunitas Hijrah) rajin membaca Al Qur’an tentu ikut senang dan bahagia karena tidak setiap muslim berkenan menyempatkan diri baca kitab suci tersebut.
Apalagi kedua ustadz itu relatif sangat sibuk memberikan ceramah keagamaan, namun masih menyempatkan tadarrus Al-Qur’an secara istiqomah. Apalagi, keduanya juga tokoh papan atas yang sering jadi rujukan sebagian umat Islam, terutama bagi jamaah Medsos.
Di chanal Medsos, nama keduanya sangat mudah dijumpai dengan kajian-kajian ke-Islam-annya yang ke-kini-an. Setidaknya, semangat kedua tokoh tersebut dalam mensyiarkan Islam yang selalu bergelora itu patut diapresiasi.
Bagi sebagian orang, mungkin belum banyak tahu tentang sosok kedua ustadz tersebut. Ust Evi ‘Gapleh’ (Gaul tapi Soleh) lahir di Bandung 19 Januari 1976 itu sudah berulangkali masuk “sekolah” alias LP Kebun Waru, Bandung.
Pendidikan terakhirnya berlabuh di SMP 49 Bandung. Banyak dinamika kehidupan telah dilalui jebolan SMP 49 tersebut, selain masuk penjara juga menggelandang di jalanan. Dari pengalaman hidupnya itulah, Ust Evie memilih jalur dakwah dengan rute yang pernah dilaluinya itu. Dengan mengusung tagline Dakwah On The Street yang digerakkan komunitasnya, Gerakan Pemuda Hijrah, Ust Evie Effendi (44) juga mempunyai majelis ta’lim rutinan di Masjid Agung Trans Studio Bandung.
Kendati dikenal sebagai ustadz, lelaki yang pernah bekerja di perusahaan tekstil itu juga mengaku tak pernah mengenyam pendidikan keagamaan seperti Pondok Pesantren. Ilmu keagamaan Ust Evie, menurut pengakuan yang bersangkutan diperoleh dari ketekunannya mendatangi majelis ta’lim di berbagai masjid dan refleksi diri selama dalam penjara.
Meski begitu, Ust Evie telah telah bertekad mendedikasikan dirinya sebagai pendakwah dengan methode dan jalur yang agak langka. Kalau di Bandung ada Ust Evie, di Yogjakarta ada Gus Miftah yang juga punya kesamaan segmentasi dakwah yakni komunitas yang jarang disentuh para ustadz konvensional.
Kenapa? Untuk memasuki relung hati kaum gelandangan, geng motor, PSK, serta preman itu tidak semua ustadz punya nyali menjelajahi. Tapi, Ust Evie dan Gus Miftah justru berani mengisi ruang kosong tersebut dari sentuhan para ustadz/dzah. Agak sedikit berbeda dengan Ust Evie, Gus Miftah mempunyai latar pendidikan keagaman relatif memadai dengan titel S-1 dari UIN Sunan Kalijogo.
Terlepas dari perbedaan tersebut, keduanya patut diberikan penghormatan atas kiprahnya mengisi ruang kosong dakwah yang selama ini amat sangat jarang tersentuh para muballigh.
Keduanya juga pernah menjadi viral karena kiprahnya tersebut. Gus Miftah mendapatkan bully karena berdakwah di tempat-tempat maksiat, seperti karaoke dan lokalisasi PSK. Tapi, cercaan itu akhirnya mereda karena ternyata para pencercanya justru tidak pernah memikirkan bahwa ruang-ruang maksiat tersebut masih menyisakan ruang kosong untuk Tuhan.
Demikian halnya dengan Ust Evie, namun kali ini bukan lokasi dakwahnya yang menimbulkan kontroversial melainkan ihwal tafsirnya tentang perilaku Nabi Muhammad SAW. yang dianggap sesat sebelum mendapatkan wahyu sebagai Nabi.
Tentu, kesalahan itu menjadi pelajaran berharga bagi yang bersangkutan dan juga para jamaahnya agar ke depan lebih hati-hati dan lebih rajin memperkaya literasi keagamaan. Namun, belum lama ini kita juga dikejutkan oleh beredarnya video yang diduga kuat tentang Ust Evie yang tengah baca Al-Qur’an namun terdengar tidak piawai dari sisi ilmu tajwid maupun makhroj-nya.
Tak berselang lama, kemudian muncul lagi video Ust Felix Siauw yang tengah memberikan ceramah agama dengan kutipan ayat Al-Qur’an.
Menurut KH. Ishomuddin yang mengaku sudah berulangkali memastikan video tersebut, ternyata ditemukan beberapa kesalahan yang sangat fatal dari Ust Felix dalam mengupas ayat-ayat tersebut. Selain ada distorsi bahasa, juga distorsi maksud yang dikandung dari ayat tersebut.
Jika temuan KH. Ishom yang juga Dosen IAIN Lampung itu benar adanya, tentu layak mendapatkan perhatian, tapi tidak perlu demo apalagi bakar-bakar bendera. Cukup lah Ust Felix diundang secara terhormat dan diajak diskusi tertutup agar duduk soal yang sebenarnya bisa diurai.
Jika ada kesalahan maupun gagal faham terharap ayat-ayat Al Qur’an tersebut, perlu diluruskan secara tertutup agar kesalahan sesama muslim tidak dijadikan komoditas politik seperti yang dialami Gus Muwafiq beberapa waktu silam. Apalagi Ust Felix juga sudah rajin silaturrahim dengan sejumlah kiai mumpuni seperti Gus Bahaudin bin Nur Salim maupun Qoyyum bin Mansur Lasem.
Kesalahan, jika itu ternyata benar-benar merupakan tindakan yang salah, yang dilakukan Ust Felix diharapkan bukan sebuah kesengajaan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tapi karena kecintaan beliau terhadap Al Qur’an.
Hanya saja, untuk menafsirkan ayat-ayat Alllah yang bersifat tekstual seperti Al Qur’an & Al Hadist tetap membutuhkan seperangkat alat berupa ilmu penopang agar tidak salah dalam menangkap maupun memahami kandungan dari ayat-ayat tersebut.
Sebagaimana halnya seperangkat alat ilmu penopang yang harus dimiliki seorang dokter sebelum mendiagnose pasiennya. Bahkan untuk menerjemahkan ayat-ayat Allah SWT yang non tekstual seperti alam semesta ini juga diperlukan ilmu pengetahuan memadai.
Bagaimana tidak? Untuk memahami per-gunung-an, pepohonan, udara, langit, serta ayat kauniyah lainnya, tidak bisa hanya mengandalkan intuisi maupun khayalan belaka. Bahwa kita bisa mengambil hikmah dibalik semua ciptaan Allah SWT itu, itu soa lain.
Kendati begitu, ‘nasib sial’ yang menimpa Ust Felix tak perlu dipolitisasi karena bukan seperti itu perilaku yang diajarkan Nabi SAW. Kecuali kalau ada yang mau ganti nabi, selain Nabi Muhammad saw. Meski Ust Felix secara politik dianggap sebagai pendukung Khilafah, biarlah soal HTI itu menjadi domain negara untuk membereskan, tugas sesama muslim adalah meluruskan kesalahan dengan cara-cara terhormat dan tetap menghormati mereka yang dianggap berbuat salah. Bukankah aib sesama muslim itu wajib ditutup-tutupi, bahkan Allah pun tak suka dengan mereka yang suka mengumbar aib orang lain. Tapi, kenapa ya sekarang banyak orang yang mengaku muslim tapi aib orang lain meski seagama itu justru sering dijadikan komoditas?
Siapa Ust Felix Siauw? Beliau lahir di Palembang, 31 Januari 1984 dengan nama lain Siauw Chen Kwok. Lelaki ber-etnis Tionghoa itu menjadi muallaf pada tahun 2002 ketika masih semester 3 di Fakultas Holtikultura IPB (Bogor). Setelah menjadi muslim, Ust Felix bergabung dengan para aktifis HTI karena –kala itu—komunitas muslim di lingkungan kampus IPB didominasi aktifis serta simpatisan HTI sehingga jadi wajar kalau guru yang membimbing sang muallaf juga ikut membentuk corak ke-Islamannya.
Meski muallaf, namun gairah ke-Islamannya yang menggebu-gebu banyak menarik simpati publik. Jika dilihat dari pendidikan keagamaanya, tentu bisa difahami jika ‘bacaan’ Ust Felix terhadap Al Qur’an tidak sesempurna dengan mereka yang sudah bertahun-tahun mempelajarinya.
Oleh karena itu menjadi sangat terhormat, jika persoalan ini juga diselesaikan secara terutup oleh yang bersangkutan dengan ilmuwan yang ahli di bidangnya. Setiap orang, apalagi ‘public figure’ akan selalu rawan khilaf, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tak sengaja. Menjadi kewajiban saudara lainnya untuk mengingatkan dan menutupi, bukan sebaliknya. ###