KH. Sjoekran Dijuluki Singa Podium

627 dibaca

KH. Sjoekran. Ulama populer dan pejuang kemerdekaan RI ini tergabung dalam kesatuan Hizbullah, dan berakhir sebagai politisi handal tertinggi yakni sebagai Ketua DPRD Lamongan dua kali periode.

TOKOH asli Kranggan, Kecamatan Kota Lamongan ini lahir tahun 1918 dan merupakan anak kembar dari Solichan dan Ny. Tiah pada hari Kamis Pahing, meninggal 26 Maret 1983 dimakamkan di Pemakaman keluarga H. Sholeh kakeknya di Desa Dapur.
Beliau menikah dengan Hj.Moetiah berputra 16. Anaknya ke 6 Ach.Mawardi lahir saat agresi kedua 6-1-1949 saat H Sjoekran bergerilya di daerah Ujung Pangkah Kapt Moenir bin Acmad Mawardi. Ia hidup di keluarga santri Bani Oesmaniyah, mulai kecil digembleng dengan nilai-nilai keislaman yang mengedepankan ajaran Islam yang kaffah, wajib menjalankan salat 5 waktu, saling tolong menolong sesama, memperhatikan nasib, berziarah ke makam Walisongo dan para ulama, hal ini disampaikan Hj. lailatul Djanib Putri ke 11, kepada wartawan ini yang merupakan temen mulai SMP N Lamongan dirumahnya sambil nostalgia saat diceramahi ayahnya saat itu.
Dalam perjuangan hidup dan perjuangannya, tergabung dalam kesatuan Hizbullah sejak zaman Jepang 1943, berangkat dari guru agama santri dari KH.Abdoel Latif. Setelah kemerdekaan RI tergabung dalam BKR, TKR dengan pangkat letnan dua dan bergerilya sampai 1949 sampai penyerahan kedaulatan RI, didaerah-daerah Pantura dan Gresik-Surabaya, di bawah Komando Letkol Soedirman.
Setelah Indonesia benar-benar aman tahun 1950 mundur dari Angkatan Bersenjata aktif dengan pangkat kapten, kembali sebagai guru ngaji dan berpredikat kiai. Sepak terjang KH.Sjoekran tak diragukan lagi, selalu didepan ,selalu menolong sampai sampai dia kena peluru Belanda tak dihiraukannya, cerita KH.  Gufron Sholikin temen seperjuangannya.”Hebat dia itu, berjuang lillahi taallah semua demi umat agar tak dijajah bangsa lain lagi,” lanjut nya.
Dalam buku yang ditulis tangan itu, juga mencantumkan bahasa Jawa, apa yang dikatakan oleh Budayawan Islam H.Ach.Chambali akrab dengan anaknya yang bareng sekolahnya.”Amenangi zaman edan, ewoh Ojo ing Pambudi, Melu edan ora tahan, Yen Tan melu Bejo keduman milin, kalian wekasanipun. Dilallah kersaning Allah, sing begjo begjane kang lali luwe begjo kang eling lan waspodo”.
Beliau ini berkawan akrab dengan ulama besar Indonesia diantaranya KRH. Asnawi Kudus, KH. Anwar Musadat Jogja, KH. Bisri Mustofa Rembang, KH. Abdul Hadi Langitan juga KH. Bisri Syamsuri Jombang, ada cerita menarik beliau pernah dipukul teken/ tongkat oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Politikus yang Cerdas
Setelah keluar dari dinas ketentaraan dan pernah jadi Danramil Deket, beliau selain jadi guru agama beliau mulai masuk wilayah politik, yang sebelumnya sebagai anggota Konstituante (MPR) dan sempat ke ibukota 7 kali. Karir puncaknya sebagai politikus sebagai ketua DPRGR 1966-1968 dan 1968-1971, mengendalikan lembaga terhormat dengan terobosan dan penuh kearifan, harus berani bertanggung jawab, harus berani didepan sebagai pemimpin sesuai ajaran Islam imam harus di depan, katakan yang benar dengan kebenaran.
Singa podium ini punya kharisma yang luar biasa, tubuhnya tak terlalu tinggi , tubuh ramping, memelihara jenggot dan….. Berambut gondrong yang amit amit tak pernah dicukur namun rapi tur humoris dan menyejukkan.
Dalam setiap pengajian selalu memakai diktat dan dilanjutkan dengan tanya jawab agar komunikasi timbal balik, jika sebagai Khotib Jumat sangat menarik isinya dan gaya serta suaranya enak didengar sehingga orang tidak mengantuk. Hal ini sesuai semboyannya ” Hidup indah ialah penuh doa dan ingat selalu kepada yang naha agung, dengan mendirikan sholat serta beramal Sholeh serta selalu nriman dan bersyukur atas nikmat Allah”.
Dalam dakwah beliau, ini sesuai apa yang pernah dikatakan Buya Hamka dalam berdakwah hendaknya :  Dakwah itu membina bukan menghina, dakwah itu mendidik bukan membidik, dakwah itu mengukuhkan bukan meruntuhkan, dakwah itu mengajar bukan menghajar, dan dakwah itu mengajak bukan mengejek. Dakwah itu di mana saja, di masjid, di sekolah, di pasar, di jalan, di lapangan, dakwah itu bukan hanya di pengajian.
Semoga perjuangan KH. Sjoekran dapat menjadi inspirasi kita semua, penguatan toleransi dimulai dari dalam rumah sendiri, sehingga mampu terserap dalam diri sendiri, cinta orangtuanya, gurunya maupun ulamanya,  mampu mengatur perekonomian keluarga atau bersama,  menabung untuk berhaji, mampu membiayai anak sekolah/ pesantren/anak yatim, keluarga mampu membaca huruf Arab dan Alquran, dan diusahakan selalu silaturahmi dengan keluarga, teman maupun tetangganya niscaya hidup ini akan dimudahkan sang Kholiq. ARIFIN KATIQ/DANAR PANGERAN