Menurut catatan sejarah, makanan kuliner tradisional yang hingga kini tetap lestari merupakan makanan kesukaan raja-raja Jawa dan para bangsawan. Seperti dilansir melaui tirto.id.
Masakan tradisional khas Jogjakarta “gudeg” merupakan kesukaan para raja Jawa. Tidak hanya kalangan raja saja, kalangan bangsawan, maupun prajurit, pegawai keraton, kaum pekerja, rakyat biasa juga sangat menyukai masakan tersebut.
Bagi pelancong yang berkunjung ke Jogyakarta, gudeg menjadi salah satu tujuan kuliner yang tidak dilewatkan, sekaligus dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Gudeg umumnya terbuat dari nangka muda atau gori yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan rasa legit, manis, sekaligus gurih.
Ada dua jenis gudeg yang terbuat dari gori, yakni gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg biasanya disajikan bersama tahu, tempe, ayam, atau telur, yang dimasak dengan cara dibacem, dan tentunya dimakan dengan nasi putih.
Selain dari gori, gudeg juga bisa dibuat dengan putik bunga kelapa atau manggar, terkadang ditambahkan rebung alias bambu muda dan potongan daging. Gudeg manggar memiliki citarasa yang unik, teksturnya liat, dan tidak terlalu manis seperti gudeg nangka.
Kian langkanya bahan menjadikan gudeg manggar kini agak sulit ditemui kendati di beberapa tempat di Yogyakarta masih ada yang menyediakan gudeg jenis ini. Gudeg manggar justru kerap disajikan di resto-resto khusus atau di hotel-hotel berbintang dan konon digemari oleh keluarga Keraton Jogyakarta.
Sejarah Gudeg
Gudeg punya sejarah panjang. Jenis makanan ini bahkan sudah ada sebelum Kasultanan Jogyakarta dan Kasunanan Surakarta berdiri. Konon, resep gudeg ditemukan pada masa Panembahan Senopati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam yang juga kakek Sultan Agung.
Saat hendak mendirikan Kesultanan Mataram Islam, Panembahan Senopati harus membuka hutan belantara yang dikenal sebutan Alas Mentaok. Para prajurit dan kaum pekerja bersama-sama membabat hutan yang kelak bernama Yogyakarta ini. Ternyata, di hutan ini banyak terdapat pohon nangka dan pohon kelapa.
Nangka muda dan kelapa itu kemudian diolah untuk santapan bersama. Nangka muda dimasak dengan santan dari kelapa ditambah gula aren, berbagai macam bumbu, serta rempah-rempah, di dalam kuali besar yang diaduk-aduk dengan menggunakan sendok besar mirip dayung.
Supaya merata, dikutip dari buku Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa (2017) suntingan Murdijati Gardjito dan kawan-kawan, masakan itu diaduk dengan memutar-mutar sendok besar tersebut.Maka, tercetuslah istilah hangudeg yang berarti “diaduk-aduk” sehingga makanan tersebut pada akhirnya dikenal dengan sebutan gudeg.
Makanan Segala Kalangan
Meskipun kadung lekat dengan Yogyakarta, namun gudeg juga cukup akrab di Surakarta. Seperti diketahui, Kesultanan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati nantinya terbelah menjadi dua kerajaan besar, yakni Yogyakarta dan Surakarta, ditambah dua wilayah khusus lainnya, yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman.
Heri Priyatmoko melalui artikel “Menyantap (Sejarah) Gudeg” mengungkapkan bahwa proses penyebaran gudeg terbaca dari Serat Centhini (1814-1823) di lingkungan Kasunanan Surakarta.
Selain itu, lanjut Heri, dalam Serat Jatno Hisworo juga diriwayatkan, Raja Surakarta, Pakubuwana IX (1861-1893), pernah memborong nasi gudeg dan nasi liwet untuk menjamu rombongan kesenian yang akan menghibur keluarga istana dengan sajian musik karawitan semalam suntuk.
Raja Yogyakarta saat ini, Sultan Hamengkubuwana X, tulis Joko Darmawan dalam buku Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017), juga sangat menggemari gudeg, khususnya gudeg manggar. Demikian pula dengan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana IX.
Sejak dulu, gudeg disukai segala kalangan, baik raja-raja maupun rakyat banyak. Sentra rumah makan yang menyajikan gudeg tersebar di sekitar Keraton Jogyakarta, semisal di Wijilan, Gading, Ngasem, dan seterusnya. Di wilayah DIY lainnya pun gudeg terbilang mudah untuk dijumpai.(**)